BERAWAL DARI SALAH KIRIM NOMOR, BERAKHIR DI PELAMINAN?!
Demi tes kesetiaan pacar sahabatnya, Dara (22) nekat kirim foto seksi sambil ngajak "kawin". Sayangnya, nomor yang dia goda itu BUKAN nomor pacar sahabatnya, tapi Antonio (32), Oom-nya Acha yang dingin, mapan, tapi... diam-diam sudah lama suka sama Dara!
Dara kabur ke pelosok desa, tapi Nio justru mengejar. Dara mencoba membatalkan, tapi Nio justru malah semakin serius.
Mampukah Dara menolak Om-om yang terlalu tampan, terlalu dewasa, dan terlalu bucin karena salah chat darinya ini?
Novel komedi tentang cinta yang beda usia 10 tahun. Yuk, gas dibaca. Biar tahu keseruan hidup Dara-Nio yang serba gedabak-gedebuk ini 🤭
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ame_Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23. Rencana Pindah Rumah
Dara membuka plastik yang Nio berikan tadi. Isinya tentu saja ada pil KB darurat seperti yang memang dia pinta, lalu ada juga vitamin, dan juga... testpack. Dara menoleh kembali pada suaminya, menemukan Nio sedang menatapnya sambil nyengir.
"Buat jaga-jaga," katanya.
Dara tidak bicara lagi. Dia segera mengambil obat itu, menelannya sesuai dengan cara penggunaan yang tertera pada kemasan.
"Dara, Nio, sarapan dulu!"
Mamanya berteriak dari luar, memanggil mereka untuk makan. Dara pun menatap Nio setelah mendengar itu.
"Tuh, Om, denger kan? Yuk keluar, kita sarapan dulu." ajaknya.
Nio mengangguk, mengikuti Dara untuk keluar bersama-sama menuju meja makan. Di sana, sudah tersedia banyak sekali makanan—sebab di rumah masih banyak orang rewang.
"Seger banget nampaknya, Nio. Habis olahraga pagi, ya?" goda Papanya Dara.
Kedua orang tuanya kini menatap mereka secara bergantian. Pipi Dara jadi memerah, merasa malu. Sudah jelas orang tuanya bisa melihat perbedaan di antara keduanya.
Di satu sisi ada Nio yang tampak segar, mengkilat, dan bercahaya, sedang disisi lain ada Dara yang kusut dan loyo bak habis digigit drakula. Lebih tepatnya—Nio drakulanya.
Dara merapikan rambutnya sedikit, berusaha menutupi tanda-tanda kepemilikan yang suaminya tinggalkan di wilayah-wilayah yang terbuka. Bisa habis di ledeki dia nanti kalau sampai orang tuanya melihat itu.
"Oh, ya. Kalian jadi pindahan? Kapan?" tanya Mamanya Dara.
Sebelum pernikahan, mereka memang sudah merundingkan mengenai tempat tinggal mereka setelah menikah. Keputusannya, Dara ikut dengan Nio—karena pria itu sudah punya rumah sendiri. Tempatnya masih di kota ini juga, jadi gampang jika Dara ingin berkunjung ke rumah orang tuanya.
Nio menoleh pada sang Ibu Mertua.
"Iya, Ma. Acara di rumah ini kan sudah selesai, jadi saya rencananya mau langsung bawa Dara." katanya.
"Itu rumah orang tua kamu atau...?"
Nio menggeleng.
"Enggak, rumah saya sendiri. Sebelumnya ada keponakan yang tinggal disitu juga, tapi hari ini dia pindah." jawab Nio.
Mata Dara agak melebar. Dia tahu Acha tinggal bersama Oomnya selama ini, jadi kenapa dia pindah?
"Acha pindah, Om? Kenapa?" tanyanya.
Nio menoleh, menatap istrinya penuh cinta.
"Entahlah, mungkin dia enggak mau ganggu kita?"
Jawaban Nio membuat Dara memutar bola mata. Dasar gombal!
Sementara itu, orang tuanya Dara mengangguk pelan memahami semuanya. Ada senyum geli saat melihat interaksi Dara yang malu-malu meong setiap kali digoda oleh suaminya.
"Oke, lalu bagaimana dengan barang-barangnya Dara?"
Nio kembali menoleh pada Mertuanya.
"Nanti kami packing, lalu minta mobil box untuk bawa kesana." katanya.
Orang tuanya mengangguk mengerti.
"Hm, baguslah kalian pindah hari ini,"
Papanya Dara menyahut sambil menyendok nasi goreng ke piringnya.
"Biar Papa nggak perlu denger suara gaduh dari kamar kamu lagi, Dar. Tadi pagi aja Papa pikir ada gempa lokal. Eh, rupanya ada yang lagi ibadah di kamar sebelah. Kedengeran pula suara gedebak-gedebuknya."
"Papa!" Dara hampir tersedak kerupuk. Wajahnya merah padam, mirip seperti kepiting rebus.
Nio hanya berdehem pelan sambil berusaha menahan tawa, sementara Mamanya Dara tertawa renyah sambil menuangkan teh hangat untuk menantunya.
"Sudah, Pa, jangan digodain terus. Kasihan itu anak kamu. Sampai mau nangis gitu," ujar sang Mama.
Lirikannya kembali jatuh pada leher putrinya yang dia tutupi dengan rambut—tahu ada apa disana. Tapi, dia memilih untuk tidak mengungkit itu.
"Nio, makan yang banyak, ya. Biar tenaganya nggak cepat habis. Dara ini kalau ngamuk bikin capek, soalnya."
Nio tersenyum mendengar itu.
"Iya, Ma. Tapi capeknya sebanding, kok," jawab Nio santai, yang langsung dihadiahi injakan kaki dari Dara di bawah meja.
Selesai sarapan yang penuh dengan sindiran maut itu, Dara kemudian menarik Nio kembali ke dalam kamar untuk segera mulai packing. Dia merasa berat hati sebenarnya karena harus pindah secepat ini. Tapi, melihat tatapan Nio yang begitu antusias untuk pindahan...Dara tidak punya pilihan lain.
"Om, beneran Acha pindah gara-gara kita?" tanya Dara sambil melempar beberapa potong daster miliknya ke dalam koper besar.
Nio yang sedang membantu melipat jaket Dara langsung mengangguk.
"Dia bilang butuh privasi, jadi dia minta dibeliin apartemen baru. Mungkin enggak mau kena mental karena denger teriakan kamu tiap malam." goda Nio.
"Ihhh, Oom!" Dara melempar bantal kecil ke arah Nio. "Lagian siapa suruh Oom ganas banget?! Gue kan belum pengalaman!" kesalnya.
Nio menangkap bantal itu dengan mudah, lalu melangkah mendekat. Ia memojokkan Dara di depan lemari yang sudah setengah kosong. Aroma sabun dan parfum Nio kembali membuat Dara merasa pusing—pusing yang menyenangkan, lebih tepatnya.
"Nanti di rumah kita, kamu nggak perlu takut teriak, Dara. Tembok kamar kita kedap suara," bisik Nio tepat di telinga Dara, membuat bulu kuduk gadis itu meremang.
Dara menelan ludah.
"T-tembok kedap suara? Buat apa?" tanyanya.
Nio tersenyum misterius.
"Nanti kamu juga tahu."
Dara terdiam, menatap suaminya itu dengan perasaan campur aduk. Ada rasa takut, tapi ada juga rasa penasaran yang mulai tumbuh. Tanpa sadar, Dara mulai membayangkan bagaimana hidupnya nanti di rumah besar milik Nio. Hanya berdua. Tanpa Papa yang menyindir, tanpa Mama yang berteriak.
'Gue beneran bakal jadi nyonya rumah ya?' batin Dara.
Untuk pertama kalinya, pikiran untuk pindah tidak terasa semengerikan itu.
***
Yo, mau pindahan ke rumah baruuu 😆
Artinya bisa—uhuk, maksudnya ngurus rumah sendiri, enggak perlu takut diomelin emak lagi, haha!
Oke, tungguin bab selanjutnya, ya. Jangan lupa untuk like, komen, dan subscribe nya.
Bye-bye~
btw, Dar kuatin punggung lu aja ya, pria umur segitu masih ke itung muda. 🤣
ga semua sih cuma seuprit laki laki