NovelToon NovelToon
12th Layers

12th Layers

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Fantasi / Sci-Fi / Misteri
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: GrayDarkness

Maelon Herlambang - Pria, 16 Tahun.

Dibesarkan di lapisan pertama, panti asuhan Gema Harapan, kota Teralis. Di sekeliling kota ditutupi banyak tembok besar untuk mencegah monster. Maelon dikhianati oleh teman yang dia lindungi, Alaya. Sekarang dia dibuang dari kota itu dan menjadi umpan monster, Apakah Maelon bisa bertahan hidup didunia yang brutal dan tidak mengenal ampun ini?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11: Tingkat 1 - Reah (Retakan)

Hari Ketiga

Hari ketiga bukan lagi tentang tubuh. Lapar hanyalah gema. Rasa sakit telah menjadi latar sunyi. Maelon duduk dalam diam yang mendekati kematian, namun justru di titik itu ia merasa paling hidup. Matanya terbuka, menatap ke dalam gelap yang telah menyelimutinya sejak awal, tapi kini… kegelapan itu tak lagi asing. Ia bukan ancaman, bukan kehampaan. Ia adalah cermin, dan dari cermin itu, Maelon melihat dirinya sendiri—seorang anak terluka yang tak punya apa pun, namun tetap bertahan meski segalanya telah mencoba memusnahkannya.

Dan saat tangannya gemetar karena dingin yang tak berasal dari udara, bisikan itu kembali. Namun kali ini, bisikan berubah menjadi gema. Kata-kata yang semula hanya serpih asing kini perlahan membentuk arti, seperti bahasa tua yang pernah Maelon tahu tapi terlupakan dalam darah dan kelaparan. Aetheron… kekuatan itu bukan sekadar energi. Ia adalah kehendak. Bukan terang yang menyelamatkan, tapi nyala yang tak bisa dipadamkan. Bukan pemberian, tapi ujian yang harus dipikul. Aetheron bukan milik siapa pun—ia memilih siapa yang cukup kuat untuk menanggungnya.

Maelon mengerti, bukan dengan pikiran, tapi dengan tubuh. Dengan luka. Dengan sunyi.

Tubuhnya mulai bergetar. Bukan karena takut, bukan karena dingin, tapi karena sesuatu di dalamnya sedang mengubah bentuk. Seperti dunia kecil dalam dirinya yang perlahan menggeliat, mencari celah untuk lahir. Dan di saat itulah, Maelon menangis. Bukan karena ia lemah, melainkan karena ia sadar—semua yang terjadi bukan demi kekuatan. Tapi demi bertahan, dalam rasa sakit, dalam penolakan, dalam ketiadaan arah. Dalam sepi yang tidak pernah memeluk, hanya memahat.

Lalu, dalam hening paling padat, ketika segala hal lain telah tenggelam, ketika ia telah menjadi satu dengan kegelapan… sesuatu menjawab.

Cahaya menyala dari dalam tubuhnya.

Bukan cahaya yang lembut. Bukan sinar yang memberi harapan. Ini adalah terang purba—energi yang terlalu murni untuk diterima kenyataan. Cahaya Aetheron bukan datang dari luar, bukan pantulan atau bias. Ia muncul dari retakan jiwa, dari luka yang menolak sembuh. Satu napas, satu semburan, dan tempat itu… runtuh. Batu mencair. Besi meleleh. Dinding-dinding tua yang telah diam selama ratusan tahun lenyap dalam sekali ledakan.

Namun tubuh Maelon tidak hancur.

Segalanya musnah kecuali dirinya. Bukan karena ia kebal, tapi karena tempat itu tahu: ia adalah pusat ledakan. Ia adalah sumber, dan sumber tak bisa dilenyapkan oleh dirinya sendiri.

Retakan itu telah terbuka.

Bukan tubuh yang pecah, bukan jiwa. Tapi sesuatu yang lebih dalam—sebuah batas, sebuah segel yang tak kasatmata. Dan dari celah kecil itu, kekuatan mulai menyusup keluar. Tidak meledak sekaligus, tapi merembes seperti darah dari luka yang tak berhenti berdetak.

Kulit Maelon bersinar seperti bara. Urat-uratnya tampak seolah digambar ulang oleh cahaya yang tak bisa dijelaskan. Siapapun yang melihatnya saat itu… akan buta. Tapi bukan karena silau, melainkan karena otak mereka tidak akan sanggup menafsirkan bentuk dari kekuatan yang belum seharusnya dilihat manusia.

Ketika semuanya mereda, hanya puing dan debu yang tersisa.

Maelon berdiri di tengah kehancuran. Napasnya berat, tubuhnya gemetar. Tapi ia tahu—ia bukan lagi orang yang sama. Ia belum tahu tingkat kekuatan itu, belum mengenal nama-namanya, tapi ia tahu… sesuatu telah pecah. Dan dari pecahan itu, sesuatu yang lebih besar, lebih dalam, lebih berbahaya mulaI hidup.

Ia telah dibuka.

Dan dunia tidak akan bisa menutupnya kembali.

Maelon berdiri di antara puing dan debu, napasnya berat, tubuhnya masih panas, seolah bara api tak kasatmata terus membakar dari dalam. Ia menatap tangannya—keringat bercampur darah telah mengering di kulitnya, namun luka yang semestinya masih menganga… telah hilang. Daging yang robek kini tertutup, otot yang terkoyak telah kembali menyatu. Tidak ada bekas. Tidak ada rasa sakit.

"Aku... lebih kuat." Suaranya sendiri terdengar asing di telinganya, serak tapi mantap. "Kekuatanku meningkat pesat…"

Ia mengepalkan tangan, merasakan otot-ototnya bergerak seolah ada energi yang melapisi tiap selnya. “Tenaga dan kekuatan fisikku… meningkat. Bahkan lukaku sembuh… seperti bukan manusia lagi.”

Ia menunduk, menatap telapak tangannya. Masih gemetar. Tapi bukan karena takut—melainkan karena ada sesuatu di dalam dirinya yang mendesak untuk dikeluarkan. Rasa itu bukan dorongan kasar seperti marah, atau liar seperti lapar. Rasa itu… seperti gelombang cahaya yang ingin menemukan bentuknya.

“Ini… Aetheron?” bisiknya lirih, hampir seperti doa yang terselip keraguan.

Dan seolah merespons pertanyaan itu, tangannya mulai bersinar. Bukan semburan, bukan ledakan seperti sebelumnya. Kali ini tenang. Terfokus. Sebuah bola cahaya perlahan muncul di telapak tangannya—kecil, nyaris sebesar batu. Cahaya itu berdenyut pelan, seperti jantung yang baru bangkit, dan menari dalam senyap.

Maelon terpana. Bola itu bukan cahaya biasa. Ia tidak sekadar menerangi… ia seolah memandang balik ke dalam diri Maelon. Menggali. Menghakimi. Mengakui.

Namun bola itu juga rapuh, goyah, seakan satu bisikan saja cukup untuk memadamkannya. Maelon bisa merasakannya—kekuatan ini belum stabil. Ia baru lahir, dan jika tidak dijaga, akan musnah seperti embun dalam api.

Tapi di balik kerentanannya, bola itu adalah awal. Sebuah bukti bahwa Aetheron bukan hanya ilusi. Ia nyata, tumbuh… dan hidup.

Maelon mengepalkan tangan perlahan. Bola cahaya itu lenyap, menghisap dirinya kembali ke dalam. Ia menarik napas panjang, menatap ke depan. Perjalanan masih jauh, dan kekuatannya baru mulai menyentuh permukaan. Tapi untuk pertama kalinya… ia tidak merasa sendirian. Karena kini, ada sesuatu dalam dirinya yang akan menyertainya sampai akhir—entah sebagai kekuatan… atau kutukan.

---

Di tengah reruntuhan yang membusuk oleh waktu dan dilahap kesunyian, seorang pria membungkuk di antara tulang-tulang besi dan puing kaca. Tangannya cekatan, menyisir serpih logam dan kabel mati, mencoba mencari satu dua bagian yang masih bisa digunakan—entah untuk menambal senjata, membentuk alat, atau sekadar dijual untuk sepotong roti basi. Tak ada suara selain gesekan pasir di bawah sepatu dan desahan napasnya yang berat.

Namun tiba-tiba, tubuhnya kaku. Urat di tengkuknya menegang. Suhu udara berubah. Tidak panas… tapi menusuk.

"Aura ini…" bisiknya, matanya melebar, pupilnya menyempit tajam seperti hewan buruan. "Ini… Aetheron."

Ia berdiri, pandangannya menyapu ke segala arah seperti binatang yang mencium darah. Aura itu tidak lembut. Bukan seperti kebanyakan pengguna Doctrina lainnya yang menyembunyikan kekuatannya seperti bara dalam abu. Ini seperti ledakan matahari—mentah, liar, baru lahir namun mengancam.

“Seseorang… sedang melakukan ritual peningkatan Lapsus di sini.” Suaranya semakin pelan, hampir seperti ketakutan.

Lalu, suara itu datang.

Ledakan. Bukan seperti senjata atau bahan peledak. Ini lebih dalam. Dentuman dari dimensi yang berbeda. Tanah berguncang. Debu menghantam udara. Pria itu mundur setengah langkah, lalu berlari menuju sumber suara, langkahnya sigap namun penuh kehati-hatian.

Ia tiba di sebuah titik kosong di tengah reruntuhan. Debu masih menari di udara. Sisa cahaya samar berpendar dari retakan di tanah. Di sana… berdiri seseorang.

Tubuh kurus tapi tegak. Kulitnya dipenuhi bekas luka, namun matanya memancarkan sinar yang tak bisa dijelaskan. Seolah cahaya dari dalam dirinya belum sepenuhnya padam. Di sekelilingnya, reruntuhan hangus seperti habis dilumat sesuatu yang bukan dari dunia ini. Ia berdiri diam, tapi auranya bergerak—seperti arus air yang tidak terlihat tapi bisa dirasakan menekan dada.

Pria itu menatapnya dengan tajam, mengukur, menilai. Dan Maelon… menatap balik. Mata mereka bertemu—sekejap, namun cukup untuk saling mengenali bahwa ini bukan pertemuan biasa.

1
Aisyah Christine
pasti susah utk memahaminya. bagaimana maelon bisa bersatu dan berkomunikasi dgn kekuatan baru
Aisyah Christine
ini kulivator moden thor😂
Aisyah Christine
perjuangan yang belum tuntas.. smoga bisa bekerjasama dgn tubuh yang baru.
Aisyah Christine
entah ini 1 keberkahan atau kutukkn tapi yg jelas maelon semakin kuat
Aisyah Christine
apa kayak parasit? tubuhnya udh pindah ke ank remaja itu?
GrayDarkness: 10/10
total 1 replies
angin kelana
survival..
angin kelana
pertama baca coba lanjut..
GrayDarkness: terima kasih banyak, semoga suka.
total 1 replies
Aisyah Christine
terus bertahan untuk hidup
Aisyah Christine
tanda dr makhluk aneh itu
Aisyah Christine
lebih baik mencoba sesuatu dr mati sia²😂
Aisyah Christine
cerita yang menarik. lanjut thor
GrayDarkness: terima kasih, do'ain aja biar bisa dieksekusi dengan baik. kalo ada kesalahan bilang aja biar nanti langsung diperbaiki.
total 1 replies
GrayDarkness
terima kasih sarannya akan diperbaiki secepatnya
azizan zizan
kekuatan ini datang bukannya dengan paksaan.. di ulang2 terus..
GrayDarkness: done, sedang direview terima kasih. kalo ada yang lain bilang aja, biar langsung diperbaiki.
total 1 replies
GrayDarkness
Betul, puitis.
Aisyah Christine: gaya bahasa nya lebih pada malay. maka aku faham😂
total 1 replies
azizan zizan
ini novel peribahasa kah apa ini.. alurnya berbelit-belit..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!