Lahir dari pasangan milyuner Amerika-Perancis, Jeane Isabelle Richmond memiliki semua yang didambakan wanita di seluruh dunia. Dikaruniai wajah cantik, tubuh yang sempurna serta kekayaan orang tuanya membuat Jeane selalu memperoleh apa yang diinginkannya dalam hidup. Tapi dia justru mendambakan cinta seorang pria yang diluar jangkauannya. Dan diluar nalarnya.
Nun jauh di sana adalah Baltasar, seorang lelaki yang kenyang dengan pergulatan hidup, pelanggar hukum, pemimpin para gangster dan penuh kekerasan namun penuh karisma. Lelaki yang bagaikan seekor singa muda yang perkasa dan menguasai belantara, telah menyandera Jeane demi memperoleh uang tebusan. Lelaki yang mau menukarkan Jeane untuk memperoleh harta.
Catatan. Cerita ini berlatar belakang tahun 1900-an dan hanya fiktif belaka. Kesamaan nama dan tempat hanya merupakan sebuah kebetulan. Demikian juga mohon dimaklumi bila ada kesalahan atau ketidaksesuaian tempat dengan keadaan yang sebenarnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon julius caezar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 35
Baltasar menggendong Jeane dan membaringkannya di atas ranjang, lalu melepaskan selimut yang membungkus tubuh Jeane. Secara naluriah, Jeane mengulurkan tangan hendak mencegah selimut itu lepas dari tubuhnya, tetapi pria itu telah melemparkannya hingga jauh dari jangkauan Jeane. Sedikit kesadaran Jeane yang masih tersisa dalam keadaan mabok itu menyatakan bahwa ia tidaklah berada di atas ranjangnya sendiri. Bukan di kamarnya!
Beberapa saat lamanya, Jeane merasa terlalu lumpuh untuk bisa bergerak. Berat tubuh pria itu sudah berada di atas tubuhnya sebelum ia dapat melakukan sesuatu. Di dalam kegelapan kamar itu, secara naluriah ke dua tangan Baltasar menemukan tubuh Jeane. Dan sentuhannya membuat Jeane menendang nendang dan mencakar cakar seperti binatang buas. Tapi Baltasar cuma tertawa dengan suara serak, menangkis lengan dan kaki Jeane sambil menekannya pada kasur itu.
"Menjerit lah kalau kau memang mau menjerit, harimau betinaku," bisik Baltasar. "Tidak seorangpun akan mendengar suaramu dalam deru badai di luar itu. Sekalipun mereka mendengar, mereka juga tidak akan datang untuk menolongmu."
Mulut pria itu menemukan jalur peka di sepanjang leher Jeane. Jeane membenamkan kuku dan jari tangannya ke dalam kulit pria itu, mersakan kepuasan karena daging pria itu robek di bawah cakarannya. Tetapi biarpun pria itu berteriak kesakitan, ke dua tangannya terus menekan tubuh Jeane ke atas kasur.
Perlawanan yang dilakukan Jeane mau tidak mau menghabiskan tenaganya. Jeane berhenti sejenak, untuk menarik dan memulihkan napasnya. Tapi seketika itu juga, mulut Baltasar menyerbu bibir Jeane yang merekah terbuka dan menekan kepalanya ke belakang. Ke dua tangannya bermain main pada bagian bagian yang peka di tubuh Jeane.
Dalam hati Jeane menjerit karena ketidak mampuan nya menguasai diri dan mengendalikan reaksi reaksi tubuhnya sendiri. Kepalanya seakan akan berputar putar tidak berdaya dalam pusaran nafsu yang menggoncang tubuhnya.
Perasaan perasaan itu sangat asing bagi Jeane, tapi ia tidak mampu mengendalikannya. Nafsu telah menguasai dirinya, mengambil alih dan membuatnya menginginkan kepuasan fisik dari pria itu. Dan sensasi sensasi itu makin menjadi jadi ketika mulut pria itu bergerak menuruni lehernya menurun ke dadanya bahkan menjelajahi seluruh tubuhnya, membuat Jeane tidak kuasa menahan erangan kenikmatan yang keluar dari mulutnya.
Tidak ada ketergesaan pada sentuhan dan belaian pria itu, tapi api nafsu pada diri Jeane justru semakin menyala dan semakin panas. Ke dua tangan pria itu, yang menemukan tempat tempat paling peka, menyentuh, menggoda, merangsang dan melepaskan semua hambatan dan ketakutan yang masih menguasai diri Jeane.
Kejantanan yang memabukkan itu juga merupakan suatu perangsang erotik, yang membangkitkan birahi Jeane hingga titik tertinggi, bergolak dan meledak. Apapun yang dilakukannya, Jeane tidak bisa tidak acuh pada sentuhan pria itu. Kini ia bagaikan selembar daun yang bergetar dalam terpaan angin. Kegadisannya sudah dilepaskan pada Edgar yang justru menyakitkan, kini ia merasa rapuh dalam kehebatan fantasi Baltasar.
Selagi ia masih mempunyai kemauan, biarpun sangat rapuh, Jeane mengggunakan ke dua tangannya mendorong bahu pria itu, memaksa Baltasar mengangkat kepala dan mengakhiri permainan tangannya. Dengan suatu gerakan pria itu menundukkan kembali kepalanya hendak menguasai bibir Jeane, tetapi Jeane mengelak.
"Apalagi yang kau tunggu?" tanya Jeane dengan putus asa. "Mengapa tidak kau perkosa saja diriku dan mengakhiri penyiksaan ini?"
"Itu akan terlalu cepat, harimau betinaku," jawab pria itu. "Aku justru mau memperpanjang waktunya, memperpanjang siksaanmu."
Ketika mulut pria itu mendarat di atas mulutnya, Jeane merasakannya sebagai siksaan, siksaan yang manis. Ujung ujung saraf Jeane menjerit jerit, menginginkan tindakan berikutnya dari pria itu. Tubuhnya menggeliat geliat dan mendesak rapat karena siksaan nafsunya sendiri.
Bagaikan suara seekor kucing mendengkur keluar dari bibir Jeane ketika kaki berotot pria itu meluncur dan mendesak akrab di antara ke dua kakinya, memaksa kaki Jeane merenggang. Penggenapan dan kepuasan yang sesaat itu menimbulkan getaran kenikmatan yang menggoncang tubuh Jeane. Ia merasa seperti terbungkus dalam suatu kabut dari emosi emosi yang berpusar dan bergolak. Getaran getaran primitif bergantian dengan kenikmatan, hingga akhirnya Jeane tergolek lemas dan terkuras habis tenaganya.
Badai badai emosi yang baru dan aneh itu perlahan lahan mereda. Berangsur angsur kesadarannya pulih kembali. Ada rasa malu, bingung dan rasa jijik pada diri sendiri karena ternyata ia menemukan kenikmatan dalam pelukan pria itu.
Baltasar bergerak, bahu berotot itu bergesek pada lengan Jeane. Perasaan meremang menari di atas kulit Jeane, api yang redup dalam dirinya mulai menyala lagi. Rahang Jeane menegang karena sambutan tubuh yang di luar kemampuannya itu, kuatir bahwa ia tidak akan dapat mengendalikannya lagi.
Jeane merasa harus menjauhi sentuhan pria itu kalau tidak mau terbakar nafsunya sendiri. Ia menggeser kakinya ke tepian ranjang dan mulai bangkit, tetapi jari jari pria itu menangkap lengannya. Jeane tidak mampu melepaskan diri dari cengkeraman pria itu.
"Mau ke mana kau?" Baltasar bertanya.
"Pergi ke kamarku," Jeane menjawab dengan kaku.
"Kenapa?" tanya Baltasar, sikapnya tidak acuh.
"Setahuku, semua teman tidur wanitamu selalu meninggalkanmu agar kau bisa tidur sendirian," jawab Jeane dengan nada mengejek. Padahal ia bermaksud agar memperoleh kesempatan untuk menguasai kembali perasaan perasaannya dan melupakan kepuasan yang didapatkannya dari pelukan pria itu.
"Kau berkata demikian karena Estela, bukan?"
"Kalau bukan dia, siapa lagi?" Jeane berkata dengan ketus. "Kau kira aku tidak mendengar bagaimana kalian bercinta? Betapa di tempat tidurku, aku mendengar suara suara kalian bercinta yang menjijikkan itu? Bagaimana perempuan itu mengerang dan berbisik serta mengucapkan selamat tidur saat ia meninggalkanmu?"
"Kalau kau menganggapnya sebagai sesuatu yang menjijikkan, tidak seharusnya kau mendengarkan semua itu," tantang Baltasar.
"Apakah aku punya pilihan dengan dua babi yang melampiaskan nafsunya di kamar sebelahku?"
Pria itu menarik Jeane ke sampingnya, memaksa Jeane berbaring lagi. Jeane tidak melawan, memilih untuk membuat dirinya santai terhadap sentuhan tangan pria itu.
"Pengaturan di antara Estela dan aku menyenangkan bagi kami berdua, walaupun kau tidak menyukainya," kata pria itu dengan nada dingin.
"Yang menyenangkan bagiku......." Jeane menimpali nada dingin itu, "bukanlah tidur denganmu di ranjang ini."
"Ah, sayang sekali kalau begitu," bisik pria itu dengan angkuh.
"Mengapa?" seru Jeane dengan jengkel. "Estela juga tidak tidur di sini denganmu. Mengapa kau memaksa aku untuk tetap tinggal di sini?"
"Keadaan kalian berdua tidaklah sama. Estela ingin di rumah bersama keluarga dan pria yang menjadi suaminya. Sedangkan engkau? Tidak ada orang yang menunggumu selain ranjang kosong di kamar sebelah."
Jeane berpaling terkejut pada pria itu. "Apa? Suaminya?"