Anara Bella seorang gadis yang mandiri dan baik hati. Ia tak sengaja di pertemukan dengan seorang pria amnesia yang tengah mengalami kecelakaan, pertemuan itu malah menghantarkan mereka pada suatu ikatan pernikahan yang tidak terduga. Mereka mulai membangun kehidupan bersama, dan Anara mulai mengembangkan perasaan cinta terhadap Alvian.
Di saat rasa cinta tumbuh di hati keduanya, pria itu mengalami kejadian yang membuat ingatan aslinya kembali, melupakan ingatan indah kebersamaannya dengan Anara dan hanya sedikit menyisakan kebencian untuk gadis itu.
Bagaimana bisa ada rasa benci?
Akankah Anara memperjuangkan cintanya?
Berhasil atau berakhir!
Mari kita lanjutkan cerita ini untuk menemukan jawabannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama eNdut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Alergi Udang
"Astaga Mas, leher sama tangan kamu kenapa bisa kaya gini Mas?", tanya Nara mulai panik.
Vian lalu mengalihkan pandangannya yang sebelumnya menatap Nara sekarang ke lengannya.
"Tidak tahu Nar, ini sangat gatal", jawab Vian sembari menggaruk lengannya yang terasa begitu gatal. Makin lama rasa gatal itu semakin menjadi.
"Jangan digaruk terus Mas, nanti malah nambah parah bintik merahnya. Kita ke Rumah Sakit ya Mas".
Tanpa menunggu jawaban dari Vian, Nara bergegas memakai tas ranselnya. Terlihat Vian yang kini tengah memegangi dadanya, nampak dadanya naik turun seperti kesusahan bernafas.
"Mas".
"Sesak", jawab Vian sambil mengatur nafasnya.
Nara lalu memapah Vian keluar rumah, tak lupa sebelum keluar ia menyambar ponsel yang ada di meja.
Nara menepuk jidatnya "Astaga.. saking paniknya aku sampai lupa tidak memesan taksi online, masa iya aku membawa Mas Vian menggunakan motor", gumam Nara.
Nara mendudukkan Vian yang terus memegangi dadanya di kursi teras. Gadis itu segera memainkan ponselnya untuk memesan taksi online.
Tin tin tin, terdengar klakson mobil yang berhenti tepat di depan rumah Nara.
"Cepat sekali mobilnya datang, baru juga memesan", gumam Nara heran, namun gadis itu tidak ingin mengambil pusing hal itu, yang di pikirkan nya sekarang adalah kondisi Vian yang sudah mengkhawatirkan.
Dari dalam mobil tersebut keluarlah seorang pria berbaju hitam, berbadan kekar, menggunakan masker dan juga topi. Pria itu lantas menghampiri Nara.
"Maaf, Bapak sopir taksi yang saya pesan?".
"Iya Mbak, mari saya bantu memapah Masnya.", ucap sopir itu.
"Iya Pak, terimakasih, tolong bantu suami saya ya Pak, hati-hati".
"Baik Mbak".
Sopir itu lalu memapah Vian, sedangkan Nara sudah naik lebih dulu ke dalam mobil. Ia menggunakan pahanya sebagai bantalan kepala Vian yang di baringkan di kursi belakang. Tak menunggu lama mobil melaju ke Rumah Sakit terdekat dan Rumah Sakit yang di tuju adalah Rumah Sakit Mahardika.
Di perjalanan Nara terus mengelus lengan Vian berharap apa yang dilakukannya membantu mengurangi rasa gatal pada lengannya. Nara sangat khawatir melihat Vian yang seperti ini, bahkan gadis itu sampai menitihkan air matanya.
"Mas Vian, kamu pasti baik-baik saja".
"Aku tau Nara, kamu jangan terlalu khawatir", ucap Vian pelan, ia semakin merasakan sesak di dadanya. Sesekali lelaki itu menarik nafas dalam untuk mengatur nafasnya, gatal yang ia rasakan pun semakin menjalar, bintik-bintik merah yang semula hanya di leher dan lengan kini sudah sampai ke punggung.
"Mungkin keputusan yang Tuan Agam ambil adalah keputusan yang benar, sikap Tuan Muda sangat berbeda, semoga ini berlanjut sampai ingatan Tuan Muda kembali nanti", batin Johan yang melihat interaksi Vian dan Nara dari penglihatannya pada kaca spion depan. Ya benar, sopir itu adalah Johan. Johan selalu mengawasi keadaan Vian dari jauh. Saat ia mendapat telepon dari seseorang bahwa Vian sedang dalam keadaan sakit dan memerlukan bantuan, ia segera datang untuk menolongnya.
Tidak memakan waktu lama mobil yang membawa mereka telah sampai di area Rumah Sakit, sementara itu Vian kini sudah dalam keadaan pingsan. Tanpa diminta Johan lalu turun meninggalkan Vian dan Nara, ia segera masuk kedalam Rumah Sakit. Setelah itu, beberapa suster dan perawat laki-laki datang membawa sebuah brangkar atau yang sering di sebut dengan emergency bed. Vian lalu di pindahkan dari mobil dan dibaringkan di atasnya lantas di bawa masuk ke dalam. Tak lupa Nara mengucapkan terimakasih kepada Johan dan mengatakan kalau ia akan membayarnya melalui aplikasi, setelah mendapatkan anggukan kepala dari Johan, Nara berlalu mengejar brangkar yang membawa suaminya.
Para perawat bergerak cepat, mendorong brangkar yang membawa Vian. Suara roda dan langkah kaki terdengar menggema di lorong Rumah Sakit.
"Mbak, tolong tunggu diluar ya, kami akan memeriksa kondisi pasien", kata seorang suster sambil menutup pintu ruangan Rumah Sakit, yang bertuliskan UGD.
"Lakukan yang terbaik untuk menolong suami saya Suster", kata Nara sambil menangis, ia lalu beranjak duduk di kursi tunggu depan ruangan itu. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya sambil menunduk.
Mendengar langkah kaki yang mendekat, Nara mendongak, terlihat seorang suster menghampirinya.
"Maaf Mbak, bisa ikut saya sebentar untuk mengurus administrasi pasien?", tanya suster itu ramah.
Nara hanya mengangguk dan mengikuti Suster itu dari belakang. Sampai di tempat administrasi Nara menyerahkan sebuah kartu unlimited kepadanya. Suster itu menatap lama kartu pemberian Nara sebelum menerimanya. Ia mengecek data dan biaya pengobatan pasien di layar komputernya.
"Maaf Mbak, biaya Rumah Sakit atas Nama Alvian sudah dibayar lunas hingga penanganannya selesai Mbak"
"Sudah di bayar! Siapa yang membayarnya Sus?", tanya Nara heran.
"Maaf Mbak, tetapi tidak ada nama yang tertera disini", kata Suster itu sembari memberikan kembali kartu milik Nara. "Dan sekarang pasien sudah di pindahkan ke ruang VVIP nomor satu dilantai tiga ya Mbak", imbuhnya.
"Terimakasih Sus", ucap Nara lalu berlalu dari sana.
Nara berjalan gontai menuju ruang perawatan Vian. Setelah sampai, Nara membuka pelan pintu itu namun ia melihat masih ada Dokter dan seorang Suster didalam, jadi ia mengurungkan niatnya untuk masuk, memilih mendudukkan dirinya di kursi tunggu depan ruangan itu.
Nara menunggu, pikirannya tak henti memikirkan kondisi Vian. Namun di satu sisi Nara juga kepikiran tentang asal-usul Vian yang sesungguhnya.
"Siapa kamu sebenarnya Mas, sepertinya kamu memang bukan orang sembarangan?", gumam Nara pelan, gadis itu mengusap kasar wajahnya dengan telapak tangannya.
"Maaf Mbak, dengan keluarga pasien atas nama Alvian?",panggil Suster yang baru saja keluar dari ruang perawatan Vian.
"Iya saya Sus, bagaimana keadaan suami saya?", tanya Nara sembari bangkit dari duduknya.
"Silahkan masuk Mbak, Dokter akan menjelaskan keadaan pasien di dalam".
Nara masuk ke dalam ruang perawatan Vian. Di sana Nara melihat suaminya yang terbaring dengan wajah yang terlihat pucat, selang oksigen sudah terpasang di hidung dan selang infus ditangannya.
"Bagaimana keadaan suami saya Dok?", tanya Nara khawatir, pada Dokter tampan yang bernama Zico. Dokter Zico tampak menaikkan satu alisnya.
"Suami, apa Edgar sudah menikah? Tetapi lelaki sangar itu tadi tidak memberi tahuku mengenai ini", gumam Dokter Zico dalam hati. Merasa tidak ada jawaban dari sang Dokter, Nara pun memanggilnya.
"Dok, Dokter", panggil Nara, dengan suara agak keras.
"Ah iya, keadaan suami anda sudah lebih baik. Apa dia memakan sesuatu yang memicu alerginya?", tanya Dokter Zico.
"Alergi? Tadi pagi dia sarapan menggunakan capcay", Seketika mata Nara membulat, ia teringat perkataan Vian tadi pagi mengenai dia yang merasa familiar dengan udang. "Astaga apa dia alergi udang Dok?", imbuhnya.
"Iya, suami anda memang alergi udang, sebagai istri apa anda tidak mengetahuinya?".
"Tidak Dok, kalau saya tau, tidak mungkin saya memasak udang untuknya", ucap Nara sambil menoleh ke arah Vian yang masih belum sadarkan diri, air mata Aya kembali menetes, lalu buru-buru gadis itu menghapusnya.
"Baiklah, suami anda perlu dirawat di Rumah Sakit ini selama beberapa hari untuk memantau keadaanya dan juga takutnya sesak nafasnya terjadi lagi. Sekarang, suami anda masih dalam pengaruh obat, mungkin beberapa menit atau paling lama setengah jam lagi suami anda akan bangun", ucap Dokter Zico menjelaskan.
"Iya Dok, terimakasih atas bantuannya", ucap Nara. Dokter Zico berlalu keluar dari ruangan Vian menuju ruangannya sendiri.
Dia duduk di kursi, meraih gelas yang berisi air putih di meja kerjanya dan meminumnya.
"Sebenarnya apa yang di rencanakan oleh Om Agam?".
Zico bertanya-tanya, ia mengingat kembali pertemuannya dengan Johan setelah memeriksa Vian. Saat ia memasuki ruang UDG ia terkejut melihat Vian yang notabennya adalah sahabatnya sudah terbaring tak sadarkan diri dengan bintik-bintik merah ditubuhnya.
Zico yang memang sudah mengetahui apa yang terjadi pada Vian segera memeriksa keadaannya, memasang selang oksigen dan selang infus ditangan lelaki itu. Zico memberikan instruksi kepada Suster untuk mencatat kondisi pasien dan memindahkannya ke ruang perawatan. Saat Zico tengah berjalan keluar ruangan ia bertemu dengan Johan yang menunggu di luar pintu.
"Pak Johan", kata Zico cukup terkejut.
"Tuan Zico, bagaimana keadaan Tuan Muda?", tanya Johan tanpa ekspresi jangan lupakan tatapan dingin yang mendominasi.
Zico lantas menjelaskan semuanya kepada tangan kanan Agam tersebut, setelah penjelasan selesai Johan hanya memberikan anggukan singkat.
"Pak, bukannya Vian sedang di Luar Negeri kenapa dia ada disini?", tanya Zico.
Johan menceritakan apa yang terjadi dengan Vian selama ini kepada Zico, tentang hilangnya ingatan Tuan Mudanya juga Johan katakan.
"Tuan Zico, Tuan Agam berpesan supaya anda menjaga rahasia ini. Anda tidak boleh mengatakan kepada siapapun mengenai Tuan Muda. Anda juga tidak boleh mengatakan hubungan anda dengan Tuan Muda".
"Tapi kenapa? Dia sahabat saya Pak",. kata Zico tak terima.
"Ini perintah Tuan Agam, Tuan. Semata-mata untuk melindungi Tuan Muda. Semakin sedikit yang tahu keadaan Tuan Muda itu akan lebih baik".
"Jadi, semua yang Vian alami adalah perbuatan seseorang yang ingin mencelakainya?".
"Iya".
"Baiklah", jawab Zico, tak ada pilihan untuknya, jika ini sudah menyangkut kebaikan sahabatnya, Zico hanya bisa menyetujuinya.
"Satu hal lagi, nanti ada seorang gadis yang akan menemani Tuan Muda disini , tolong katakan kondisi Tuan Muda kepadanya. Saya permisi Tuan", tanpa menunggu jawaban, Johan lalu pergi meninggalkan Zico.
Zico tak habis pikir kenapa setiap kali berhadapan dengan Johan, Zico sama sekali tak berkutik.
Dokter Zico menghela napas panjang, merenungkan apa yang baru saja terjadi. Ia berpikir tentang Vian, sahabatnya yang tengah mengalami amnesia. Zico juga berpikir tentang gadis yang ia ketahui sekarang adalah istri dari sahabatnya dan tentang perintah Tuan Agam untuk menjaga rahasia tentang keadaan Vian. Zico merasa bahwa ada banyak hal yang tidak ia ketahui, dan bahwa ia harus berhati-hati dalam menghadapi situasi ini.