Semua berawal dari rasa percayaku yang begitu besar terhadap temanku sendiri. Ia dengan teganya menjadikanku tumbal untuk naik jabatan, mendorongku keseorang pria yang merupakan bosnya. Yang jelas, saat bertemu pria itu, hidupku berubah drastis. Dia mengklaim diriku, hanya miliknya seorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yusi Fitria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 19
Langkahku tergesa-gesa mencari keberadaan dari sahabatku, Addie. Aku sudah mengitari kantin, namun tak kunjung menemukannya. Disaat aku sedang berjalan menuju kelas, mataku tak sengaja melihat Addie di taman belakang sambil merokok.
Alisku mengkerut, sudah berapa tahun ini aku berteman dengannya, dan baru kali ini melihatnya merokok. Ternyata banyak hal yang tidak kuketahui tentang Addie.
"Addie!" panggilku seraya melangkah mendekatinya.
Addie menoleh sekilas, ia terlihat acuh dengan kedatanganku.
"Sejak kapan kau merokok?"
"Bukan urusanmu!" ketusnya.
Aku merasa bahwa Addie benar-benar berubah. Sikapnya begitu dingin terhadapku.
"Kau baik-baik saja?" Rupanya aku masih mengkhawatirkannya.
Addie tersenyum sinis, "Sejak kapan kau peduli kepadaku?"
"Aku selalu peduli kepadamu, Ad. Kau sahabatku!"
"Bullshit! Simpan omong kosongmu itu."
Ada yang nyeri dibagian dadaku. Penglihatanku kabur karena ada air mata yang mengenang. Dulu kita begitu dekat, tapi kenapa sekarang rasanya begitu jauh, Ad.
Aku mengigit bibirku, "Kau kenal Philip?"
Tiba-tiba ia tertawa cukup kencang, entah apa maksudnya. "Tentu saja. Dia temanku."
Kedua tanganku terkepal kuat. Air mata yang kutahan sedari tadi, akhirnya luruh juga. "Kau yang menyuruh Philip untuk masuk kedalam kamar mandi? Dan kau juga yang mengunci pintu dari luar?"
"Benar!" Addie tertawa lagi tanpa rasa bersalah.
"Kenapa kau melakukannya, Ad? Apa salahku padamu?"
Ia tak langsung menjawab, mendadak Addie menghembuskan asap rokok dari mulutnya ke wajahku. Aku terbatuk, lalu melangkah mundur untuk sedikit menjauhi darinya.
"Karena kau selalu mencuri perhatian semua orang! Aku begitu membencimu, Si. Kau wanita naif dan serakah. Baik itu Colt atau Elbarra, semuanya menyukaimu."
Aku terdiam mendengarkan. Ternyata dugaanku benar, wanita yang dibicarakan oleh Evelyn dulu adalah aku. Aku adalah wanita asia yang disukai Colt.
Addie menyentuh ujung rambutku, "Sudah berapa banyak pria yang tidur denganmu?"
Plak!
Tamparan itu menggambarkan rasa sakit hatiku. Aku memandangnya penuh dengan kekecewaan. Apakah selama ini Addie menggambarkanku sebagai sosok yang murahan?
"Beraninya kau memukulku!" Addie menatapku penuh amarah.
"Aku sudah terlalu baik padamu, Ad. Bahkan disaat aku tahu kau melakukan hal buruk terhadapku, aku masih menanyakan kondisimu, apakah kau baik-baik saja? Sepanjang jalan aku berpikir, oh aku telah melakukan kesalahan terhadapmu hingga kau tega melakukan hal buruk kepadaku. Kurasa sekarang, bukan aku yang melakukan kesalahan, tapi hatimu memang sudah busuk. Rasa iri dan dengki membuatmu menyakiti sahabatmu sendiri."
"Sudah cukup, Sialan! Tidak perlu menceramahiku!" pekik Addie sambil menutup kedua telinganya.
"Nyonya Florence pasti akan sangat sedih jika mengetahui apa yang kau perbuat,"
"Hahaha..." Addie tertawa sarkasme, "Mamiku bahkan lebih menyukaimu daripada aku. Dia selalu memujimu dihadapanku, sungguh membuatku muak."
Aku tersenyum sinis kearahnya, "Kau pantas mendapatkannya. Hiduplah dengan kesendirian, Ad. Kau tidak pantas memiliki seseorang dalam hidupmu."
Segera aku berbalik, kemudian melangkah untuk pergi dari situ. Baru saja beberapa langkah meninggalkan posisi berdiriku tadi, Addie tiba-tiba berteriak histeris.
"Aku membencimu, Sisi. Aku tidak ingin melihat wajahmu lagi!"
Pergilah sejauh mungkin, Ad. Jika suatu hari kita bertemu lagi, kuharap rasa kecewaku terhadapmu sudah padam.
...****************...
Sejak kembalinya aku dari kampus, aku memutuskan untuk berdiam diri sembari termenung di kamar. Sambil bersandar pada dipan kasur, aku memeluk guling dengan pandangan yang tertuju pada balkon.
Kenanganku bersama Addie menyeruak masuk dalam ingatanku. Bercanda dan tertawa bersama, namun sekarang semuanya tidak akan pernah terjadi lagi.
Sebelum berangkat ke kampus tadi, Elbarra membawaku ke penjara bawah yang dulu pernah kumasuki lewat ruang kerjanya. Disana ternyata ada seorang pria yang semalam masuk kedalam kamar mandi wanita, pria yang hampir melecehkanku.
Namanya Philip. Dia mengakui semuanya, bahwa Addie yang memintanya untuk melakukan hal menjijikkan kepadaku, agar Elbarra marah lalu menjauhiku.
"Sweety..."
Aku menoleh, dan mendapati Elbarra yang sudah duduk di tepi kasur. Ia tersenyum, senyum yang begitu menenangkan.
"Ada apa, hmm? Mia bilang, sejak kembalinya dari kampus kau mengurung diri di kamar. Kau baik-baik saja, Sayangku? Apakah kau merasa tidak enak badan?"
Sejenak aku menatapnya lekat, lalu membenamkan wajahku di dadanya. Aku menangis tanpa suara, ternyata pelukannya adalah tempat terbaik saat aku merasa lelah dalam menjalani hidup.
"Menangislah jika itu bisa meredakan sakit di hatimu, Sayang."
Aku selalu berpikir bahwa aku sendirian disini, ternyata tidak. Masih ada Elbarra tempatku untuk bersandar.
"Ingatlah satu hal. Jika seluruh dunia membencimu bahkan meninggalkanmu, ingatlah bahwa ada aku yang selalu mencintaimu dan selalu ada untukmu."
Dengan linangan air mata, kepalaku mendongak untuk menatapnya, "Kau benar-benar tulus mencintaiku?"
Elbarra mengangguk mantap, "Apapun yang terjadi, rasa cintaku kepadamu tidak akan pernah berubah."
Tangannya lalu terangkat untuk menghapus jejak air mataku. Perlahan ia mendekatkan wajahnya denganku, ia mencium bibirku dengan sangat lembut. Dan sekarang aku benar-benar percaya kepadanya.
Cukup lama bibir kami bersatu, kemudian Elbarra melepaskan pagutannya. Ia tersenyum tulus sambil menangkup wajahku dengan kedua tangannya yang besar itu.
"Lupakan Addie, okey? Walaupun kutahu tidak akan mudah bagimu. Kau pantas mendapatkan teman yang lebih baik, seorang teman yang mengerti akan dirimu."
Aku mengangguk pelan, "Terima kasih, El. Setidaknya aku masih memiliki dirimu."
"Sekarang kau sudah menganggap diriku eh?" Elbarra menaikkan turunkan alisnya untuk menggodaku.
"Tentu saja. Kau selalu mengikuti kemanapun aku pergi. Lalu, bagaimana bisa aku tidak menganggapmu ada?"
Matanya menatapku sinis, "Hanya itu? Tidakkah kau mulai menyukaiku?"
"Hmmm..." Jari telunjukku berada di dagu, "Aku pikir-pikir lagi."
"Kenapa harus dipikir-pikir lagi, Sisi? Kau harus menyukai suamimu ini."
Aku berdecih, "Suami apaan? Kau bahkan menikahiku tanpa persetujuan dariku. Mana bisa itu dianggap sah?"
"Tentu saja sah. Ada pendeta, saksi dan cincin. Bukankah hanya itu persyaratannya?"
Mulutku tidak bisa berkata-kata lagi. Aku menatapnya tidak percaya. Segampang itukah pikirnya?
Tiba-tiba Elbarra memajukan wajahnya, hingga beberapa centi dari wajahku. "Kau memiliki impian dengan pernikahanmu, Sweety?"
Aku berpikir sejenak, kemudian mengangguk iyakan. "Aku memiliki Wedding dream."
"Oh ya? Apa itu? Cepat katakan!"
"Untuk apa?" tanyaku heran.
"Tentu saja untuk dimasukan kedalam list. Bukankah kita sebentar lagi akan menikah secara resmi?"
Tuk!
Aku menjitak dahinya, "Sejak kapan aku mengatakan ingin menikah denganmu?"
"Kau harus mau!" Elbarra tersenyum lebar sambil mengusap dahinya akibat jitakanku tadi, "Aku sudah menelpon Mama tadi, dan Mama setuju jika kita menikah bulan depan."
Pria ini benar-benar.
"Kau selalu meminta izin apapun kepada Mama, mengapa kau tidak menikah dengan Mama saja?" sindirku.
"Jadi maksudmu, kau ingin aku jadi Stepdad untukmu?"
"Memangnya apa salahnya?" ucapku acuh.
Kepalanya mengangguk-angguk, "Tidak masalah. Aku menikahi Mamanya, lalu mendapatkan anaknya."
"Kau gilaa??!!" Aku memekik.
Elbarra tertawa cukup kencang, wajahnya bahkan sampai memerah. "Memangnya kenapa? Haruskah nanti kita membuat sebuah film dengan judul 'Stepdad fall in love with stepdaughter'?"
"Menjijikkan, El!!" teriakku frustasi.
Buru-buru aku meninggalkan pria dengan fantasi gilanya itu. Aku tidak menyangka bahwa Elbarra bisa semesum ini.