Dealova, gadis cantik dengan segala kesedihannya. Dipaksa menjadi orang sempurna membuat Lova tumbuh menjadi gadis yang kuat. Dia tetap berdiri saat masalah datang bertubi-tubi menghantamnya. Namun, sayangnya penyakit mematikan yang menyerang tubuhnya membuat Lova nyaris menyerah detik itu juga. Fakta itulah yang sulit Lova terima karena selama ini dia sudah menyusun masa depannya, tapi hancur dalam hitungan detik.
***
⚠️NOTE: Cerita ini 100% FIKSI. Tolong bijaklah sebagai pembaca. Jangan sangkut pautkan cerita ini dengan kehidupan NYATA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
"Jangan menghindari saya, cepat jelaskan."
Aksa menatap datar ke arah istrinya yang sibuk memakai skincare. Dengan sabarnya dia menunggu sampai Lova selesai, tapi sedari tadi tidak selesai-selesai seolah Lova benar-benar menghindarinya.
"Jelasin apa sih?" Lova berdehem sejenak. Tenggorokannya terasa kering kala melihat tatapan mata Aksa yang lebih tajam dari silet.
"Iya iya! Sabar dong!" lanjutnya akhirnya menyerah.
"Hampir 30 menit saya nunggu kamu, kurang sabar apalagi?" sinis Aksa.
Lova tak menjawab, dia beralih mengambil hasil pemeriksaan lab yang dia simpan di sling bag nya.
"Bapak baca sendiri." Lova menyerahkan amplop putih itu pada Aksara yang duduk di pinggiran ranjang, sedangkan dirinya memilih berdiri di depan Aksa.
"Gagal ginjal?" Aksa menatap mata Lova.
Lova mengangguk kaku, matanya berkaca-kaca hendak menangis, tapi dia tahan.
"Sejak kapan?" tanya Aksa, suaranya lebih pelan dan lembut dari sebelumnya.
Lova menggeleng, "Nggak tau..."
Aksa menarik pinggang Lova, menyuruh istrinya agar duduk di pangkuannya.
"Aku gak mau cepat mati—"
"What did you say?! Jangan berpikir aneh-aneh, Lova. Tuhan pasti merencanakan yang terbaik untuk umatnya," sela Aksa. Jemarinya mengusap air mata yang mulai menodai pipi lembut itu.
"Hidup aku kacau banget, kan? Kayaknya Tuhan gak mau aku sedih terus, makanya kasih aku penyakit ini supaya cepat pulang," lirih Lova.
"Kamu harus sembuh." Aksara memeluk Lova dengan erat. Perkataan gadis itu membuat Aksa takut, takut kehilangan cintanya.
"Aku takut. Pasti kedepannya hidup aku makin kacau..."
"Harusnya kita gak pernah ketemu biar aku beneran sendirian di dunia ini."
Air mata semakin mengalir deras. Entahlah, Lova hanya ingin menangis sekarang, lebih tepatnya meluapkan isi hatinya.
"Saya akan selalu ada di dekat kamu, Lova. Jangan menyerah, ya?" Baru kali ini suara Aksa terdengar begitu lembut.
"Kita jalani sama-sama," lanjutnya.
"Aku gak mau ngerepotin Bapak. Itu sama aja aku ngajak susah. Iya kan?"
"Kamu sumber kebahagiaan saya, kalau kamu pergi, saya sama siapa?"
"Masih ada janda cantik di luar sana," jawab Lova.
"Kamu pikir saya pria murahan yang mau sana sini?"
Suasana yang tadinya serius kini malah melenceng kemana-mana hanya karena jawaban Lova yang di luar nalar.
"Enggak..."
"Jangan pernah berpikir seperti itu. Sampai kapanpun, saya tetap suami kamu."
"Tapi—"
"Gak ada tapi-tapi," sela Aksa.
Lova melepaskan pelukannya, dia menatap Aksa dengan berderai air mata.
"Kalau aku mati duluan, Bapak nikah lagi gak?"
"Saya sudah bilang, selamanya saya akan jadi suami kamu dan kamu adalah istri saya satu-satunya."
"Beneran?"
"Kamu ngeraguin saya?"
Lova mengusap pipinya. Dia menggeleng pelan. "Kalau gitu, aku bisa mati—"
"Gak usah bahas itu, bisa? Lebih baik kamu makan, saya yang masak." Aksa menurunkan Lova dari pangkuannya, dia pun langsung pergi ke dapur untuk memasak makan malam mereka.
Sedangkan Lova, ia menatap sendu punggung Aksara yang mulai menjauh. Di saat dia mulai membuka hati untuk pria itu, Tuhan malah mengujinya dengan penyakit mematikan.
****
Venus menatap sebal ke arah Gibran yang sedari tadi sibuk bernyanyi. Bukan masalah suaranya yang cempreng atau apa, tapi karena Gibran menyanyikan lagu galau, dia jadi terbawa suasana, terlebih dia juga sedang galau sekarang.
"Bisa diem gak sih? Suara lo fals!" ucap Venus. Padahal suara Gibran baik-baik saja.
"Napa sih? Sirik aje lo gembel. Balik aja sono kalo lo risih!" sinis Gibran. Dia kembali bernyanyi dengan keras. Ada pula teman-temannya yang ikut menyanyi juga, seolah meledek Venus.
Saat ini mereka sedang di sebuah pos, tempat mereka sering berkumpul saat malam.
"Kalo lagi galau, gak usah dinampakin kali," sindir Gibran.
"Siapa yang lo maksud?" balas Venus nyolot.
"Yang merasa aja sih. Kalo sadar diri ya lebih bagus."
"Gue tebak, pasti gara-gara cewek, yakan?" lanjut Gibran sok tau.
"Sok tau lo!"
"Kita temenan udah lama, sejak embrio malah! Lo mau ngelak pun kagak percaya gue," ujar Gibran.
Venus tak menjawab, dia memilih meminum kopinya sambil menatap bintang di langit. Siapa tau ada bintang jatuh, soalnya dia pengen minta permintaan supaya jodohnya itu Lova.
"Cewek mana yang nyakitin lo? Sini, biar gue bantu santet!"
"Berisik lo!"
"Tuh kan. Galau beneran lu ye? Buruan ngomong, cewek mana yang nyakitin lo?"
Venus tetap diam. Namun pikiran sedang menyusun rencana untuk besok. Dia akan mencari bukti tentang hubungan Aksa dan Lova.
****
Tubuh Lova lemas sekali. Tadi malam dia sudah berniat untuk membuat sarapan pagi, tapi pagi ini tubuhnya seakan dipaksa menempel di kasur. Bahkan Aksa sampai membantu Lova untuk duduk.
"Kita ke rumah sakit sekarang!"
"Aku gak papa! Ini udah enakan kok." Lova buru-buru menarik tangan Aksa agar tidak nekat membawanya ke rumah sakit.
"No. You're not okay."
"Mending kita siap-siap aja. Udah hampir jam 7 tuh!"
"Emangnya siapa yang mau sekolah?"
Kening Lova mengerut, "Bapak gak masuk? Ya udah biar aku aja."
"Nggak. Kamu harus ke rumah sakit. Jangan bandel. Saya bisa lakukan cara kasar kalau kamu tetap kayak gini." Tatapan Aksa semakin menajam.
"Aku beneran gak apa-apa, Pak!" kesal Lova.
"Nurut sama saya bisa? Saya gak segan-segan kasar sama kamu," desis Aksa. Masih pagi, tapi rasanya dia ingin mengamuk lantaran Lova selalu membantahnya.
Tanpa menunggu lama, Aksa langsung menggendong tubuh Lova. Dia benar-benar akan membawa Lova ke rumah sakit dan wajib dirawat inap.
Yang Lova lakukan hanyalah pasrah. Lagi dan lagi.
****
"Kamu harus dirawat inap, kondisi kamu semakin buruk dan harus segera ditangani."
Penjelasan singkat dari Dokter Manda membuat Lova menghela nafas. Kalau dirawat inap, dia bisa ketinggalan pelajaran. Tapi, untuk saat ini, tatapan Aksa lebih menyeramkan, jadi Lova mengangguk saja.
Tersisa mereka berdua yang ada di dalam sana.
"See? Benar kan apa kata saya?" Aksa bersedekap dada sembari menatap Lova yang terbaring di atas kasur.
Lova diam saja, karena kalau dia menjawab, maka perdebatan akan semakin panjang.
Lova bisa mendengar Aksa yang sedang menelepon seseorang.
"Buat surat izin atas nama Dealova. Dia tidak masuk sekolah selama beberapa hari. Sertakan surat dari rumah sakit juga."
Mendengar hal itu, Lova melotot kaget.
"What?! Kenapa pake surat rumah sakit segala? Nanti kalau semua orang tau aku penyakitan gimana?" paniknya.
"Cuma keterangan kalau kamu beneran sakit aja. Suratnya sudah saya palsukan," jelas Aksa sambil mengotak-atik ponselnya sejenak.
Mendengar itu, Lova pun bernafas lega. Setidaknya tidak banyak orang yang tau kalau dia ini penyakitan.
***
up up up! CRAZY UP!
oiya janlup up ya kak