“Perut itu harusnya di isi dengan janin, bukan dengan kotoran mampet!”
Ara tak pernah menyangka, keputusannya menikah dengan Harry—lelaki yang dulu ia percaya akan menjadi pelindungnya—justru menyeretnya ke dalam lingkaran rasa sakit yang tak berkesudahan.
Wanita yang sehari-harinya berpakaian lusuh itu, selalu dihina habis-habisan. Dibilang tak berguna. Disebut tak layak jadi istri. Dicemooh karena belum juga hamil. Diremehkan karena penampilannya, direndahkan di depan banyak orang, seolah keberadaannya hanyalah beban. Padahal, Ara telah mengorbankan banyak hal, termasuk karier dan mimpinya, demi rumah tangga yang tak pernah benar-benar berpihak padanya.
Setelah berkali-kali menelan luka dalam diam, di tambah lagi ia terjebak dengan hutang piutang—Ara mulai sadar: mungkin, diam bukan lagi pilihan. Ini tentang harga dirinya yang terlalu lama diinjak.
Ara akhirnya memutuskan untuk bangkit. Mampukah ia membuktikan bahwa dia yang dulu dianggap hina, bisa jadi yang paling bersinar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Setelah berhari-hari mengunjungi rumah Bu Farida dan tak juga membuahkan hasil, di hari ke tiga—akhirnya pintu rumah yang sudah kusam itu dibuka lebar.
Bu Farida berdiri di ambang pintu dengan wajah jauh dari ramah tamah. Iraz turut berdiri di belakang sang ibu, menatap tajam wajah abang iparnya yang jelas terlihat kurang tidur.
“Mau apa kamu malam-malam kemari?” tanya Bu Farida dingin. Menatap malas sang menantu yang penuh peluh.
“Saya ingin bertemu Ara, Bu. Dia sudah pulang kerja, ‘kan? Suruh dia keluar,” pinta Harry blak-blakan.
Tiga hari juga Harry menunggu Ara di depan SW Group. Namun sampai sore hari, batang hidung Ara pun tak kunjung muncul. Harry berpikir, mungkin Ara lembur dan pulang malam hari.
Bu Farida menyipitkan mata. “Ara nggak ada di sini.”
Harry melangkah ke depan, hendak menerobos masuk dengan wajahnya yang memelas. “Bu, saya mohon, kalau Ara di sini, tolong—”
Namun, Iraz lekas menghadangnya.
“Kak Ara nggak di sini, nggak denger ibuku bilang apa?” potong Iraz sinis. “Dan kalau pun Kak Ara di sini, Mas Harry pikir ... aku bakal izinin Mas Harry untuk nemuin Kak Ara?”
Harry mengusak rambutnya yang sudah berantakan. “Iraz, kamu itu masih kecil, jangan ikut campur untuk masalah orang dewasa.”
“Benar, anak ku memang masih kecil. Tapi, anak kecil ini jauh lebih beradab dan berakal dari pada kamu, Harry. Dan anakku yang masih kecil ini, bukan sedang ikut campur masalah orang dewasa. Tapi, dia hanya sedang berusaha melindungi kakaknya yang selama menikah tidak pernah mendapatkan perlindungan sedikitpun dari suaminya!”
Harry menelan kasar ludahnya, lalu membuang wajah.
“Betapa teganya kamu, Harry. Tiga tahun anak ku mengorbankan hidupnya demi menjadi seorang istri yang patuh—dan menerima semua kekurangan suaminya, tapi ... kamu justru membalasnya dengan pengkhianatan? Astagfirullah, dosa apa yang pernah ku perbuat dulu sampai-sampai putriku yang berharga harus menerima hukuman seperti ini ....” Bu Farida mengurut pelan dadanya yang sengal.
Harry berdecak. “Namanya orang khilaf, mau digimanain lagi, Bu? Yang sudah terjadi, anggap saja lah angin lalu. Yang pentingkan, gimana kita memulainya lagi dari awal.”
“Enak kali muncung lo ngomong?!” Iraz menarik kerah baju Harry yang memang sudah kusut. Tak ada lagi kata ‘Mas’ sebagai bentuk hormatnya pada suami sang kakak.
“Lo udah nyia-nyiain kakak gue selama 3 tahun ini—nggak lo beri rasa aman dan nyaman, nafkah pun gak becus, terus ditambah lagi lo main serong ... dan sekarang, lo dengan enteng ngomong ingin memulai dari awal lagi?” Iraz mengguncang-guncang kerah baju Harry. “Sinting lo, hah?!”
Harry tak menjawab, ia meneguk kasar ludahnya manakala matanya menatap urat-urat yang menonjol di tangan Iraz.
“Sekarang ... kamu lebih baik pulang, Harry. Jangan pernah kamu beraninya menginjakkan kaki mu di rumah ini lagi!” usir Bu Farida.
Namun, Harry menggeleng tegas.
“Saya nggak akan pulang sebelum bertemu Ara, Bu.”
“Bener-bener nyari mati lo, hah?!” Iraz mengepalkan tinjunya, bersiap-siap akan melayangkan satu pukulan.
Harry terkesiap. Ia berontak—berusaha melepaskan cengkraman Iraz di kerah bajunya.
Iraz semakin mempererat cengkraman nya, sudut bibirnya terangkat manakala Harry semakin panik dan kehilangan keseimbangannya.
Dan, saat kesempatan itu datang—Iraz lekas melepaskan kerah baju Harry. Tubuh Harry pun oleng, seketika terjerembab.
BRUGH!
Harry mengaduh kesakitan.
“Sekarang, lebih baik lo pulang—sebelum gue kalap dan lo berakhir babak belur di sini!” ancam Iraz serius.
...****************...
Tiga hari setelah kejadian di rumah Bu Farida berlalu, Harry semakin mirip cacing kepanasan. Ara masih tak bisa juga dihubungi.
Sedari tadi, Harry hanya bisa mondar-mandir di rumah sang ibu. Wajahnya kusut, rambutnya berantakan, dan matanya sembab akibat kurang tidur.
“Bu,” ucap Harry pelan. Ia menatap Bu Syam yang sedang sibuk menyetrika pakaian.
Bu Syam melirik malas ke arah sang putra yang kini telah menjadi pengangguran. “Apa?”
“Aku dari kemarin mau ngomongin ini sama Ibu, cuma baru sempat sekarang.” Harry memainkan jemarinya yang bersedekap di depan lutut.
Bu Syam mulai menatap serius. Menunggu sang putra kembali berbicara.
“Sebenarnya, Ara itu bukan buruh Toserba, Bu.”
Bu Syam menelisik dengan alis terangkat. “Maksud kamu?”
“Dia kerja di perusahaan ternama. Sebagai asisten pribadi,” desis Harry, masih dengan nada tidak percaya. “Pantas aja ... belakangan ini dia jadi angkuh. Rupanya ada batu pijakan yang besar di telapak kakinya.”
Bu Syam langsung menegakkan tubuh. Setrika di tangannya hampir terjatuh. “Yang bener kamu? Itu berita bagus, Har! Ini dia jawaban dari semua masalah kita!”
Harry mengerutkan kening. “Maksudnya, Bu?”
“Maksud Ibu, selama kamu jadi pengangguran, Ara lah yang harus menggantikan posisi kamu jadi kepala keluarga. Dia harus menafkahi kamu dan juga Ibu. Toh, itu memang tugasnya. Duh, padahal dari tadi kepala Ibu udah pusing mikirin siapa yang bisa bayar arisan Ibu di sana-sini. Gaji Ayahmu dibawa belanja bulanan aja udah sisa debu doang.”
Harry menunduk, ia merasa ucapan sang ibu ada betul nya. Tapi sebelum sempat ia menjawab, pembicaraan itu harus tertunda oleh suara pintu yang diketuk.
Dwi yang lewat dari arah dapur segera menuju ke depan—membukakan pintu. Maniknya memicing, menatap bingung seorang pria berseragam dinas berdiri di ambang pintu, lengkap dengan map cokelat di tangannya.
“Selamat siang, ini kediaman Bapak Harry?”
Harry dan Bu Syam langsung menoleh.
“Iya, saya sendiri,” sahut Harry, buru-buru menyusul ke depan.
“Saya dari Pengadilan Agama.” Ujar sang petugas, menyerahkan map. “Saya di sini mengantar surat resmi terkait proses gugatan cerai. Harap dibaca dan ditindaklanjuti sesuai prosedur.”
Suara detik jam mendadak terasa begitu nyaring di ruangan itu. Wajah Harry membeku. Matanya menatap map itu seolah benda asing yang baru saja meledak di depan wajahnya.
“Ce … cerai?” gumam Harry lirih.
Bu Syam langsung menyambar map itu dan membukanya dengan kasar. Setelah membaca sepintas, wajahnya mendadak memerah. “Ara gugat cerai kamu? Hah? Ini anak bener-bener kurang ajar, udah nggak tau diri!”
Harry mundur beberapa langkah—terduduk pelan di sofa. Napasnya sesak. Seakan dadanya dipukul palu godam. Ia memejamkan mata, mencoba menyangkal semua kenyataan yang baru saja datang menghantamnya tanpa aba-aba.
“Nggak, ini nggak mungkin!”
*
*
*
pinisirinnnnnn🤭🤭🤭