"𝘏𝘢𝘭𝘰, 𝘪𝘺𝘢 𝘬𝘢𝘬 𝘱𝘢𝘬𝘦𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘨𝘦𝘳𝘢 𝘥𝘪 𝘬𝘪𝘳𝘪𝘮, 𝘮𝘰𝘩𝘰𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘴𝘱𝘢𝘮 𝘤𝘩𝘢𝘵 𝘢𝘱𝘢𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶 𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘴𝘢𝘺𝘢, 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘴𝘢𝘺𝘢 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢𝘪 𝘴𝘦𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨.
𝘴𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘩𝘢𝘯𝘨𝘢𝘵,
𝘑𝘢𝘷𝘢𝘴—𝘬𝘶𝘳𝘪𝘳 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘦𝘫𝘢𝘳 𝘫𝘢𝘯𝘥𝘢!"
Bagi Javas, seorang kurir dengan sejuta cara untuk mencuri perhatian, mengantarkan paket hanyalah alasan untuk bertemu dengannya: seorang janda anak satu yang menjadi langganan tetapnya. Dengan senyum menawan dan tekad sekuat baja, Javas bertekad untuk memenangkan hatinya. Tapi, masa lalu yang kelam dan tembok pertahanan yang tinggi membuat misinya terasa mustahil. Mampukah Javas menaklukkan hati sang janda, ataukah ia hanya akan menjadi kurir pengantar paket biasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Resti_sR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23. Demam
Sepanjang perjalanan pulang, kesunyian menemani mereka. Hanya suara motor yang melaju pelan dan napas kecil Lala yang sesekali terdengar. Sementara itu, perubahan pada diri Selena benar-benar terasa oleh Javas.
Dan Javas mengerti. Pria itu memilih diam. Dia tidak ingin bertanya sekarang, karena dia paham Selena butuh ruang, butuh waktu untuk sekadar bernapas setelah cekikan emosi yang terjadi di playground tadi. Meski Javas tidak tahu persis masalah antara Selena dan Sera, satu hal jelas tertangkap olehnya, hubungan mereka tidak baik, dan itu cukup untuk membuat Selena tenggelam dalam diam.
Tidak ada makan siang seperti rencana awal. Motor itu melaju pelan di tengah keheningan. Tidak ada lagi tangan Selena yang ditarik dan dilingkarkan ke perutnya seperti pagi tadi. Bahkan Javas sangat menyadari jarak kecil yang sengaja diciptakan wanita itu di belakangnya.
Lala pun seolah mengerti. Gadis kecil itu memilih diam, tak ingin memperparah suasana hati maminya.
“Sudah sampai,” ujar Javas pelan saat motor berhenti di depan rumah Selena.
Ia menurunkan Lala dengan hati-hati.
Selena ikut turun. Tanpa banyak bicara, ia meraih tas dan menyampirkannya ke bahu.
“Makasih untuk hari ini, Javas,” ucapnya datar.
“Kamu boleh pulang sekarang,” lanjutnya cepat, seolah tak memberi ruang bagi Javas untuk menolak.
Selena menggenggam tangan kecil Lala, berjalan menuju pintu tanpa menoleh sedikit pun. Javas hanya mampu menatap punggung dua perempuan itu dalam diam.
“Kamu sama Bibi dulu ya, La. Mami lagi pusing,” ujar Selena begitu mereka masuk ke dalam rumah.
Lala mengangguk mengerti, lalu berjalan ke kamarnya.
Selena masuk ke kamar sendiri. Ia menghela napas berat. Dadanya masih terasa sesak, dan kepalanya kembali memutar semua ucapan Sera siang tadi, berulang tanpa ampun.
“Bukan… aku bukan pembawa sial…” lirihnya sambil memegangi kepala yang berdenyut.
Namun kalimat itu tak sanggup menahan gelombang yang datang.
“Tidak!!!” pekiknya. Penolakan itu tak lagi bisa ia simpan sendiri.
Selena berlari ke kamar mandi, menutup pintunya keras. Tubuhnya tersungkur ke dinding, lalu meluruh ke lantai. Isaknya pecah.
“Maaf… maafkan Selena, Papi… Mami…” ucapnya terputus-putus.
“Maafkan Selena, Kak Laila… Kak Devon…”
Ia meraung pilu. Tangannya mengepal, memukul-mukul dada yang terasa seolah dihimpit batu besar. Napasnya tersengal, air mata mengalir deras, membawa rasa bersalah dan luka lama yang kembali terbuka.
.
.
“Non… Nona Selena… Bibi masuk ya?”
Enam jam lamanya Selena tidak terlihat keluar dari kamar. Lala dan Bibi Arumi bahkan sudah makan siang sejak tadi, dan kini jam menunjukkan setengah enam sore.
Mungkin Nona Selena sedang tidur, pikir Bibi Arumi. Namun durasi ini terasa terlalu lama. Kecemasan perlahan merayap di dadanya.
Beberapa kali pintu kamar diketuk dari luar, tetap tidak ada jawaban. Hingga akhirnya Bibi Arumi memberanikan diri menekan handle pintu. Daunnya terbuka perlahan, dan kepalanya menyembul lebih dulu. Kamar itu gelap.
Bibi Arumi melangkah masuk. Keningnya mengernyit saat ranjang tampak kosong.
“Non Selena tidak ada. Apa keluar? Tapi mobilnya masih di depan,” gumamnya pelan.
Ia berdiri beberapa detik sebelum telinganya menangkap suara gemericik air.
Shower.
“Ah, mungkin Nona sedang mandi,” ucapnya, lalu mendekat ke arah kamar mandi.
“Non…” Bibi Arumi mengetuk pintu kamar mandi. Tidak ada sahutan.
Jantungnya mulai berdebar. Dengan tangan sedikit gemetar, ia mendorong pintu yang ternyata tidak terkunci.
Kamar mandi itu gelap.
Bibi Arumi menyalakan lampu.
“Nona…!”
Wajahnya seketika pucat. Selena meringkuk di bawah shower yang masih menyala. Tubuh wanita itu basah kuyup, bibirnya bergetar pucat, mulutnya bergerak pelan meracau tak jelas.
“NONA SELENAAAA!” pekik Bibi Arumi panik.
Ia berlari mendekat, mematikan shower, lalu memeluk tubuh Selena yang dingin dan lemas, menariknya keluar dari bawah guyuran air yang seharusnya sudah lama berhenti.
“Bibi… Selena bukan pembawa sial, kan?” racau Selena lirih. Suaranya serak, hampir tak terdengar. “Tapi… kematian mereka karena Selena, Bibi…”
“Nona… astaga,” Bibi Arumi terkejut.
Ia segera membopong tubuh Selena keluar dari kamar mandi. Tubuh itu terasa ringan dan dingin di pelukannya. Selena didudukkan di sofa tunggal di dalam kamar. Bahunya bergetar hebat, giginya gemeretuk menahan dingin.
Bibi Arumi bergerak cepat. Ia melepaskan pakaian Selena yang basah, lalu mengambil baju ganti. Tangannya gemetar, bukan karena dingin, melainkan karena panik.
“Semua itu takdir, Non,” ucapnya pelan, suaranya berusaha tenang meski dadanya sesak. “Bukan salah siapa-siapa. Itu murni kecelakaan.”
Selena tidak menjawab. Tatapannya kosong, matanya setengah terpejam.
Setelah pakaian kering terpasang, Bibi Arumi memapahnya ke ranjang. Langkah Selena gontai, tubuhnya seolah tak lagi punya tenaga. Begitu punggungnya menyentuh kasur, ia langsung meringkuk di bawah selimut.
“Ayo, tidur dulu ya, Non,” bisik Bibi Arumi sambil merapikan selimut.
Namun beberapa lapis kain tak mampu mengusir dingin dari tubuh Selena. Bibirnya masih bergetar, entah karena tangis yang tertahan atau karena dingin yang terlalu lama meresap ke tulang.
Bibi Arumi menempelkan tangan di kening Selena. Panas.
Wajah wanita paruh baya itu berubah cemas. “Demam…” gumamnya lirih.
Gegas, Bibi Arumi berlari kecil ke dapur untuk mengambil air dan kain bersih. Namun langkahnya terhenti saat suara lirih itu kembali terdengar.
“Bibi… mau dipeluk… Bi…”
Selena meringkuk di balik selimut. Tubuhnya bergetar hebat, dingin yang ia rasakan seolah merayap hingga ke tulang. Napasnya pendek, matanya terpejam rapat.
Bibi Arumi menoleh, dadanya menghangat sekaligus nyeri. Ia segera kembali ke sisi ranjang, mengabaikan air dan kain yang belum sempat diambil.
Ia duduk di tepi ranjang, lalu merengkuh tubuh Selena dari balik selimut. Pelukannya erat, menenangkan, seperti seorang ibu yang memeluk anaknya sendiri.
“Di sini, Non,” bisiknya pelan. “Bibi ada.”
Selena perlahan merapat, menyandarkan wajahnya ke dada Bibi Arumi. Tangannya mencengkeram kain baju itu lemah, seakan takut ditinggalkan.
Setelah Selena berada di posisi yang lebih nyaman, perlahan Bibi Arumi melepaskan pelukan itu. Ia melangkah tanpa suara menuju dapur, mengambil baskom kecil dan sehelai kain bersih untuk mengompres.
Kain basah itu cepat menghangat saat ditempelkan ke kening Selena. Suhu tubuh wanita itu benar-benar tinggi. Beberapa kali Bibi Arumi kembali membasahi kain, lalu menempelkannya lagi dengan hati-hati.
“Kalau demamnya tidak turun, Nona harus dibawa ke rumah sakit,” gumamnya cemas. “Tapi siapa yang mengantar…”
Ia meninggalkan kamar Selena sejenak, melangkah ke kamar Lala yang juga menjadi tempat tidurnya. Gadis kecil itu masih duduk di meja belajar, persis seperti saat terakhir Bibi Arumi melihatnya.
“Mami sudah bangun, Bi?” tanya Lala polos sambil meletakkan pulpennya.
“Mami sakit, Non. Demam,” jawab Bibi Arumi pelan.
“Ya ampun, Mami…” Lala langsung berdiri. “Coba telepon Papi, Bi.”
Ucapan itu membuat Bibi Arumi tersentak sejenak. Benar juga. Kenapa ia tidak terpikir sejak tadi.
“Iya… Bibi hubungi Papi ya,” ujarnya sembari meraih ponsel.
Sementara panggilan tersambung, Lala sudah berlari kecil menuju kamar Maminya, meninggalkan Bibi Arumi dengan perasaan penuh harap.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...