Hidupku bahagia, meski harus tinggal di rumah sederhana. Apalagi ada dua anak kembar yang tampan mempesona, meski aku tak tahu siapa bapaknya. Aku hanya ingat ada tato kepala naga di tengkuknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moena Elsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Debat di Makam
Helena diam tak mampu menjawab. Terpesona dengan wajah tampan dan keseriusan Hayden.
Tapi tiba-tiba dia teringat akan ucapan Clara yang juga diajakin nikah sama Hayden.
"Aku tak mau," kata Helena ketus.
"Kenapa?" Hayden menatap tajam Helena.
"Karena...," Helena gugup dipandang sebegitunya oleh Hayden.
"Karena bukan aku saja wanita yang kamu ajakin nikah," seru Helena memberanikan diri.
Hayden mencibir mendengar jawaban Helena.
"Ha...ha....," sedetik kemudian tawanya pecah.
"Jangan ketawa tuan. Tak salah kan apa yang aku bilang?" telisik Helena tapi Hayden masih saja tertawa.
"Stop!" seru Helena dan otomatis Hayden menginjak rem mobil dengan cepat dan mobilpun terhenti seketika.
Hampir saja kening Helena mencium halusnya dasboard mobil.
"Tuan ini kenapa sih?" tanya Helena jengkel.
"Loh, katanya minta berhenti?" kata Hayden tanpa rasa bersalah.
"Haduuuhhhh...bisa-bisanya gue seharian bersama anda sih? Genap seminggu bisa stressss gue," keluh Helena.
"Ha...ha....," kembali Hayden tertawa membuat Helena bertambah manyun.
Kebalikan dengan Helena, bagi Hayden seharian bersama wanita ini membuatnya sangat terhibur.
Suara klakson terdengar, tawa Hayden terhenti dan Helena terlonjak kaget.
"Iissshhh, kenapa menyebalkan semua sih?" gerutu Helena.
"Enggak capek? Sedari tadi manyun melulu?" Hayden menjalankan mobil ke suatu tempat.
"Turun!" suruh Hayden kala mobil sudah terparkir di depan pagar suatu area pemakaman yang sangat dihafal oleh Helena.
Ternyata Hayden mengajaknya ke makam ayah Hendrawan, dan satu lagi Hayden ternyata telah menyiapkan sekeranjang bunga untuk ditabur di atas pusara ayah Hendrawan.
Dilihat Helena, Hayden telah jongkok di samping makam.sang ayah.
"Yah, aku datang untuk kedua kalinya," kata Hayden seraya memegang nisan yang bertuliskan nama Hendrawan itu.
'Kedua kali?' tanya Helena dalam benak.
"Ayah ingat kan waktu aku pertama kali ke sini? Waktu itu aku janji kalau aku akan tanggung jawab terhadap putri ayah. Maka saat ini lah waktu yang tepat. Ayah tahu sendiri jika putri ayah itu suka menghilang di waktu yang tidak tepat. Maafkan aku karena baru menemukan setelah sekian lama," kata Hayden yang berasa curhat di mata Helena.
'Bukannya mendoakan kok malah cerita yang enggak-enggak sih,' monolog Helena.
"Oh ya Yah, barusan putri ayah menolakku. Entah dengan apa aku membuktikan keseriusan aku, tapi nyatanya putri ayah menolakku duluan. Apa ayah ada saran?" Hayden seolah bicara dengan nisan.
'Ini gimana sih? Kok malah ngobrol bukanya minta restu atau berdoa?' pikir Helena.
"Yah, aku tahu ayah sudah pasti tenang di sana. Tapi Yah, tolong bujuk putri ayah untuk menerimaku. Aku serius dengannya. Yachh, walau tak cantik-cantik amat sih," goda Hayden.
"Meski tak cantik, tapi aku cinta padanya Yah," lanjut Hayden.
"Ada Zayn dan Zayden yang butuh kasih sayang dan tanggung jawab aku,"
"Yah, tapi laki-laki ini tidak hanya melamar aku doang. Jadi gimana dong?" Helena ikutan curhat.
"Tuh kan, putrimu nggak percaya sama aku duluan," seru Hayden.
"Emang bener begitu kan kenyataannya?" tatap tajam Helena.
Padahal Hayden tak tahu menahu jika Helena telah diberi kata-kata beracun oleh Clara.
"Sok tahu," perang kata terus terucap di pemakaman itu, hingga keduanya kaget saat ada dua tangan yang mencengkeram bahu mereka.
Hayden dan Helena saling pandang dan tak berani menengok ke belakang.
"Jangan-jangan...?" kata Helena lirih.
"Nggak mungkin," tukas Hayden.
Sepertinya mereka berdua berpikir jika ada makhluk halus hadir di belakang mereka.
Apalagi suasana saat itu sore menjelang senja. Dan waktunya matahari berganti dengan sinar rembulan.
"Satu...dua....ti...," Hayden mulai menghitung, ancang-ancang untuk sprint lari.
Belum selesai hitungan, tangan itu menarik mereka ke belakang.
Niatan lari terhalang oleh tangan yang menahan bahu Helena dan Hayden dengan kokoh. Kokoh tak tertandingi malah, laiknya slogan sebuah produk bahan bangunan.
"Kalian ini ribut kali di area makam. Bukannya berdoa malah debat di sini," kata orang itu dengan suara bengis. Bengis? Raksasa kali? Author hiperbola banget dech.
Helena dan Hayden pun menoleh ke belakang.
"Nempel tanah kok," celetuk Hayden.
"Emang kamu kira aku hantu?" tukas orang itu.
Orang dengan postur tinggi besar, bermuka agak serem sih. Menurut penilaian Helena.
"Bukan...bukan begitu maksud aku," kata Hayden.
"Tuan siapa? Baru kali ini aku melihat anda di sini?" tanya Helena.
"Aku juru kunci yang baru. Menggantikan pak Amin yang telah pensiun," jelasnya.
"Sejak kapan juru kunci ada pensiun?" sela Hayden.
"Bisa diam nggak sih?" Helena menatap tajam ke arah Hayden.
"Iya dech, gue diem,"
Juru kunci itu menjauh setelah Helena mengatakan akan melanjutkan doa buat sang ayah.
Keluar dari area makam pun, Hayden tak serta merta mengajak Helena pulang.
"Kita mau kemana lagi? Serius dech, capek nih badan," keluh Helena.
"Tidur aja," suruh Hayden.
"Nggak bisa selonjoran, mana bisa tidur,"
Hayden memencet sebuah tombol, hingga sandaran kursi mobil tempat Helena duduk pun turun.
"Tuh," kata Hayden.
Helena merebahkan kepala di jok mobil, "Makasih" tukas Helena
Tak lama, dengkuran halus terdengar dari suara nafas Helena.
Hayden berniat mengajak fitting baju di sebuah butik terkenal pastinya.
Ponsel milik Hayden bunyi.
"Halo," Hayden menyapa.
"Dad," teriak kedua bocil memanggil.
"Loh... Loh...?" Hayden kaget juga ditelpon oleh twins
"Dad sama mama kenapa perginya lama banget?" keluh Zayden.
"Dad ada rapat, dan mama menemani," jelas Hayden.
"Kalau nemanin, mana mama?" sela Zayn.
"Nih, di samping Dad. Mama kalian tidur, capek kali," imbih Hayden.
"Tapi Dad nggak nidurin mama kan?" tukas Zayden.
'Ini anak kenapa nanya-nya macem-macem banget sih?' pikir Hayden.
"Ngapain nidurin, mama kalian tidur di samping Dad. Dan Dad sedang fokus menyetir nih," Hayden kembali menjelaskan.
"Habisnya Dad pernah di atasnya mama. Untung aja kita tahu lebih dahulu," seru Zayden.
"Hah?" ganti Hayden yang melongo.
"Jangan pura-pura lupa Dad," sela Zayn.
"Oke, Dad sama mama akan langsung pulang jika sudah selesai semua," janji Hayden.
Tut...tut...tut... Panggilan langsung dimatikan oleh twins.
🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺
Satu, dua, tiga dan empat. Mari belajar berhitung #Tolong like, komen and vote kalau sempat. Untuk bukti kalau mendukung.
Makasih guysss
lanjut thor...
jngn berharap terlalu tinggi bu..klo jatuh nti sakitnya ga ada obat..hahaha
ingin bls pantun tapi ga bisa thor.../Grin/
bisa nya kasih semangat untuk mu thor...
lanjuuut...
hhaaissh...thor..jngn di bikin keterlaluanlah mempermankan wanita...krna wanita jugapuny hak untuk menolak,dgn cara apapun...