Kayanara tidak tahu kalau kesediaannya menemui Janu ternyata akan menghasilkan misi baru: menaklukkan Narendra si bocah kematian yang doyan tantrum dan banyak tingkahnya.
Berbekal dukungan dari Michelle, sahabat baiknya, Kayanara maju tak gentar mengatur siasat untuk membuat Narendra bertekuk lutut.
Tetapi masalahnya, level ketantruman Narendra ternyata jauh sekali dari bayangan Kayanara. Selain itu, semakin jauh dia mengenal anak itu, Kayanara semakin merasa jalannya untuk bisa masuk ke dalam hidupnya justru semakin jauh.
Lantas, apakah Kayanara akan menyerah di tengah jalan, atau maju terus pantang mundur sampai Narendra berhasil takluk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 24
Sedikit gerimis tidak menjadi masalah besar. Naren tetap menyambut hari dengan senyum secerah mentari dan semangat berapi-api. Di saat ayah dan abangnya masih sibuk menghabiskan sarapan, dia sudah lebih dulu meninggalkan meja makan. Duduk sendirian di teras, menunggu Kayanara datang.
Titik-titik hujan yang jatuh dari langit menjadi penanda waktu. Naren menghitung setiap rintiknya—satu, dua, tiga—seolah-olah hujan pagi itu adalah jam pasir yang menandai berbagai momen istimewa.
Dulu, menunggu adalah sesuatu yang paling enggan dia lakukan. Tetapi hari ini, Naren melakukannya dengan sepenuh hati.
Sekitar lima menit berselang, ayah dan abangnya menyusup keluar. Naren bisa merasakan tatapan keheranan mereka di belakang punggungnya. Telinganya juga menangkap bisik-bisik tetangga dari sana.
“Kenapa adikmu?” Suara ayahnya mengudara.
Tidak ada jawaban. Naren bisa membayangkan abangnya hanya mengedikkan bahu seperti biasa.
Belum sempat keheningan dibabat habis, mobil Kayanara sudah lebih dulu muncul dari kejauhan. Naren langsung berdiri. Ia memeluk tas ranselnya erat-erat, seperti balonku ada lima yang kini tinggal empat.
Kali ini, tanpa menunggu diminta, dia berinisiatif mengulurkan tangan. Punggung tangan ayah dan abangnya ia kecup penuh hormat, ditambah bonus ciuman hangat di pipi mereka masing-masing.
“Hati-hati!” teriak keduanya hampir bersamaan ketika Naren mulai berlari ke arah mobil yang perlahan memasuki pekarangan.
Sambil menoleh, Naren hanya melambaikan tangan dan melanjutkan langkah. Senyum cerahnya tak kunjung luntur.
Saat masuk ke dalam mobil, dia menemukan Kayanara menunjukkan respons yang tak jauh berbeda dengan ayah dan abangnya. Tatapan penuh tanya itu justru membuat Naren semakin bersemangat.
“Ayo,” katanya ceria. Tas punggungnya dipeluk kian erat, diletakkan di atas pangkuan hangat. Pandangannya lurus ke depan. Senyumnya terkembang kian lebar.
Tanpa banyak bicara, mobil mulai melaju pelan. Tidak ada alunan musik dari tape, tidak ada percakapan, Naren juga tidak berusaha membangun benteng seperti biasa. Kayanaran fokus pada jalanan, sementara Naren mulai merajut berbagai skenario di kepala. Cerita-cerita menyenangkan yang hanya dia yang tahu apa akhirnya
Andai setiap hari bisa dimulai dengan perasaan seindah ini...
...🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼...
Hujan turun lebih deras saat mobil Kayanara berhenti di depan gedung fakultas. Beruntung, Naren selalu sedia payung lipat di dalam tasnya. Tanpa ragu, ia mengeluarkan payung hologram yang akan menampilkan motif-motif cantik saat terkena rintik hujan itu.
Dari tas yang sama, ia mengambil sebuah kotak makan berwarna merah muda dengan gambar kupu-kupu emas di atasnya. Payung dia buka, lalu kotak makan disodorkan pada Kayanara.
“Apaan?” tanya perempuan itu dengan alis terangkat.
“Hadiah spesial dari gue,” sahut Naren, memamerkan senyum lebar yang menampakkan deretan giginya yang rapi.
Kayanara memandangi kotak makan itu dengan tatapan curiga. Tapi Naren tidak punya waktu untuk menjelaskan. Sehingga kotak makan itu dia tinggalkan di jok penumpang.
“Selamat menikmati,” katanya sambil mengedipkan mata nakal. Ia menutup pintu, lalu balik badan. Bibirnya kembali bersenandung riang, kontras dengan cuaca pagi yang mendung.
Baru beberapa langkah diayun, pandangannya menangkap eksistensi Eric yang berlarian menerobos hujan. Bak pangeran berkuda putih yang tampan dan bersahaja, dia berlari menghampiri teman baiknya itu. Payung dibagi, merelakan bahu kirinya sedikit basah asalkan Eric terlindungi.
“Tumben,” ucap Eric sambil menatap penuh heran.
Naren hanya tersenyum. Masih enggan menjelaskan apa pun.
“Udah jadi beli cacing sutera?”
“Udah,” jawab Naren singkat, kepalanya mengangguk pelan.
“Udah coba kasih ke ikan-ikan di kolam belakang? Mereka suka?”
Pertanyaan itu membuat langkah Naren terhenti. Ia menatap Eric dengan senyum samar.
“Bukan buat pakan ikan,” katanya.
Alis Eric bertaut. “Kalau bukan buat ikan koi di kolam belakang, terus buat apaan?”
“Hadiah.”
“Hadiah?” Eric makin bingung.
“Iya,” Naren tertawa pelan. “Hadiah spesial, buat seseorang yang spesial juga.”
...🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼...
Sejak pagi, hujan belum berhenti turun. Rintiknya konstan, seperti suara statis di radio. Udara di kelas jadi lebih lembab dari biasanya, jendela-jendela ditutup rapat. Beberapa mahasiswa tampak menggigil kecil, mengenakan hoodie atau menyelipkan tangan ke saku jaket.
Eric duduk di bangkunya, tiga baris dari depan. Sementara Naren ada di sebelah kirinya. Sepanjang dua kelas sebelumnya, Eric terus mengawasi. Ia menelaah setiap gestur, ekspresi, dan respons yang Naren berikan. Mencoba menyambungkan tiap-tiap dot yang berhasil dia kumpulkan demi mencari jawaban.
Namun, sebanyak apa pun observasi dia lakukan, tak ada jawaban pasti soal keanehan Naren hari ini.
Kelas terakhir hari ini adalah Psikologi Perkembangan, dibawakan oleh Bu Widya—dosen paruh baya berperawakan kecil dengan rambut sebahu yang mulai dipenuhi uban. Suaranya lembut tapi tegas. Tipe dosen yang jarang marah namun tatapannya sudah cukup untuk membuat satu kelas membeku di tempat. Hari ini, beliau mengenakan blouse hijau toska yang membuatnya terlihat lebih segar dari biasanya.
Sementara Bu Widya menjelaskan tentang teori Erikson, hampir semua anak di kelas sudah menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Ada yang diam-diam menguap, ada yang mencatat setengah hati, ada pula yang terang-terangan bersandar malas di kursi sambil menatap nanar ke luar jendela—merutuki hujan yang tak kunjung reda.
Eric, di sisi lain, tak bisa duduk tenang. Rasa ingin tahunya memuncak. Ia melirik kiri dan kanan, memastikan tidak ada yang terlalu memperhatikan, lalu perlahan mendekat ke arah Naren. Dengan suara serendah mungkin, ia berbisik:
“Who got you smiling like that, Narendra?”
Naren menoleh perlahan. Kepala anak itu sedikit meneleng, alisnya terangkat tipis, menatap Eric fokus tanpa mengatakan apa pun. Senyumnya gagal tertahan, samar-samar mulai terkembang.
“Lo aneh, tahu?” Eric melanjutkan, suaranya rendah tapi terkesan menusuk dan menuntut jawaban.
“Apanya yang aneh?” tanya Naren balik, senyumnya semakin terlihat creepy.
“Semuanya,” sahut Eric. Dia memindai Naren dari ujung kepala, seolah sedang memindai kehadiran makhluk asing. “Lo nggak kayak diri lo yang biasanya.”
Naren yang normal akan mengomel dan mencak-mencak ketika Eric banyak bicara. Paling tidak, Eric akan mendapati kepalanya digetok pulpen hingga bibirnya berhenti mengoceh. Tetapi Naren yang ini, yang aneh bin absurd bin ajaib bin tidak wajar, malah tersenyum manis.
Masih tak menyerah, Eric kembali mencecar. “Lo nggak lagi ketempelan jin, kan?”
“Jin mana yang berani nempel ke gue? Gue rajin ibadah,” balas Naren sambil mencoret-coret buku catatan. Tampak seperti mahasiswa teladan, padahal yang dia buat hanyalah gambar-gambar acak.
“Siapa tahu jinnya justru naksir sama lo karena terlalu rajin ibadah?”
Kali ini, tawa pelan lolos dari bibir Naren. Kecurigaan Eric semakin membesar karenanya.
Tetapi pada akhirnya, Eric tetap tidak mendapatkan jawaban yang ia butuhkan. Sebab setelah tawa pelannya mereda, Naren kembali sibuk dengan dunianya sendiri.
Bersambung....