SEGERA TERBIT CETAK
"Renjana Senja Kala" adalah spin off dari "Beautifully Painful".
***
Tama dan Kinan memiki karier cemerlang, rising star di bidang masing-masing. Namun karakter juga sikap kaku Tama, luka batin masa kecil Kinan, serta kehadiran Pramudya, dokter spesialis jantung kharismatik menghancurkan segalanya. Tama dan Kinan sepakat untuk berpisah. Meninggalkan Reka, putra semata wayang mereka yang tumbuh dalam kebencian terhadap sosok seorang ayah.
Tapi terkadang, perpisahan justru jalan keluar terbaik. Ibarat mundur selangkah untuk melesat jauh ke depan.
Kinan mulai menyembuhkan luka bersama Pramudya. Tama berhasil menemukan cinta yang selama ini dicari dalam diri Pocut, wanita sederhana nyaris tanpa ambisi. Dan Reka mulai memahami bahwa semenyakitkan apapun kehidupan yang harus dijalani, selalu ada kebaikan serta harapan di sana.
Hasrat cinta yang kuat di akhir masa penantian.
Renjana Senja Kala.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21. "Dapatkah Aku Memeluknya?"
-diambil dari lirik lagu berjudul "Rasa yang Tertinggal", yang dinyanyikan oleh grup band ST12-
***
Jakarta
Tama
"Totally shit (sialan banget)!" gumam Armand meski tanpa tawa.
"Never thought before (nggak pernah mikirin itu)," kilahnya cepat, mencoba beralasan. Sekaligus berusaha menghindar dari membahas hal yang bisa membuat kepalanya kembali berdenyut.
"Pretty liar (penipu)," ejek Armand sinis.
Ia kembali tertawa sumbang. Sembari menggerus rokok yang telah memendek ke dalam asbak.
"Hidup bersama dalam ikatan atas nama Tuhan dengan seseorang dari kelas sosial berbeda ... hanya dalam mimpi. Cuma ada di film dan kisah roman tak masuk akal," desis Armand dengan mimik serius.
"Pada kenyataannya ... kalian akan sulit beradaptasi," sambung Armand. "Sangat sangat sulit."
Namun sejurus kemudian Armand justru tertawa sinis, "Gila lu ya! Bisa-bisanya tertarik sama janda saudara ipar sendiri! Kayak nggak ada cewek lain Tam ... Tam ...."
Ia mendesis tak kalah sinis, "How dare you (berani-beraninya lu -ngomong begitu ke gua-)!"
Armand masih tertawa, "Lu baru aja mengalami shock cause your ex (shock karena mantan lu). Dan sekarang lu masih berada di fase denial."
"So, please (jadi, tolong) ...." Armand menggelengkan kepala. "Pelepasan emosi lu bisa cari cara lain yang lebih worth it (pantas). Bukannya ngegebet ipar sendiri."
Ia meraih botol air mineral yang tersimpan di atas meja. Meneguknya hingga tandas. Lalu mendesis malas, "Lu ceramah kayak gini juga ke duo R?"
Seperti yang mereka ketahui bersama, Riyadh si pemilik kisah cinta paling berliku di antara mereka berenam. Akhirnya justru berlabuh pada gadis yang jauh berbeda dibandingkan barisan para mantan. Terutama gap (jarak) usia yang cukup mencolok.
Sementara Rajas hampir gila akibat pesona gadis yang juga berasal dari antah berantah.
"Riyadh is different thing (hal yang berbeda)," sangkal Armand seraya menggelengkan kepala.
"Kalau Rajas ...." Armand mengangkat tangan. "I'm out (gua nyerah). Dia tipe bebal yang nggak bisa dikasih tahu."
Ia terbahak. Dengan tanpa berpikir sedikitpun berseloroh, "I'm in (gua gabung -dengan Rajas-)!"
"F uck you (sialan)!" maki Armand namun sambil tergelak.
Lalu mereka sama-sama terdiam.
Ia memilih untuk mengedarkan pandangan mengelilingi tenda. Di mana para tamu yang masih bertahan terlihat tengah asyik bercengkerama. Termasuk dua sosok paling menarik perhatian, Salasika dan Lavanya. Yang tengah berbincang dengan istri salah seorang pimpinan sektor.
"Jadi sebelum terlambat, gua saranin ... stop it right now (berhenti sekarang juga)," desis Armand memecah kebisuan di antara mereka berdua. Membuatnya segera mengalihkan pandangan dari body language luwes dan hangat yang ditampakkan oleh Lavanya.
"Tadi gua ketemu di Selera Persada ...." gumamnya tanpa sadar.
Armand melihat ke arahnya tak mengerti.
"My off limit woman (wanita terlarangku)," sambungnya seraya mengu lum senyum.
"Oh, fucking shit (sialan)!" Armand tergelak. "Dari tadi gua ngomong sama angin dong? Sampai-sampai isi kepala lu cuma dia."
Ia tertawa, "Oh, dear (sayang) ...."
Armand mengembuskan napas panjang, "Lavanya out (keluar)?"
"Yep!" ia mengangguk yakin.
"Besok gua kenalin lagi ... sama yang lebih dibanding Lavanya," tawar Armand.
"No, thanks (tidak, terima kasih)!" ia menggeleng dengan lebih yakin.
Armand mendesis sinis sembari terus menggelengkan kepala.
"Dia kerja jadi sekpri sekarang ...." gumamnya sama sekali tak memedulikan kekesalan Armand.
"Not bad (nggak jelek) kalau dikaitkan dengan teori lu tadi. Tentang apa ... kasta?"
Namun sejurus kemudian tawanya meledak, "Come on (ayolah), Mand! Orang sekeren elu masih mempermasalahkan tentang strata sosial."
Tapi Armand justru tertarik pada hal lain, "How come (kok bisa)?"
"Apa?" ia balik bertanya tak mengerti.
"Janda itu kerja jadi sekpri? How come?"
"Oh ...." ia tertawa sumbang. "Shut your fucking up your fucking mouth (tutup mulut sialan lu)!"
"Lho?" Armand mengernyit tak mengerti. "Memang dia janda kan?"
"Nggak enak didenger," gerutunya. "Just said (katakan saja) ...." ia berpikir sejenak. "My pretty woman (wanita cantikku)?"
"Unbelievable (nggak bisa dipercaya)!" sahut Armand sinis.
Namun sedetik kemudian Armand justru terbahak, "Arsitek, VP (vice president), and now (dan sekarang) ... most wanted jenderal. Tumbang semua sama girl from nowhere (gadis antah berantah)."
Ia hanya tersenyum singkat. Tak berniat menanggapi ejekan Armand.
"G luck (semoga sukses)," Armand mengangkat bahu tak peduli. "Pastikan bahan bakar dan amunisi lu full tank (penuh)."
"Karena elu bakal berhadapan sama kedua orangtua lu, adik lu, anak lu, ipar lu, anak-anak janda itu ...."
Untuk yang satu ini ia mengangguk setuju, "High risk (resiko tinggi)."
"Very bad (buruk sekali)," gumam Armand menyayangkan.
"Dan semoga lu nggak lupa," lanjut Armand dengan nada memperingatkan.
Ia mengernyit ingin tahu.
"Riyadh dan Rajas ... sama-sama berjudi dengan nyawa. Hanya gara-gara girl from nowhere," terang Armand sungguh-sungguh.
"Semoga lu nggak harus bermain-main dengan nyawa seperti mereka berdua."
Ia refleks menelan saliva demi mendengar peringatan Armand. Kemudian memaki, "Brengsek! Lu nakut-nakutin gua?"
Armand menggeleng, "Emang lu bisa ditakut-takutin?"
Ia menggerutu, "Lu belum pernah jatuh cinta sih!"
"Belum pernah tiba-tiba suka sama seseorang. Jangankan perbedaan, logika aja nggak jalan," imbuhnya ketus.
Armand mengangguk mengerti, "Jadi ... janda itu punya hal menarik apa ... yang bikin logika lu macet. Nggak bisa jalan?"
"Stop sebut dia janda!" gerutunya merasa kesal mendengar sebutan Armand untuk Pocut.
Namun Armand hanya mendesis tak peduli.
Membuatnya mengembuskan napas panjang dan berat. Mencoba memikirkan tentang hal, yang membuatnya bertindak impulsif seperti orang bo doh sekaligus dungu.
Dan bayangan tentang seorang gadis cilik yang tertawa riang, berbicara dengan cara yang begitu menyenangkan padanya, bertingkah seolah sangat membutuhkannya, tiba-tiba saja melintas di kepala.
Sasa?
Ia kembali mengembuskan napas panjang. Kali ini terasa lebih berat dan dalam.
Ia jelas bukan tipe pria hangat yang menyenangkan. Bahkan cenderung kaku. Terbukti hubungan dengan buah hatinya sendiri masih berada di titik nadir. Sangat jauh dari harapan tentang kehangatan antara seorang ayah dan anak.
Tapi kecelakaan yang terjadi di rumah Papa saat acara aqiqah Aran. Benar-benar menjungkir balikkan semua teori tentang karakter dingin dan kakunya.
Ia secara tiba-tiba bisa berubah menjadi superhero bagi seorang gadis cilik yang bahkan baru saja dikenalnya. Tanpa ragu, tanpa canggung, seolah semua berjalan dengan sendirinya.
"Masih banyak yang lebih cantik dan menarik dari dia," gumaman Armand kembali mampir di telinganya.
"Lebih mudah untuk didapat. Resiko lebih kecil. Dan lu nggak harus melewati orang-orang terdekat lu sendiri."
"Keluarga lu."
"Gimme a reasonable excuse (beri gua alasan yang paling masuk akal)," desak Armand.
"Biar gua ingat baik-baik di sini ...." Armand menyentuhkan telunjuk tepat di atas dahi.
"Siapa tahu kelak lu butuh bantuan untuk mengingat kembali ... alasan utama lu memutuskan untuk terus maju."
Ia mengembuskan napas panjang entah untuk yang ke berapa kalinya. Memperhatikan ke arah panggung dengan mata menerawang. Sementara telinganya menangkap dengan baik alunan lagu yang tengah ditampilkan.
"Dapatkah aku memeluknya
Menjadikan bintang di Surga
Memberikan warna yang bisa
Menjadikan indah ....
Aku tak mampu mengatakan
Aku tak mampu tuk mengungkapkan
Hingga sampai saat ini
Perasaan tlah tertinggal ...."
(ST12, Rasa yang Tertinggal)
Ia menggeleng lelah dengan kepala berdenyut yang terasa cukup familiar, "Have no reason (nggak punya alasan) ...."
***
Pocut
Malam terasa begitu panjang. Sejak awal matanya bahkan terus saja nyalang menatap langit-langit kamar. Sama sekali tak bisa terpejam.
Bayangan tentang orang yang tadi siang menyusulnya ke pantry sungguh mengusik dan menyusahkan hati.
"Gimana tangannya?"
"Udah diobati?"
Berkali-kali ia mendecak sendiri. Berusaha keras mengenyahkan bayangan orang yang membuat hatinya bagai dilanda badai. Berkecamuk campur aduk tak karuan.
Ia sudah bangkit untuk melihat kalender yang tergantung di samping lemari. Mencoret tanggal hari ini dengan spidol berwarna merah. Sebagai tanda jika ia telah menghabiskan waktu selama 18 hari bekerja di Selera Persada.
Tinggal 5 hari tersisa. Ia akan segera menyelesaikan semuanya.
Kembali ke rumah. Kehidupan terbaiknya. Berkutat antara dapur dan keude. Sembari terus memutar otak, bagaimana caranya menghindari orang-orang yang masih saja berdatangan.
Mengingat itu semua membuatnya beranjak ke depan lemari. Lalu berjinjit berusaha mengambil kotak yang tersimpan di atas lemari.
Kotak yang terbuat dari plastik berwarna transparan itu dulu dibelinya di toko kelontong Bang Ahmad. Sebagai tempat untuk menyimpan semua kenangan paling berarti dalam hidupnya.
Ia mendudukkan diri di atas tempat tidur dengan perlahan. Berusaha agar jangan sampai membangunkan Sasa. Kemudian mulai membuka penutup kotak dengan penuh kehati-hatian.
Matanya langsung menangkap album foto di tumpukan paling atas. Disusul buku kursus menjahit miliknya. Dan beberapa buah buku catatan Bang Is saat berada jauh dari rumah.
Tangannya terulur untuk mengambil buku catatan milik Bang Is yang paling tebal. Buku catatan terakhir yang dibawa pulang oleh Bang Is ke rumah. Sebelum kembali pergi bekerja dan tak pernah kembali.
Buku tebal yang terasa dingin, lembab dan berdebu ketika menyentuh permukaan kulitnya.
Sembari tersenyum, dibukanya kancing pengait buku bersampul warna hitam itu. Lembar pertama buku berisi foto dirinya. Yang diambil saat kali pertama ia datang ke Jakarta. Di mana Bang Is mengajaknya pergi ke Monas.
Ia kembali tersenyum. Mengusap foto berukuran 3R yang hampir pudar di tiap sisinya sebab dimakan usia. Memperhatikan gambar dirinya yang sedang tersenyum malu, dengan rok dan kain kerudung yang mengembang tertiup angin.
Istriku tercinta.
Semoga Allah menjagamu selalu di manapun berada.
Begitu bunyi deretan huruf yang tertulis tepat di bagian bawah foto.
Membuatnya buru-buru membuka lembaran berikut dengan tangan gemetaran.
Lembar kedua, berisi foto anak-anak saat mereka bertiga sudah bisa tengkurap.
Dulu Mamak selalu mengingatkannya untuk segera pergi ke studio foto milik Uda Imran di dekat pasar. Tiap kali mendapati anak-anak sudah lancar tengkurap dan berguling sendiri.
"Untuk kenang-kenangan," begitu ucap Mamak selalu.
Ia mengusap foto ketiga anaknya dengan mata yang mulai memanas.
Teuku Risyad Ishak
Teuku Umair Ishak
Cut Rumaisha Ishak
Semoga menjadi qurrota ayun (penyejuk jiwa) dan cahaya mata bagi ayah dan mama, bermanfaat bagi sebanyak-banyak umat.
Satu tetes air mata berhasil lolos. Jatuh tepat di atas kertas buku yang tak tertutup foto.
Membuatnya buru-buru membalik lembaran tersebut. Sebab tak ingin berlama-lama membaca baris tulisan tangan Bang Is tentang anak-anak mereka.
Lembar ketiga berisi biodata Bang Is. Nama, tanggal lahir, nomor kependudukan, nomor paspor, golongan darah, alamat rumah, alamat jasa penyalur tenaga kerja ke luar negeri, nomor kontak yang bisa dihubungi.
Ia kembali tersenyum. Bang Is memang selalu mempersiapkan semuanya dengan detail dan apik. Kecuali kepergian untuk selamanya. Bang Is bahkan tak sempat berpamitan pada mereka semua.
Teganya dirimu, Bang.
Ia kini harus menggigit bibir guna menahan isakan yang hampir lolos.
Sembari menyusut hidung yang mulai berair sebab menangis, tangannya kembali membuka lembar berikut.
1 Februari 2xxx
Teluk Guinea, lepas pantai Benin, Afrika Barat
Bright of Benin ©
Beware (waspadalah)
Beware the Bright of the Benin (waspadalah terhadap bright of Benin)
For few come out though many go in (karena sedikit yang keluar, meski banyak yang masuk)
Tangannya sontak bergerak menutupi mulutnya dengan erat. Berusaha menahan agar isakan yang keluar tak terlampau keras terdengar.
Abang,
Bahkan dengan kecerdasan yang dimiliki pun, Abang sulit untuk memperoleh pekerjaan dengan penghidupan yang layak di negeri sendiri.
Dan karena tak lagi mampu menahan deraian air mata yang mengalir bak air bah, ia buru-buru menutup buku catatan Bang Is dan mengaitkan kancingnya. Kemudian menyimpan buku bersampul hitam itu di bagian dasar kotak.
Namun sebelum benar-benar menutup kotak dan menyimpannya kembali ke atas lemari, ia sempat meraih album foto yang berada di tumpukan paling atas. Album foto kenangan mereka sekeluarga.
Kini ia telah merebahkan diri di atas tempat tidur. Sembari terus membuka-buka album foto. Memandangi foto Icad, Umay dan Sasa saat mereka pintar tengkurap. Foto yang sama seperti yang ada di dalam buku catatan Bang Is.
Lalu foto saat mereka sekeluarga pergi piknik ke beberapa tempat di sekitaran Jakarta.
Juga foto saat Icad dan Umay dikhitan.
Dan terakhir adalah foto mereka berdua, dirinya dan Bang Is. Foto di depan pintu masuk kebun binatang Ragunan. Yang diambil secara spontan oleh tukang foto keliling.
Di foto tersebut ia sedang tertawa, sementara Bang Is tengah meniupi kedua matanya yang saat itu kemasukan debu.
Ia kembali harus menutup mulut erat-erat dengan sebelah tangan. Berusaha agar isakan yang keluar tak menimbulkan kegaduhan.
Sembari terus memandangi foto, ia berbisik di dalam hati.
"Aku bangga menjadi istri Abang."
"Meski sedih ... tapi aku bangga Abang gugur di medan juang®. Seperti yang selalu Abang cita-citakan."
"Aku akan menunggu Abang datang menjemput."
"Aku akan terus menunggu."
"Selama itu aku akan mengurus anak-anak dengan baik."
Ia mengangguk-angguk berusaha meyakinkan diri sendiri. Sembari terus menggigit bibir kuat-kuat.
Lambat laun raganya mulai lelah. Sangat lelah. Semakin lelah. Menyusul jiwanya yang telah lelah sejak lama.
Namun ia tak merasa sudah terlelap. Sebab matanya masih bisa melihat kondisi kamar dengan sangat baik. Di mana seorang bertubuh jangkung tengah berdiri tepat di depan pintu.
Seketika membuatnya terkesiap, "Abang?"
Sosok jangkung dengan wajah tenang itu tersenyum.
"Abang?" ia kembali menangis.
"Anak-anak butuh seorang ayah ...." gumam Bang Is lirih, namun masih bisa terdengar jelas.
Saat itu juga ia langsung menggelengkan kepala kuat-kuat, "Aku mau nunggu Abang."
"Aku mau kita sama-sama lagi di sana," isakannya mulai tak terkendali.
Bang Is maju beberapa langkah. Lalu berlutut di depan tempat tidur. Hingga mata mereka bisa saling bertautan.
Matanya yang dipenuhi kaca dan mata menenangkan milik Bang Is.
"Loen galak ngon gata (aku mencintaimu) ...." bisik Bang Is.
Namun alih-alih menjawab. Ia justru kembali menggelengkan kepala kuat-kuat.
***
Keterangan :
©. : dikutip dari benin-direct.com
®. : medan juang di sini maksudnya adalah saat sedang mencari nafkah untuk keluarga
Yah bit bukan favorit Sasa lagi 🤭