NovelToon NovelToon
Raja Arlan

Raja Arlan

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Dunia Lain / Fantasi Isekai
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: BigMan

Namaku Arian. Usia? Ya... paruh baya lah. Jangan tanya detail, nanti aku merasa tua. Yang jelas, aku hidup normal—bekerja, makan, tidur, dan menghabiskan waktu dengan nonton anime atau baca manga. Kekuatan super? Sihir? Dunia lain? Aku suka banget semua itu.

Dan jujur aja, mungkin aku terlalu tenggelam dalam semua itu. Sampai-sampai aku latihan bela diri diam-diam. Belajar teknik pedang dari video online. Latihan fisik tiap pagi.

Semua demi satu alasan sederhana: Kalau suatu hari dunia ini tiba-tiba berubah seperti di anime, aku mau siap.

Konyol, ya? Aku juga mikir gitu… sampai hari itu datang. Aku bereinkarnasi.

Ini kisahku. Dari seorang otaku paruh baya yang mati konyol, menjadi petarung sejati di dunia sihir.
Namaku Arian. Dan ini... awal dari legenda Raja Arlan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BigMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 25 - Menuju Perang, Tapi Jangan Lupa Susu Madu

Kuda putih gagah yang dituntun Lyra tampak gelisah, seolah tahu siapa yang akan menungganginya. Dengan senyum bangga, Lyra membimbing hewan itu mendekat padaku.

“Sudah kusiapkan sesuai tinggi tubuhmu, Pangeran... dan sedikit tambahan supaya pinggulmu pas,” bisiknya, suaranya serak dan agak... terlalu semangat.

Aku hanya tersenyum kaku. “Terima kasih, Lyra.”

Begitu aku naik ke pelana, Lyra menarik tali kekang dengan gerakan penuh semangat. Wajahnya bersinar seperti baru saja memenangkan undian pelukan abadi denganku. Di belakangku, dua sosok muncul hampir bersamaan—Luther dan Aldein.

Luther tampak tenang, menepuk kudanya dengan percaya diri. Rambut pirangnya berkibar tertiup angin pagi, dan ia menatapku dengan senyum penuh semangat bertarung. Aldein, di sisi lain, lebih sibuk mencatat sesuatu di gulungan kecil di tangannya—entah peta, strategi, atau daftar orang yang harus diawasinya.

Lalu suara gemuruh datang dari arah gerbang timur istana.

Pasukan berpakaian putih-merah dengan lambang bulan sabit perak di bahu mereka berbaris rapi. Di barisan paling depan, Sir Kaela, gagah dalam pelindung bahunya yang memancarkan kilau petir, menunduk penuh hormat di hadapanku.

“Pasukan Bulan Merah telah siap, sesuai titah Anda, Pangeran,” lapornya, suaranya penuh semangat meski tak sepenuhnya bisa menyembunyikan rasa ingin membuktikan dirinya.

Aku mengangguk, lalu menoleh pada Aldein yang sudah menaiki kudanya.

“Aldein, bagaimana dengan Lembah Sunyi? Jalur tercepat ke sana?” tanyaku.

Ia membuka peta kecil yang tergulung di sisi pelana, lalu menunjuk sebuah titik kecil di bagian barat daya.

“Ada jalur perbukitan sempit yang bisa kita tempuh lewat Desa Cedros. Lebih cepat dua hari dibandingkan rute utama, tapi agak berbahaya. Tebing curam dan sering muncul kabut sihir tipis.”

Aku mengangguk pelan. “Kita akan ambil jalan itu. Kecepatan lebih penting saat ini. Kaela, beri perintah pada pasukan untuk bergerak dengan formasi luwes. Kita tidak ingin terlihat seperti invasi terbuka.”

“Siap!”

Dan begitu kami mulai bergerak, para penjaga membuka gerbang istana...

Sesuatu yang tidak kuperkirakan terjadi.

Warga mulai berkumpul. Mereka yang awalnya hanya penasaran melihat iring-iringan pasukan kerajaan... kini mulai menunjuk-nunjuk ke arahku.

“Itu... itu Pangeran Arlan!!”

“Pangeran yang sakit itu?! DIA MENUNGGANGI KUDA?!”

“ASTAGA, DIA TAMPAN SEKALI!!!”

Suara jeritan mulai bersahutan. Para wanita mulai histeris. Ada yang pingsan, ada yang berlari mengikuti rombongan kami sejauh beberapa meter sambil membawa sapu tangan, dan bahkan ada yang melempar bunga liar ke arah kami. Ini... gila.

Aku merasa seperti idola reinkarnasi di tengah konser terbuka. Jika bukan karena helm tempur perak yang menutupi sebagian wajahku, mungkin kerumunan itu sudah nekat menarikku turun dan... ya, mungkin memandikanku di sana juga.

Lyra, tentu saja, menoleh padaku dengan ekspresi penuh kebanggaan. “Lihat? Aku sudah bilang dari dulu... Tuan Muda terlalu memikat untuk dunia ini...”

Sementara itu Luther hanya terkekeh pelan, dan Aldein berkata tanpa menoleh, “Semoga mereka tidak membakar patung peringatan raja demi menggantinya dengan wajah anda nanti.”

Aku menghela napas, menepuk pinggang kudaku. “Teruskan jalan. Abaikan teriakan. Jangan ada yang membalas lambaian, kecuali ingin dikirimi surat cinta berkarung-karung besok pagi.”

Iring-iringan kami melaju meninggalkan hiruk-pikuk kota. Di balik canda tawa ringan para prajurit, satu hal jelas—kami tidak hanya berangkat menuju Lembah Sunyi.

Kami sedang memulai langkah pertama... menuju pertempuran yang akan menentukan masa depan negeri ini.

...----------------...

Langit malam menyelimuti lembah kecil tempat kami berkemah, jauh dari jalur utama. Bintang-bintang terlihat malu-malu, mengintip dari balik selimut awan tipis. Sementara itu, perapian kami menyala tenang di tengah lingkaran batu, menyebarkan kehangatan dan aroma kayu terbakar yang nyaman.

Aku duduk di atas karpet kulit yang dibentangkan Lyra, mengenakan jubah luar berlapis wol ringan. Sekilas, aku mungkin terlihat seperti bangsawan manja yang diajak piknik... tapi siapa pun yang cukup dekat bisa melihat mataku tidak sedang menikmati malam yang tenang.

Sir Kaela berjalan mendekat. Langkahnya kokoh, posturnya seperti singa malam hari—tenang, namun mengawasi.

Ia duduk perlahan di seberang api, menatapku dengan mata yang penuh tanya.

“Pangeran,” katanya akhirnya, suaranya rendah dan sopan. “Saya tahu saya tidak dalam posisi untuk bertanya, tapi... apa sebenarnya yang terjadi? Dan untuk apa kita pergi ke Lembah Sunyi?”

Suara api berderak lembut di antara kami.

Aku memandangi bara yang membara, seolah mencari jawaban di dalamnya.

“Kau akan mengetahuinya nanti, Kaela,” jawabku pelan. “Tapi satu hal yang perlu kau ketahui sekarang adalah... kita mungkin tidak bisa menghindari pertempuran.”

Kaela tak bereaksi secara berlebihan, hanya memejamkan mata sesaat, lalu membuka kembali dengan sikap yang lebih tegas.

“Jadi tolong... persiapkan dirimu. Dan persiapkan mental prajurit yang lain. Katakan pada mereka bahwa ini adalah misi darurat. Semua pelatihan yang mereka jalani selama ini... akan diuji di sini.”

Di balik bahuku, aku bisa merasakan dua pasang tatapan tajam.

Aldein yang duduk bersandar di batang pohon sambil membaca peta dengan cahaya lentera... kini diam.

Luther yang sedang mengasah pedangnya, menghentikan gerakannya.

Tak satu pun dari mereka bertanya lebih lanjut. Tak satu pun dari mereka menunjukkan rasa takut. Mereka hanya mengangguk. Serius. Penuh tekad.

Entah apa yang mereka pikirkan. Tapi dari sorot mata mereka, aku tahu: mereka tahu ini bukan misi biasa. Dan jika aku—si pangeran sakit-sakitan yang katanya tak bisa bangun dari tempat tidur—rela turun sendiri ke lembah terpencil... maka ini pasti sesuatu yang besar.

Senyap menyelimuti api unggun. Tentu saja... sampai Lyra datang.

“TUAAN MUDAA!!” Suaranya menggema seperti lonceng kecil yang... terlalu ceria untuk waktu seperti ini.

Aku sempat berharap itu bukan untukku.

Tapi ya, tentu saja.

Dengan senyum selebar langit malam, Lyra datang membawa nampan kecil berisi mug kayu yang mengepul hangat.

“Aku sudah buatkan susu madu hangat spesial~ untuk tubuh mungil dan manismu~ supaya cepat tidur dan tumbuh besar~”

—Ya. Tubuh mungil dan manis. Aku merasa harga diriku sebagai seorang pangeran dan laki-laki dewasa dikoyak oleh satu kalimat.

“Lyra,” bisikku, setengah frustasi, “aku ini pangeran dari kerajaan besar. Aku sedang menjalankan misi darurat. Bisa... sedikit... lebih... formal?”

Namun dengan ekspresi seperti ibu yang menyuapi bayi pertamanya, dia menyodorkan gelas itu ke mulutku.

“Minum, atau kutuangkan ke bajumu~” katanya sambil mengedip nakal.

Aku... menyerah.

Minum saja. Demi menjaga martabat (yang tersisa).

Sir Kaela terbatuk pelan, entah menahan tawa atau shock. Luther membelakangi kami dengan bahunya sedikit berguncang. Dan Aldein... ya Tuhan, dia menutup wajahnya dengan peta.

Setidaknya, suasana tegang tadi sedikit mencair.

Dan mungkin itu tujuan Lyra.

Karena setelah aku meneguk setengah gelas susu hangat itu—yang ternyata enak sekali, kuakui—Lyra duduk di sampingku, menyandarkan kepala ke bahuku tanpa izin dan berbisik lembut:

“Aku tidak tahu apa yang kau hadapi... tapi aku akan melindungimu, bahkan jika seluruh dunia melawan kita.”

Diam-diam... aku percaya itu.

Dan dalam kehangatan api unggun, suara hutan malam, serta detak jantung para prajurit yang perlahan menyatu dalam satu irama... malam itu jadi lebih dari sekadar peristirahatan.

Malam itu adalah sunyi sebelum badai.

Dan kami semua... sudah mendekat ke inti rahasia yang tersembunyi di balik kabut Lembah Sunyi.

...----------------...

Fajar menyingsing perlahan di balik bukit, dan kami mulai melanjutkan perjalanan.

Jalur yang kami tempuh mulai menurun, menyusuri lereng berbatu yang dipenuhi semak liar dan pohon-pohon kecil yang seperti tak ingin tumbuh terlalu tinggi—seolah takut menarik perhatian langit.

Kami menuruni Jalur Kabut, nama yang... ternyata cukup literal. Kabut ini seperti punya jiwa, menempel di kulit, menari di antara kaki kuda, dan menyembunyikan medan di depan seperti sedang main petak umpet dengan pasukan kami.

Aku menatap ke depan, mencoba menahan batuk karena udara lembab menusuk paru-paru. Lyra, di sebelahku, tak banyak bicara pagi ini. Matanya awas, tubuhnya tegak di pelana, dan... ya, masih membawa kantung susu hangat cadangan. Tentu saja.

Beberapa jam kemudian, kabut mulai menipis, dan hamparan desa kecil mulai tampak di ujung jalan. Desa itu...

“Cedros,” gumam Aldein. “Peta tua menyebutnya seperti itu. Tapi... aku tak tahu apakah desa ini masih hidup atau sudah mati.”

Dan yah... desanya memang masih hidup. Tapi nyaris seperti tidak.

Rumah-rumah dari batu kasar dan kayu lapuk berdiri miring, beberapa nyaris rubuh. Jalan utama tak lebih dari tanah becek dengan jejak roda gerobak tua. Stand-stand dagangan berdiri dengan kain sobek sebagai atapnya, dan... isinya? Beberapa potong daging yang bahkan kucing istana pun mungkin akan menolak. Buah-buahan dengan kulit yang mulai keriput, dan satu botol susu... yang kurasa lebih cocok disebut cairan kenangan.

Orang-orang menatap dari balik jendela yang retak, dari pintu yang hanya terbuka selebar dua jari, bahkan dari balik pohon-pohon kerdil. Tatapan mereka seperti... burung yang kehilangan sarang. Penuh rasa ingin percaya, tapi terlalu sering dikhianati.

Mereka tidak menyambut kami. Tidak berlutut. Tidak berseru. Tentu saja tidak. Mereka bahkan mungkin tidak tahu siapa rajanya.

Dan apalagi aku. Bagaimana mereka bisa mengenal pangeran yang bahkan tak pernah muncul di hadapan rakyatnya?

Aku menunduk sedikit, menggenggam tali kekang kudaku lebih erat. Ada rasa perih yang aneh di dadaku. Bukan karena penghinaan—tapi karena ini... bukti. Bukti bahwa kami—aku, istana, ayahku—telah membiarkan mereka terlalu lama dalam bayang-bayang penderitaan.

Tiba-tiba...

“BERHENTI!”

1
Abu Yub
lanjut thor/Pray/
Abu Yub
lanjut thor
Bocah kecil
Fokus thor fokus.. jangan mlah salfok sama Oppainya
budiman_tulungagung
satu bab satu mawar 🌹
Big Man: Wahh.. thanks kak..
total 1 replies
y@y@
👍🏿🌟👍🌟👍🏿
budiman_tulungagung
ayo up lagi lebih semangat
Big Man: Siap.. Mksh kak..
total 1 replies
R AN L
di tunggu kelanjutannya
Big Man: Siap kak.. lagi ditulis ya...
total 1 replies
y@y@
👍🌟👍🏻🌟👍
Big Man: thanks kak..
total 1 replies
y@y@
👍🏿⭐👍🏻⭐👍🏿
y@y@
🌟👍👍🏻👍🌟
y@y@
⭐👍🏿👍🏻👍🏿⭐
y@y@
👍🌟👍🏻🌟👍
y@y@
👍🏿⭐👍🏻⭐👍🏿
y@y@
🌟👍👍🏻👍🌟
y@y@
⭐👍🏿👍🏻👍🏿⭐
y@y@
⭐👍🏿👍🏻👍🏿⭐
y@y@
⭐👍🏻👍👍🏻⭐
y@y@
👍🏿🌟👍🌟👍🏿
y@y@
👍🏻⭐👍⭐👍🏻
y@y@
🌟👍🏿👍👍🏿🌟
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!