Gavin Narendra, CEO muda yang memiliki segalanya, menghancurkan pernikahannya sendiri dengan perselingkuhan yang tak terkendali. Larasati Renjana, istrinya yang setia, memilih untuk membalas dendam dengan cara yang sama. Dalam pusaran perselingkuhan balas dendam, air mata, dan penyesalan yang datang terlambat, mereka semua akan belajar bahwa beberapa luka tak akan pernah sembuh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
: Gavin Mulai Curiga
#
Gavin pulang dari Bandung—atau lebih tepatnya, dari Bali bersama Kiran—dengan tubuh yang lelah tapi puas. Tiga hari terakhir dihabiskan di villa tepi pantai, bermanja-manja dengan selingkuhannya, hidup di gelembung fantasi di mana tidak ada istri, tidak ada anak, tidak ada tanggung jawab. Hanya dia dan Kiran, dan ilusi masa depan yang mereka bangun bersama.
Tapi sekarang, Senin pagi, dia harus kembali ke kenyataan. Kembali ke rumah yang terlalu besar, ke istri yang—dia pikir—terlalu patuh, ke kehidupan yang sudah dia rencanakan untuk tinggalkan.
Gavin masuk rumah jam sembilan pagi—lebih lambat dari biasanya karena penerbangan delay. Dia berharap Larasati sudah selesai antar Abimanyu ke sekolah, jadi dia bisa langsung mandi dan tidur sebentar sebelum ke kantor.
Tapi suara tawa dari ruang makan membuatnya berhenti.
Larasati ada di sana—duduk di meja makan dengan secangkir kopi, rambut diikat santai, pakai dress rumah berwarna krem yang simpel tapi entah kenapa membuat dia terlihat... berbeda. Dia sedang ngobrol di telepon, suaranya ringan, tertawa dengan cara yang Gavin tidak dengar dalam berbulan-bulan.
"Iya, aku juga senang kemarin," kata Larasati ke telepon, senyum lebar di wajahnya. "Besok? Jam berapa? Oke, aku usahakan bisa. Iya, aku juga... ya, sampai jumpa."
Dia tutup telepon, masih dengan senyum yang belum pudar, lalu lihat Gavin berdiri di pintu.
"Oh, kamu sudah pulang," kata Larasati, nada suaranya casual—bukan excited, tidak juga dingin. Netral. Seperti Gavin hanya tamu biasa, bukan suami yang baru pulang dari perjalanan tiga hari.
"Iya, baru sampai," kata Gavin, meletakkan kopernya. Ada sesuatu yang aneh tapi dia tidak bisa identifikasi apa. "Kamu ketelepon sama siapa?"
"Aurellia," jawab Larasati mudah—terlalu mudah. "Dia mau ajak makan siang besok, diskusi proyek barunya."
Gavin mengangguk, tapi ada sesuatu di belakang kepalanya yang berbisik bahwa itu tidak sepenuhnya benar. Tapi dia mengabaikannya. Kenapa dia harus curiga? Larasati selalu jujur, selalu patuh, selalu... membosankan.
"Kamu sudah sarapan?" tanya Larasati, berdiri untuk ambil piring. "Ada nasi goreng di rice cooker kalau kamu mau."
"Oke, terima kasih." Gavin duduk di meja, menatap istrinya yang bergerak di dapur dengan cara yang terasa... ringan. Biasanya ada beban di bahunya, ada kelelahan di wajahnya. Tapi sekarang dia terlihat... segar. Bahkan lebih cantik dari biasanya.
Larasati taruh piring nasi goreng di depan Gavin, lalu kembali duduk dengan kopinya, menatap jendela dengan senyum kecil yang masih menempel di bibirnya.
"Gimana Bandung?" tanya Larasati tanpa menatapnya.
"Bagus. Proyeknya lancar." Kebohongan otomatis. "Kamu gimana? Abi gimana?"
"Baik-baik aja. Abi dapat nilai bagus untuk ulangan bahasa Indonesia. Dia senang." Larasati meneguk kopinya. "Oh, kemarin aku ketemu teman lama di taman. Kebetulan banget. Kita ngobrol cukup lama. Menyenangkan."
Ada sesuatu di nada suaranya—sesuatu yang membuat Gavin menatap lebih tajam. Tapi wajah Larasati tenang, tidak ada yang mencurigakan.
"Teman siapa?"
"Reza. Kamu ingat kan? Sahabatmu dulu. Dia lagi di Jakarta beberapa minggu ini."
Gavin hampir tersedak nasi gorengnya. "Reza? Reza Mahendra?"
"Iya. Dia kebetulan lagi jogging di taman, terus kita ketemu. Ngobrol tentang masa lalu, tentang bisnis. Dia tanya kabar kamu juga."
Ada sesuatu yang tidak enak di perut Gavin. Reza dan Larasati... ketemu? Sendirian?
Tapi dia tidak bisa protes. Kenapa dia harus protes? Reza sahabatnya. Dan Larasati istrinya yang setia. Tidak ada yang salah dengan dua teman lama ngobrol di taman.
Kecuali... kecuali ada bisikan kecil di kepalanya yang mengingatkan: Reza dulu sempat tertarik pada Larasati. Sebelum Gavin menyatakan Larasati sebagai pacarnya, Reza sempat mau mendekati. Gavin ingat itu—ingat cara Reza menatap Larasati di pesta kampus itu, ingat kekecewaan kecil di mata Reza saat Gavin mengumumkan mereka berpacaran.
Tapi itu sepuluh tahun lalu. Reza sudah move on. Dan Larasati... Larasati istrinya. Istrinya yang polos dan setia.
"Kamu sering ketemu dia?" tanya Gavin, mencoba terdengar casual.
"Beberapa kali. Untuk kopi atau makan siang. Dia baik, tanya kabar aku dan Abi. Dia bilang dia kangen ngobrol sama kita—maksudnya kamu dan aku—seperti dulu." Larasati menatap Gavin dengan mata yang jernih, tidak ada yang disembunyikan. "Kenapa? Ada masalah?"
"Tidak. Cuma... cuma bertanya." Gavin kembali fokus pada makanannya, tapi nafsu makannya hilang.
---
Hari-hari berikutnya, Gavin mulai memperhatikan perubahan.
Larasati yang biasanya pakai baju rumah simpel sekarang lebih sering pakai dress yang lebih bagus—tidak mencolok, tapi jelas lebih diperhatikan. Dia pakai make-up tipis yang membuat wajahnya glowing. Rambutnya yang biasanya diikat asal sekarang ditata rapi. Bahkan parfumnya berbeda—bukan yang Gavin belikan, tapi yang baru, yang wanginya lebih segar, lebih muda.
Dan yang paling mencolok: dia sering keluar.
Dulu, Larasati jarang keluar rumah kecuali untuk antar jemput Abimanyu atau belanja bulanan. Tapi sekarang, hampir setiap dua hari dia ada urusan di luar. "Ketemu Aurellia", "Ke salon", "Ke perpustakaan buat cari buku untuk Abi"—alasan yang masuk akal tapi terlalu sering.
Dan saat dia di rumah, ada senyum kecil yang selalu menempel di bibirnya. Senyum yang tidak ditujukan untuk Gavin atau Abimanyu, tapi untuk dirinya sendiri. Seperti dia punya rahasia kecil yang menyenangkan.
Rabu malam, Gavin pulang jam sepuluh—lebih cepat dari biasanya karena meeting dengan Kiran dibatalkan. Dia berharap bisa menghabiskan waktu dengan Larasati, mungkin... mungkin berhubungan intim. Sudah seminggu sejak terakhir kali, dan meski dia puas dengan Kiran, ada sesuatu tentang tidur dengan istri sendiri yang membuat ilusi kehidupan normalnya tetap terjaga.
Tapi saat dia masuk kamar, Larasati sudah tidur—atau pura-pura tidur, Gavin tidak bisa pastikan. Dia berbaring membelakangi Gavin, napas teratur, tidak bergerak saat Gavin masuk.
Gavin duduk di tepi ranjang, menatap punggung istrinya. Dulu, Larasati selalu menunggu sampai dia pulang, tidak peduli selarut apa. Dia akan duduk di sofa, baca buku atau nonton TV dengan volume rendah, dan tersenyum saat Gavin masuk. "Kamu sudah pulang, sayang. Mau aku buatkan teh?"
Sekarang? Sekarang dia tidur duluan. Atau pura-pura tidur untuk menghindari interaksi.
Gavin ragu-ragu, lalu letakkan tangannya di bahu Larasati. "Sayang... kamu tidur?"
Larasati bergerak sedikit, suara mengantuk. "Hmm? Kamu sudah pulang? Jam berapa sekarang?"
"Jam sepuluh. Aku... aku pulang lebih cepat hari ini."
"Oh. Oke. Selamat malam." Larasati tidak berbalik untuk menatapnya. Hanya tutup mata lagi, kembali ke posisi nyamannya.
Gavin menarik tangannya, sesuatu di dadanya terasa... aneh. Ditolak? Diabaikan? Dia tidak yakin, tapi rasanya tidak enak.
Dia mandi dengan perasaan yang campur aduk. Di bawah air hangat, dia mencoba menganalisa. Kenapa dia peduli kalau Larasati tidur duluan? Kenapa dia peduli kalau istrinya terlihat lebih bahagia akhir-akhir ini?
Bukankah itu yang dia mau? Istri yang tidak cerewet, yang tidak menuntut perhatian, yang tidak mempertanyakan kemana dia pergi atau dengan siapa?
Tapi ada sesuatu yang mengganggu. Larasati yang dulu butuh Gavin—butuh perhatiannya, validasinya, cintanya. Dan sekarang... sekarang seperti dia tidak butuh lagi. Seperti dia menemukan sesuatu—atau seseorang—yang mengisi kekosongan yang Gavin tinggalkan.
Pikiran itu membuat perutnya bergejolak dengan cara yang tidak nyaman.
---