Sejak usia lima tahun, Raya Amelia hidup dalam neraka buatan ayahnya, Davin, yang menyalahkannya atas kematian sang ibu. Penderitaan Raya kian sempurna saat ibu dan kakak tiri masuk ke kehidupannya, membawa siksaan fisik dan mental yang bertubi-tubi. Namun, kehancuran sesungguhnya baru saja dimulai, di tengah rasa sakit itu, Raya kini mengandung benih dari Leo, kakak tirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23
Hujan terus mengguyur tanpa ampun, seolah langit sengaja menumpahkan seluruh isinya untuk membersamai penyesalan yang tak lagi bisa ditahan Leo. Tubuhnya terguncang oleh isak yang pecah, suara tangis seorang pria dewasa yang akhirnya runtuh oleh dosanya, sendiri. Payung kecil itu masih ia peluk, ringkih, usang, namun terasa lebih berharga daripada apa pun yang pernah ia miliki.
“Ayah macam apa aku ini…” gumamnya parau, tenggelam oleh gemuruh hujan.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Leo benar-benar merasa kecil. Tak berdaya. Tak punya hak apa pun.
* * *
Di dalam, Anna terbangun dengan perasaan was-was yang mendadak menghantam dadanya. Ia segera meraba sisi tempat tidurnya. Kosong.
"Lili?" panggilnya dengan suara serak.
Ia menemukan putrinya sedang duduk di kursi ruang tamu, menatap jendela yang berembun. Lili menoleh, wajahnya tampak pucat namun tenang.
"Ibu, Om itu masih di sana," bisik Lili. "Dia nangis semalaman, Bu. Lili dengar."
Anna terdiam. Amarah yang kemarin membara kini mulai tertutup oleh rasa lelah yang luar biasa. Ia berjalan menuju jendela, menyibak sedikit tirainya. Pemandangan di luar sana meremukkan sisa-sisa pertahanan egonya. Leo, pria yang dulu selalu tampil dengan setelan mahal dan tatapan merendahkan, kini tak lebih dari seonggok raga yang tak berdaya di bawah guyuran sisa hujan.
"Kenapa Om itu nggak pulang, Bu?" tanya Lili pelan.
"Karena dia sedang dihukum oleh perbuatannya sendiri, Sayang," jawab Anna, lebih kepada dirinya sendiri.
Anna menghela napas panjang. Ia tahu jika ia membiarkan Leo di sana lebih lama, pria itu mungkin akan kehilangan nyawanya karena hipotermia. Meski benci, Anna bukanlah seorang pembunuh.
Ia membuka pintu. Udara dingin langsung menyeruak masuk. Anna melangkah keluar, dan berhenti beberapa langkah di depan Leo.
"Pergi, Leo," suara Anna datar, tanpa emosi. "Jangan gunakan cara kotormu ini untuk mencari simpati. Itu menjijikkan."
Leo mendongak perlahan. Matanya merah dan cekung. Ia mencoba bersuara, namun yang keluar hanyalah suara parau yang nyaris tak terdengar. "Raya... Aku mohon tolong maafkan aku."
"Aku tidak akan pergi sebelum kamu memaafkan aku, Raya. Aku tahu kesalahanku sangat besar... dan mungkin tidak akan pernah bisa dimaafkan. Tapi aku menyesal, aku sungguh menyesal," ucap Leo.
Suaranya bergetar hebat, bukan hanya karena hawa dingin yang menggigit tulang, tapi karena hancurnya harga diri yang selama ini ia agungkan. Di hadapan wanita yang pernah ia buang, pria yang dulu selalu tampil klimis itu kini merendahkan tubuhnya, bersujud di atas tanah yang becek. Tepat di bawah kaki Raya.
Raya menatap pemandangan itu dengan napas memburu. Bukannya iba, dadanya justru terasa sesak oleh sisa-sisa luka lama yang kembali menganga. Baginya, sujud itu tak lebih dari gangguan yang mengusik ketenangan hidup yang susah payah ia bangun bersama Lili.
"Kalau begitu... tetaplah seperti itu sampai nyawamu tak lagi berada di tubuhmu," ucap Raya dingin. Kalimat itu tajam, setajam sembilu, sebelum ia berbalik dan melangkah pergi tanpa sedikit pun niat untuk menoleh.
Leo mendongak dengan sisa tenaga yang ada. Ia menatap pintu kayu yang kini tertutup rapat, seperti hati Raya yang sudah terkunci mati untuknya. Pandangannya mulai mengabur. Rasa sakit yang menghunjam kepalanya terasa seperti ribuan jarum, sementara dadanya terasa sesak seolah oksigen di sekitarnya telah habis.
Melihat tatapan penuh kebencian dari Raya tadi adalah pukulan terakhir bagi mentalnya. Dunianya terasa runtuh, hancur berkeping-keping di tengah guyuran hujan yang mulai mereda.
"Raya..." bisiknya terakhir kali sebelum kegelapan merenggut kesadarannya.
BRUK.
Tubuh Leo ambruk. Ia terjatuh lemas ke dalam genangan air dan lumpur. Pria yang dulu dipuja karena kemewahannya itu kini tergeletak tak berdaya, basah kuyup, dan kotor, membiarkan tubuhnya menyatu dengan dinginnya tanah yang tak lagi ramah.
* * *
Hampir satu jam berlalu dalam keheningan yang menyesakkan sebelum kelopak mata Leo bergetar. Saat ia perlahan membuka mata, pemandangan pertama yang ia lihat bukan lagi langit mendung, melainkan langit-langit kayu sebuah rumah sederhana yang beraroma kayu kering dan teh.
Leo menyadari sesuatu, pakaiannya yang penuh lumpur telah diganti dengan kemeja flanel kebesaran yang berbau matahari. Tubuhnya kini terbungkus selimut tipis, namun rasanya jauh lebih hangat daripada mantel mahal mana pun yang pernah ia beli.
"Kau sudah bangun," suara itu datar, memotong keheningan.
Leo menoleh dengan susah payah. Di sudut ruangan, Raya tengah sibuk dengan keranjang anyamannya. Ia tampak bersiap-siap, mengikat caping dan memeriksa perlengkapan untuk pergi ke kebun teh.
Leo menelan ludah. Ia berusaha bangkit, bergerak perlahan agar kepalanya tak kembali berputar. “Raya…” suaranya serak. “Kenapa kamu… menolongku?”
Raya tidak berhenti dari kesibukannya. Ia mengencangkan simpul tali keranjangnya tanpa sedikit pun menatap Leo. "Tidak usah berterima kasih. Jika bukan karena Lili yang menangis karena takut kau mati di halaman rumah kami, aku juga tidak akan sudi melakukannya," jawab Raya dingin.
Kata-kata itu menghujam tepat di ulu hati Leo. Leo terdiam. Ia memandangi tangannya yang pucat di balik selimut. Ia sadar, tembok yang telah dibangun Raya dari tumpukan rasa sakit, kekecewaan, dan kebencian selama bertahun-tahun terlalu tebal untuk diruntuhkan hanya dengan seribu kata maaf.
"Pergilah. Hujannya sudah reda. Dan jangan pernah ganggu hidup kami lagi," ucap Raya final. Ia mengaitkan keranjang anyam itu ke punggungnya, bersiap melangkah keluar.
"Aku tidak akan menyerah sebelum kamu memaafkanku, Raya," sahut Leo tiba-tiba. Meski tubuhnya lemah, sorot matanya menunjukkan keras kepala yang sama dengan pria yang dulu Raya kenal, namun kali ini tujuannya berbeda. "Aku akan melakukan apa pun. Aku akan menebus semua kesalahanku."
Raya hanya mendengus pelan, sebuah tawa getir yang tidak sampai ke mata. Ia berdiri di ambang pintu, membelakangi Leo sejenak sebelum berangkat menuju perbukitan.
"Terserah apa katamu, tapi usaha yang kau lakukan tidak akan mengubah apapun" ucap Raya acuh tak acuh.