Naya seorang istri yang sedang hamil harus menerima takdir ditinggal suaminya karena kecelakaan. Pada saat sedang dalam perjalanan ke kampung halaman, suaminya yang bernama Ammar jatuh dari Bus antar kota yang ugal-ugalan.
Sebelum Ammar tewas, dia sempat ditolong oleh sahabatnya yang kebetulan mobilnya melintas di jalan tol. Tak disangka Ammar menitipkan amanah cinta kepada sahabatnya bernama Dikara yang berprofesi sebagai dokter.
Padahal saat itu Dikara sudah bertunangan dengan seorang wanita yang berprofesi sama dengannya.
Akahkah Dika menjalani amanah yang diberikan sahabatnya? Atau dia akan tetap menikahi tunangannya?
Apakah Naya bersedia menerima Dikara sebagai pengganti Ammar?
Cinta adalah amanah yang diberikan Allah SWT terhadap pasangan. Namun bagaimana jadinya jika amanah itu dinodai oleh pengkhianatan?
Yuk lah kita baca selengkapnya kisah ini!
Happy reading!💕
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FR Nursy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24 Akhirnya Naya Tahu
Dikara memenuhi janjinya untuk mengantar Naya ke Garut. Ia sudah mendapat izin dari Papa Fahmi untuk menyelesaikan urusan pribadinya, sehingga ia harus meninggalkan rumah sakit untuk beberapa hari ke depan.
Selepas subuh Dikara dan Naya berangkat menuju Garut. Naya duduk di samping Dikara sesuai dengan keinginannya. Meskipun Naya sebenarnya merasa tidak nyaman berada di samping Dikara. Apalagi sewaktu-waktu ia harus memberi ASI pada bayi Sha. Disisi lain ia pun tidak bisa menolak keinginan Dikara yang sudah banyak membantunya.
Dalam perjalanan, mereka mengobrol tentang masa lalunya bersama Ammar, sampai masalah pribadi pun ditanyakan Dikara. Dikara hanya ingin lebih dekat dengan Naya. Setidaknya ia tidak akan salah dalam memilih walaupun ini merupakan perjodohan dari sahabatnya melalui amanah yang diucapkannya sebelum meninggal dunia.
"Maaf dok, boleh aku tanya sesuatu? Perasaan sejak tadi, aku terus yang cerita. Tentang keluarga sampai masalah pribadiku,"
"Boleh tentu saja boleh. Apa yang ingin kau tanyakan Naya. Maaf aku panggil nama saja ya, biar kita terkesan akrab. Kau boleh panggil aku Dikara atau Mas Dikara,"
"Oh ya! Tapi ...,"
"Kenapa? Kamu keberatan? Kamu masih muda, engga apa-apa kan kalau aku panggil Naya saja atau Mom Sha,"
"Panggil Naya saja dok, eh...Dikara, maaf maksudku Mas Dikara," Naya terlihat gugup.
Dikara tersenyum manakala melihat kegugupan Naya.
"Maaf Mas. Apakah Mas sudah berkeluarga?"
Dikara bergeming. Ia tidak menyangka Naya akan menayakan hal tersebut.
"Maaf Mas, tidak perlu dijawab kalau Mas keberatan,"
Dikara tersenyum lagi, saat Naya terlihat kikuk karena Dikara merasa tidak menghiraukan pertanyaannya.
"Aku masih sendiri tapi tidak lama lagi aku akan segera melepas masa lajang,"
"Oh ya? Selamat ya Mas. Sungguh beruntung wanita yang akan menikah denganmu,"
"Oh tentu saja. Aku merasa bahagia bisa menjalani amanah terbesar dari Allah untuk menautkan dua cinta, yang belum bisa kami miliki," Dikara tersenyum bangga.
"Maksud Mas?"
"Aku sebenarnya sudah bertunangan dengan seseorang yang berprofesi yang sama denganku. Tapi harus kandas,"
"Kenapa? Sayang sekali. Kalau memang kalian saling mencintai mengapa harus kandas di tengah jalan?"
"Kami memang saling mencintai. Namun ada yang lebih penting dari sekedar mencintai. Aku sangat menghargai sebuah persahabatan. Seseorang sudah memberikan amanah yang sangat besar di pundakku, sehingga aku harus memikul amanah tersebut dengan sebaik-baiknya. Karena kuyakin suatu saat kami akan bisa saling mencintai. Walaupun keadaan kami berbeda. Dan pastinya banyak badai yang akan jadi penghalang dalam menjalani amanah tersebut,"
"Maaf amanah tersebut apa ya?"
"Menikahi istri orang,"
"Apa! Menikahi istri orang? Yang benar saja Mas. Mas rela mengorbankan kekasih Mas hanya untuk menikahi istri orang? Aku benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikiran Mas. Kok mau-maunya menikah dengan istri orang? Mas itu orang pintar, cerdas, dokter lagi. Ada-ada saja," Naya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Dikara menepikan mobilnya di sebuah perkampungan yang terlihat sepi. Ia ingin semuanya tuntas saat ini. Bukan suatu kebetulan tapi memang sudah garis takdir, ia harus mengatakan hal ini pada Naya, agar tidak berkepanjangan.
"Lho kok berhenti, Mas?" tanya Naya bingung karena Dikara menepikan mobilnya secara mendadak.
Tanpa menjawab pertanyaan Naya, Dikara mengeluarkan ponselnya.
"Naya, aku ingin menunjukkan sesuatu padamu. Video yang ada di ponselku adalah kenyataan yang terjadi sebelum suamimu, Ammar meninggal di tempat kejadian. Inilah alasanku memutuskan tali pertunanganku dengan kekasihku. Ini lihatlah!"
Naya menerima benda pipih yang disodorkan Dikara. Ia menekan video dengan tangan gemetar.
Sebuah video ucapan Ammar untuk Naya yang membuat air mata Naya kembali tumpah.
"Naya sayang. Kumohon menikahlah dengan Dikara. Hanya dia yang bisa kupercaya menjagamu dan anak kita. Aku sudah tidak kuat lagi..."
Dalam video tersebut, Ammar berbicara dengan nada yang terbata-bata, matanya terlihat lelah dan sedih. Di dalam video itu pun jelas terlihat Dikara begitu panik melihat sahabatnya berada di ujung maut. Yang membuat Naya terharu, ketika Dikara membimbing suaminya mengucapkan dua kalimat syahadat sebelum akhirnya pergi untuk selamanya. Naya membungkam mulutnya sendiri dengan satu tangannya.
Naya terhenyak dengan permintaan terakhir suaminya. Ia sama sekali tidak menyangka suaminya cepat tanggap memikirkan masa depan istri dan anaknya.
Naya mengusap air matanya dengan pelan. Ia menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan pelan untuk menetralisir perasaannya. Ia menyerahkan kembali benda pipih tersebut. Ia bingung harus mengatakan apa pada Dikara yang jelas-jelas sudah mau berkorban demi persahabatan.
"Mas Dikara. Aku tahu kamu sangat berat melepas kekasihmu. Bagiku tidak apa-apa dijadikan orang kedua dalam pernikahanmu, yang penting kamu bahagia dengan kekasihmu," ucapnya lirih.
"Kamu bicara apa? Kamu menyuruhku poligami?" tanya Dikara tidak percaya dengan ucapan Naya yang begitu mudah mengatakan masalah poligami.
"Kalau memang itu yang kau mau, aku...aku tidak masalah. Atau menikahiku hanya beberapa bulan saja pun aku tidak keberatan, yang terpenting kita sudah menjalankan amanah tersebut, kan?" tawarnya. Ia sebenarnya merasa tidak enak hati karena kekasih Dikara yang menjadi korban dalam amanah suaminya.
Dikara tertawa sumbang, ia benar-benar tidak habis pikir dengan istri dari sahabatnya itu.
"Jadi kau pikir, pernikahan yang akan kita lakukan itu main-main? Bagiku pernikahan itu sekali seumur hidup. Dengan satu istri saja bagiku itu sudah cukup. Jangan pernah membicarakan pernikahan sementara apalagi tentang poligami di hadapanku. Karena aku tidak suka dan tidak akan pernah terjadi," ujar Dikara tidak bisa menutupi kemarahannya.
"Kalau kamu tidak mau menerima permintaan Ammar, itu hak kamu. Tapi aku akan tetap menikahimu. Bukan karena terpaksa. Pernikahan itu ibadah terpanjang yang harus kita pikul bersama," lanjutnya lagi.
Naya masih bergeming. Masih kaget dengan kenyataan yang harus ia hadapi ke depannya.
"Minumlah biar sedikit lebih tenang!" Dikara memberikan sebotol air mineral kepada Naya.
Naya meraih botol minum tersebut. Ia meneguk minuman itu hingga tandas. Matanya masih mengembun.
"Kita lanjutkan perjalanan ya!" ucapnya lembut.
Naya masih bergeming. Matanya menatap lurus ke depan dengan genangan airmata memenuhi kelopak matanya.
Setelah beberapa jam berlalu, mereka akhirnya tiba di Garut. Dikara memarkirkan mobilnya di halaman rumah Ibu Ammar.
"Hapuslah air matamu! Aku tidak ingin Ibu Ammar menduga yang tidak-tidak tentang kita,"
Naya menghapus air matanya dengan sapu tangan pemberian Dikara. Ia masih merasa sedikit terguncang oleh pernyataan Dikara sebelumnya, tapi ia berusaha untuk tidak menunjukkan perasaannya.
"Baik, Mas," kata Naya dengan suara yang lembut.
Dikara menatap Naya dengan mata yang penuh perhatian, sebelum keluar dari mobil dan membantu Naya turun. Mereka berdua kemudian berjalan menuju rumah Ibu Ammar. Naya masih terlihat sedikit gugup dan tidak nyaman berada di samping Dikara.
"Naya sayang apa kabar, Nak," Ibu Ammar menghampiri menantunya dengan perasaan sedih.
Naya memeluk Sang Mertua dengan erat.
"Naya baik, Bu. Ini cucu Ibu. Peninggalan satu-satunya Mas Ammar,"
"Jaga dia, Nak. Dikara kemarilah!"
Naya menatap Dikara dan Ibu secara bergantian. Ia merasa heran dengan perlakuan Ibu terhadap Dikara yang seperti anak sendiri.
"Naya mantu Ibu. Maukah kamu menikah dengan Dikara yang sudah Ibu anggap anak sendiri? Ketahuilah Dikara tipe suami yang setia. Karena dalam sebuah hubungan rumah tangga hanya kesetiaan yang akan melanggengkan sebuah rumah tangga. Mau kan Nay?"