Sinopsis Singkat "Cinta yang Terlambat"
Maya, seorang wanita karier dari masa depan, terbangun di tubuh Riani, seorang wanita yang dijodohkan dengan Dimas, pria dingin dari tahun 1970-an. Dengan pengetahuan modern yang dimilikinya, Maya berusaha mengubah hidupnya dan memperbaiki pernikahan yang penuh tekanan ini. Sementara itu, Dimas yang awalnya menolak perubahan, perlahan mulai tertarik pada keberanian dan kecerdasan Maya. Namun, mereka harus menghadapi konflik keluarga dan perbedaan budaya yang menguji hubungan mereka. Dalam perjalanan ini, Maya harus memilih antara kembali ke dunianya atau membangun masa depan bersama Dimas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon carat18, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35: Batas Waktu dan Batu Sandungan
selamat membaca guys ❤️ ❤️ 🐸 ❤️ 🐸
*****
Tatapan tajam perempuan muda itu menghunus Riani. Ia adalah Kirana, cucu dari almarhum Pak Karta, dan niat nya jelas: merebut kembali tanah yang selama ini menjadi satu-satu nya rumah Riani dan Dimas.
Pak Harjo berdiri di samping nya, memandang Riani dengan ekspresi sulit diartikan, seolah ada beban yang dipikul nya. Udara pagi yang tadi nya sejuk, kini terasa begitu dingin, menusuk hingga ke tulang.
"Dengan segala hormat, Nona Kirana," Riani mencoba menahan suaranya agar tetap tenang, meskipun jantung nya berdentum kencang di dada.
"Kami sudah berupaya mencari jalan tengah. Kami bahkan sedang mengumpulkan dana untuk membeli tanah ini secara sah."Kirana tersenyum sinis, sebuah senyuman yang tidak sampai ke matanya.
"Jalan tengah? Tanah ini adalah warisan leluhur saya. Nenek saya sudah sering bercerita bagaimana kakek saya meminjam kan tanah ini dengan harapan bisa membantu orang desa. Tapi seiring berjalan nya waktu, niat baik itu justru disalahgunakan". Ia menoleh ke arah Pak Harjo, seolah meminta konfirmasi atau mungkin justru menekan nya.
"Berapa banyak yang sudah mereka kumpulkan, Pak Harjo?"Pak Harjo terlihat tidak nyaman, gesturnya canggung.
"Maaf, Nona. Saya belum bisa memberitahu kan detail nya. Tapi mereka memang menunjukkan itikad baik." Suara nya terdengar ragu, seperti ada sesuatu yang ingin ia katakan namun tertahan.Dimas maju selangkah, menempatkan diri nya sedikit di depan Riani, seperti perisai pelindung.
"Kami tidak berniat menyalahgunakan apa pun, Nona. Kami membangun hidup kami di sini. Tanah ini sudah kami olah dengan sepenuh hati, kami merawat nya. Ini bukan hanya sekadar tanah, ini adalah harapan kami."Kirana melipat tangan di dada, sikapnya angkuh.
"Sepenuh hati? Saya lihat sendiri kebun di sana. Tanah itu seharusnya bisa menghasil kan lebih dari ini. Kalian tidak tahu potensi sebenarnya dari tanah ini." Matanya menyapu ladang hijau yang selama ini mereka garap dengan keringat dan cinta.
"Saya bukan hanya ingin mengambil kembali tanah ini, tapi juga mengembangkan bisnis di sini. Proyek agrowisata dan perkebunan skala besar. Ini bukan sekadar urusan emosional, ini bisnis." Nada suara nya dingin, tanpa sedikit pun empati.Riani merasakan kemarahan meluap, rasa panas menjalar di sekujur tubuhnya.
"Bisnis? Anda bicara tentang bisnis di atas penderitaan orang lain? Bagaimana dengan nasib warga yang sudah menggantungkan hidupnya pada kebun ini? Pada usaha roti yang kami rintis? Banyak keluarga yang bergantung pada kami, Nona!"
"Itu bukan urusan saya," jawab Kirana dingin, tatapannya membeku.
"Saya memberi kalian waktu dua minggu untuk mengosongkan rumah ini. Setelah itu, saya akan datang lagi dengan surat perintah penggusuran yang sah. Dan jika kalian tetap menolak, saya tidak akan segan-segan melibatkan pihak berwajib." Ancaman itu terasa seperti palu godam yang menghantam.
Batas Waktu yang Mencekik Dua minggu.
Batas waktu itu terasa mencekik, mengikat leher Riani dan Dimas. Malam hari nya, mereka duduk berhadapan dengan Kepala Desa di balai desa yang remang, hanya diterangi lampu minyak. Suasana tegang menyelimuti ruangan, setiap kata terasa berat.
"Maafkan saya, Riani, Dimas," kata Kepala Desa dengan nada putus asa, wajah nya tampak lelah dan cemas.
"Saya sudah mencoba bicara dengan Nona Kirana, mengajukan berbagai opsi, tapi dia bersikeras. Dia memiliki semua dokumen yang sah, terdaftar di kantor pertanahan kabupaten. Kita tidak punya pilihan lain selain mengikuti kemauan nya."
"Tapi kami sudah hampir terkumpul, Pak Kepala Desa!" seru Riani, menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata.
"Tinggal sedikit lagi. Jika kami diberi waktu lebih, kami pasti bisa melunasinya. Kami sudah berjuang sangat keras."Kepala Desa menggeleng lemah.
"Nona Kirana tidak mau tahu, Riani. Dia bahkan sudah mengirimkan surat peringatan resmi kepada saya, ditembuskan ke kecamatan. Jika kalian tidak pindah dalam dua minggu, dia bisa meminta bantuan dari aparat hukum untuk melakukan penggusuran. Saya tidak punya kekuatan untuk melindungi mu dari hal itu."Dimas menggenggam tangan Riani erat, seolah menyalurkan kekuatan.
"Tidak mungkin, Pak Kepala Desa. Kami tidak akan menyerah begitu saja. Ini rumah kami, ini hidup kami. Kami sudah merintis semuanya dari nol di sini."Malam itu, berita tentang ultimatum Kirana menyebar cepat di desa, seperti api di musim kemarau.
Kekhawatiran dan ketakutan mulai menghantui warga. Namun, bersamaan dengan itu, gelombang solidaritas tak terduga muncul. Para ibu yang ikut pelatihan kewirausahaan datang berbondong-bondong ke rumah Riani. Mereka membawa makanan, menawarkan bantuan, dan yang terpenting, dukungan moral yang tulus.
"Kita tidak akan biarkan mereka pergi, Bu Riani!" seru Bu Siti, salah seorang ibu yang paling aktif dalam pelatihan roti, matanya menyala penuh tekad.
"Kita semua sudah merasakan manfaat dari pelatihan ini. Usaha roti kita mulai maju, anak-anak kita bisa makan lebih baik. Kita harus berjuang bersama!"
"Betul, Bu Riani! Kita akan bantu apa saja yang kita bisa!" sahut ibu-ibu yang lain.
Riani terharu. Air mata yang tadinya ia tahan, kini meluncur deras di pipi nya, bukan karena sedih, tapi karena keharuan yang mendalam. Kekuatan persatuan ini memberinya harapan baru, sebuah cahaya di tengah kegelapan.
Ia tahu, perjuangan ini bukan hanya tentang rumahnya dan Dimas, tapi juga tentang masa depan desa ini, tentang martabat mereka.
Ia memandang Dimas, matanya penuh keyakinan.
"Mas, kita tidak bisa menyerah. Pasti ada cara lain. Aku yakin itu."
"Apa pun itu, aku siap," jawab Dimas, matanya berbinar dengan tekad yang sama.
"Kita akan hadapi ini bersama."Jejak Masa Lalu dan Aset Tersembunyi Sistem di pikiran Riani kembali berkedip, memberikan notifikasi baru, seolah membaca kegelisahannya:
Tantangan berikutnya – temukan bukti perjanjian lama yang belum tercatat atau saksi hidup yang bisa menguatkan klaim kepemilikan. Bonus: informasi mengenai aset tersembunyi keluarga almarhum Pak Karta.
Riani menyadari, ini bukan lagi tentang uang semata. Ini adalah pertarungan informasi, pertarungan bukti. Siapa yang memiliki data paling lengkap, paling akurat, dialah yang akan menang. Ia teringat cerita-cerita lama dari para sesepuh desa tentang bagaimana tanah itu dulu nya adalah tanah adat sebelum 'dipinjamkan' kepada Pak Karta. Mungkin ada rahasia yang terkubur dalam sejarah.
"Mas, kita harus mencari informasi lebih dalam," kata Riani pada Dimas, ide nya mulai mengalir.
"Mungkin ada kakek atau nenek di desa ini atau desa tetangga yang masih ingat detail perjanjian dulu. Siapa tahu ada surat-surat lama yang tidak di simpan di balai desa, dokumen pribadi atau catatan keluarga."
Dimas mengangguk, mata nya menunjuk kan bahwa ia juga memikirkan hal yang sama.
"Benar juga. Dulu kakekku pernah cerita sedikit tentang tanah ini. Katanya ada 'penjaga arsip' di desa sebelah, seorang sesepuh yang sangat tua bernama Mbah Kardi, yang tahu banyak tentang sejarah tanah di sini, termasuk silsilah kepemilikan. Beliau juga dikenal karena ingatan nya yang tajam."
Keesokan hari nya, Riani dan Dimas memulai pencarian mereka.
Mereka tidak lagi fokus pada pengumpulan dana, melainkan pada pengumpulan data. Mereka mendatangi rumah-rumah sesepuh, dari satu rumah ke rumah lain, dari satu dusun ke dusun lain nya.
Mereka mendengarkan cerita-cerita lama, terkadang diselingi tawa, terkadang diselingi air mata. Mereka mencatat setiap kepingan informasi yang mereka dapat kan, sekecil apa pun itu, berharap menemukan jejak yang bisa menyelamatkan rumah dan masa depan mereka.
Perjalanan mereka membawa mereka ke desa tetangga, sebuah desa yang lebih tua dan memiliki sejarah panjang. Mereka bertanya tentang Mbah Kardi, dan disambut dengan senyuman hangat dari warga yang mengenal sesepuh itu.
Mbah Kardi adalah seorang pria tua renta dengan mata yang masih tajam dan ingatan yang luar biasa. Dia duduk di beranda rumahnya yang sederhana, memegang tasbih tua, saat Riani dan Dimas menjelaskan maksud kedatangan mereka.
Mbah Kardi mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk. "Tanah itu... memang ada cerita nya," ujarnya pelan, suara nya serak namun jelas.
"Bukan sekadar pinjam-meminjam biasa. Ada syarat dan ketentuan yang mungkin sudah dilupakan." Dia terdiam sejenak, seperti sedang menelusuri lorong-lorong ingatan nya yang panjang.
"Dulu, ada perjanjian khusus antara Pak Karta dan para tetua adat di sini. Perjanjian itu tidak hanya tentang jangka waktu, tapi juga tentang hak dan kewajiban. Dan yang terpenting, ada seorang saksi kunci yang sampai sekarang masih hidup."
Riani dan Dimas saling pandang, napas mereka tertahan. Sebuah harapan baru menyala terang. Siapa saksi kunci itu? Dan apa isi perjanjian rahasia yang belum tercatat itu? Waktu terus berjalan, dan setiap jam yang berlalu terasa semakin berharga, karena dua minggu itu terus berjalan, dan bayangan penggusuran semakin nyata.
Perjuangan mereka kini memasuki babak baru, babak yang lebih rumit, namun juga penuh harapan.Siapakah saksi kunci yang disebutkan Mbah Kardi, dan apa yang akan terungkap dari kesaksian nya? Bagaimana Riani dan Dimas akan menggunakan informasi ini untuk menghadapi Kirana dan menyelamatkan rumah mereka?
*****
Terima kasih sudah membaca guys ❤️❤️🐸❤️🐸