NovelToon NovelToon
Tarian-tarian Wanita

Tarian-tarian Wanita

Status: tamat
Genre:Tamat / Mengubah Takdir / Fantasi Wanita / Slice of Life
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Made Budiarsa

Pada akhirnya dia terlihat menari dalam hidup ini. dia juga seperti kupu-kupu yang terbang mengepakkan sayapnya yang indah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Made Budiarsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15 : Apa aku salah?

Hari-hari selanjutnya aku mulai memikirkan, apa aku harus meminta maaf? Atau memaafkan ayah mertua yang telah tiada itu, agar aku menjadi tenang, kemudian mengunjungi rumah putri dan meminta maaf kepada keluarganya karena tidak datang pada hari pemakaman. Mereka pasti membenciku karena tidak datang dan hubungan kami sangat dekat. Aku jadi malu jika datang baru hari ini dan mengucapkan belasungkawa. Namun, jika aku tidak melakukannya, ras bersalah, kejanggalan di dalam hatiku tidak akan pernah hilang seperti ada batu yang di dalam hatiku.

Ketika aku mengucapkan ingin pergi ke sana, suamiku melarangku. Katanya aku masih sakit, katanya lagi tempatnya sangat jauh. Aku tidak akan kuat pergi ke sana.

Aku jadi bingung melakukan apa.

Hari-hari itu aku habiskan di rumah, duduk terdiam, menenggak pil-pil yang membuatku jengkel. Wajahku Semakin memutih dan terlihat lebih buruk semakin hari. Apa ini karena penyakitku? Atau ini efek dari pil-pil yang aku konsumsi?

Apa pun itu, aku merasa aku akan pergi menjauh di ujung tanduk dan akan meninggalkan semuanya.

Pagi harinya, duduk, tiba-tiba aku teringat dengan tarian merak Angelo yang kami tarikan bersama ketika kenaikan kelas waktu itu.

Aku bertanya pada Putri, bagaimana perasaannya.

Dia menjawab sungguh menyenangkan. Jantungnya berdetak kencang, rasa bersemangat, bahagia dan grogi bercampur menjadi satu. “Singkatnya, luar biasa!” serunya waktu itu.

Kami sudah pentas ke sekian kalinya waktu itu, tapi kami masih juga grogi dan takut. Hal itu wajar, dan kami semakin lama semakin membiasakan diri.

Lalu setelah Tarian berakhir, aku bertanya lagi, bagaimana perasaannya.

Dia menjawab, “Kumala, aku merasa bangga, aku merasa telah mencapai sesuatu, yang tidak dapat orang lain capai dan rasakan!”

Kata-katanya berlebihan, namun aku menikmati ekspresinya yang seperti kanak-kanak mendapatkan mainan barunya yang telah lama dia impikan.

Waktu itu, putri sangat cantiknya.

Burung-burung di langit pun melintas pada pagi hari itu. Aku yang duduk hanya bisa menyaksikannya. Aku sudah bosan menonton televisi dan sudah bosan juga berada di kamar. Menghirup udara segar dan melihat pemandangan, hanya itu yang aku lakukan setiap harinya.

Dia pun datang membawa bubur.

“Aku ingin makan nasi sekarang.”

“Belum bisa.”

“kenapa belum bisa?”

“Kumala, belum dibolehkan oleh dokter.”

“Aku menginginkannya.”

“Besok kamu boleh memakannya.”

Dia kemudian menyuapiku dan aku menerimanya begitu saja. Jujur, rasa buburnya terlalu membosankan. Hampir sudah satu bulan aku memakannya. Makanan itu seperti tidak ada rasanya, walaupun sudah di tambahkan garam. Semakin hari, aku semakin membenci makan makanan itu.

“Setelah ini, aku ingin berkunjung ke rumah nenek.”

“Untuk menjemput Diah?”

“Tidak hanya itu saja, aku juga ingin mepunjung untuk ayah mertua. Aku merasa bersalah belum menghanturkan Punjung untuknya setelah bertahun-tahun kematiannya.”

“Kumala, kau sudah memaafkan ayah?”

“Aku harus mencobanya. Jika aku tidak melakukannya, aku takut aku tidak akan pernah memaafkannya. Rasa bersalah dan sesuatu yang mengganjal di hatiku tidak akan pernah hilang.”

“baiklah, kita akan pergi setelah kau lebih baik.”

“Aku ingin jawaban yang pasti. Kapan itu?”

******

Tiga hari selanjutnya, aku merasa lebih baik. Kami langsung pergi ke rumah nenek. Aku memakai pakaian sederhana dan di leherku ada selendang tebal yang dapat menyelimuti bahu hingga tanganku. Selendang ini dapat menghalau udara dingin.

“Kita berkunjung hanya sebentar saja.”

Kami pun berangkat. Ketika tiba, rumah itu terasa jauh berbeda. Rumah yang tua. Hanya ada satu rumah yang terbuat dari beton, Selain itu hanya sebagian dan satu rumah terbuat dari tanah liat. Rumah-rumah itu bernuansa jaman dahulu.

Ibu mertua duduk di banjah sedang mengunyah kinangnya. Aku datang menyapanya.

“Sari sebentar lagi akan pulang,” katanya.

Aku mengangguk. “Bu, aku datang ingin munjung kepada ayah.”

“Iluh sudah memaafkan ayah?”

“Aku harus melakukannya.”

Aku pun di persilahkan untuk berpunjung di bale. Memanjakan doa semoga ayah mendapatkan tempat terbaik dan dapat memaafkanku. Selain itu, semoga ayah pulang setelah aku menghanturkannya.

Ibu berkata setelah melihatnya, “Ibu senang iluh dapat memaafkannya. Selain rasa ikhlas, iluh akan menjadi lebih tenang. Bagaimana keadaan ilu? Wajah iluh terlihat lebih buruk. Bagaimana kata dokter? Sebaiknya iluh pulang beristirahat.”

“Kumala sudah lebih baik bu.” Suamiku menjawab. “dia hanya sebentar di sini. Setelah bertemu Sari, kami akan pulang.”

“Iluh sari keras kepala. Setelah ibu berbicara dengannya, dia menolak memberikan jepit rambut itu. Iluh sari sangat menyukainya.”

“Aku akan berbicara dengannya,” Aku berkata.

Sari akhirnya pulang. Ketika mengetahui aku datang, tatapannya terkejut dan ingin masuk ke kamar.

Aku langsung berlari dan memegang tangannya. “sari, ibu ingin berbicara denganmu.”

Sari menatapku dengan terkejut dan matanya yang bulat sedikit kecoklatan menelisik seluruh mataku seperti ingin mengetahui apa yang ada di dalam pikiranku.

“ibu, mengapa ibu terlihat seperti ini? Ibu sudah minum obat? Ibu harus beristirahat.”

“Sari, tidak apa-apa. Ibu datang menjemputmu. Apa kau pulang bersama ibu?”

“Apa aku boleh menari?”

Aku terdiam sebentar kemudian mengangguk.

“Apa ibu tidak berbohong?”

“Ibu tidak berbohong.”

Sari menatapku beberapa saat.

“Sudah lama aku tidak pulang. Sebentar lagi aku akan lulus SMA. Tentu saja ada kenaikkan kelas. Ibu, aku akan menari Tarian Pendet dan joged. Aku sekarang mulai belajar tarian Pendet. Tarian itu sangat menarik bagiku.”

Wajah sari bersemi. Aku mengingat wajah kecilnya. Aku merasa senang dapat melihatnya kembali. Wajah sari sedikit mirip denganku. Tubuhnya juga seperti seorang penari; lansing, tidak terlalu tinggi dan kedua tangannya yang kecil sangat kuat. Sari mewarisi tubuh ibunya.

“Ibu, lebih baik ibu pulang sekarang.”

“Bagaimana denganmu?”

“Aku akan menyusul. Oh, iya, ada satu lagi.” Dia mengeluarkan surat dari dalam tasnya dan mengulurkannya. “ibu, ada beberapa orang yang datang ke sekolah tadi, mereka ingin membuat rekaman video penari, dan aku di pilih untuk menarikannya. Apa aku boleh menerimanya?”

Entah mengapa aku tiba-tiba merasa jatuh dalam lembah yang gelap. Aku terdiam menatap kertas itu. Tiba-tiba memori putri muncul lagi. Kenapa dia sering sekali muncul dalam ingatanku?

Aku tidak menjawab. Sari merasa keheranan menatapku. Kemudian menyadari aku tidak menerimanya. Dia ingin memasukkannya ke dalam tas dan aku tiba-tiba mengambilnya. “sari, kau benar-benar ingin menarikannya?”

Sari mengangguk.

“Sari, apa kau ingin dengar mengapa ibu melarangmu menari?”

“Aku ingin mengetahuinya dari dulu, tapi aku menduga karena ibu tidak menyukai Tarian joged itu.”

“bukan, bukan itu.”

“Sari, ibu dulu mempunyai teman.”

“Sari juga mempunyai teman.”

“Teman ibu baik. Kami sering menari di sekolah.”

“Ternyata ibu juga bisa menari. Selanjutnya apa?”

********

Akhirnya aku pulang. Aku meminum obat lalu merebahkan diri. Suamiku melihatku sebentar kemudian pergi. Aku mulai memikirkan apa aku berkata salah tadi? Apa aku tidak bisa membawa sari pulang? Atau sari benar-benar sulit di bujuk. Aku menceritakan semuanya kepadanya dan melarangnya ikut dalam pengambilan Video itu. Aku merasa itu adalah keputusan yang baik, aku takut dia berakhir sama dengannya.

Wajah gadis itu tiba-tiba gelap. “kenapa aku tidak boleh? Begini saja, ayah dan ibu datang bersamaku, aku akan baik-baik saja.”

“Ibu masih sakit. Ibu tidak bisa ikut pergi. Jika kamu mengerti, sekali ini saja, tolong jangan pergi. Sari sudah besar, sari pasti mengerti apa yang ibu rasakan. Ibu akan mengizinkanmu menari, tapi jangan pergi ke sana. Ibu takut terjadi sesuatu kepadamu. Kau adalah putri sematang wayangku dan satu-satunya, tolong jangan melakukannya.”

Wajah cantik sari semakin kelam. Dia lalu memandangku penuh dendam dan kebencian. Aku seperti mendengar gertakan Giginya. Dia ingin berbalik, tapi aku langsung menarik tangannya dan mendekapnya dalam pelukan hangat.

“Sari, kau marah dengan ibu? Jangan pernah marah dengan ibu! Ibu tidak tahan lagi! Ibu merasa hancur jika sari pergi. Masalah ibu akan bertambah banyak! Tolong dengarkan ibu kali ini! Jika sari nanti sudah besar, sari akan tahu bagaimana jadinya menjadi seorang ibu! Ibu yang baik!”

Sari hanya terdiam. Aku memeluk tubuh rampingnya, tubuh penari remaja cantik yang sama sepertiku ketika muda. Tidak lama kemudian aku melepaskan pelukannya, memandangnya.

Sari mengangkat tangannya dan menghapus air mataku. “ibu bodoh,” katanya. “Aku akan pulang nanti. Tunggu aku di rumah.”

“Kau benar-benar akan pulang?”

“Ya.”

Sampai hari ini sari tidak datang, dia berbohong kepadaku, kepada ibunya sendiri, orang yang melahirkannya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!