Raska adalah siswa paling tampan sekaligus pangeran sekolah yang disukai banyak gadis. Tapi bagi Elvara, gadis gendut yang cuek dan hanya fokus belajar, Raska bukan siapa-siapa. Justru karena sikap Elvara itu, teman-teman Raska meledek bahwa “gelar pangeran sekolah” miliknya tidak berarti apa-apa jika masih ada satu siswi yang tidak mengaguminya. Raska terjebak taruhan: ia harus membuat Elvara jatuh hati.
Awalnya semua terasa hanya permainan, sampai perhatian Raska pada Elvara berubah menjadi nyata. Saat Elvara diledek sebagai “putri kodok”, Raska berdiri membelanya.
Namun di malam kelulusan, sebuah insiden yang dipicu adik tiri Raska mengubah segalanya. Raska dan Elvara kehilangan kendali, dan hubungan itu meninggalkan luka yang tidak pernah mereka inginkan.
Bagaimana hubungan mereka setelah malam itu?
Yuk, ikuti ceritanya! Happy reading! 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Mirroring
Mobil terus melaju, melewati tikungan dan lampu-lampu temaram.
Akhirnya, setelah sekian lama, Raska menarik napas panjang dari dadanya yang sesak. Suara itu keluar pelan. Retak.
“Tadi… waktu gue lihat dia terbaring lemas… pucat… gue—”
Ia berhenti sejenak, menelan getir di tenggorokannya.
“Gue kayak lihat mendiang nyokap gue lagi.”
Asep langsung membeku. Vicky menoleh cepat, matanya melebar. Gayus tanpa sadar memperlambat mobil.
Raska menunduk, matanya memejam kuat.
“Gue ngerasa kayak bakal kehilangan… kayak momen itu bakal keulang. Dan gue…” suaranya pecah sedikit, “…gue nggak suka. Gue nggak mau ngerasain itu lagi.”
Mobil mendadak terasa terlalu sunyi. Bahkan tarikan napas mereka terdengar.
Vicky membuka mulut, tapi tak jadi bicara. Asep hanya menatap Raska dari kursinya, tak lagi heboh, hanya diam penuh empati.Gayus mengangguk pelan, lebih lembut dari biasanya.
Tak ada dari mereka yang tahu bagaimana masa lalu Raska. Dan trauma anak laki-laki itu lebih dalam dari apa yang terlihat.
Namun malam itu, di dalam mobil yang melaju pelan, mereka tahu satu hal. Raska bukan hanya panik. Ia ketakutan. Takut kehilangan seseorang lagi.
Mobil Raska berhenti di depan apartemennya.
"Lo bawa aja dulu mobilnya," ujar Raska pada Gayus.
"Oke," sahut Gayus.
Begitu punggung Raska menghilang di balik pintu lobby apartemen, Asep langsung meledak duluan.
“GUE GAK SALAH LIAT ‘KAN?! Raska… itu… DEMEN sama Elvara?!” serunya terburu-buru, suara naik setengah oktaf. “Dia tuh nyaman banget duduk sebelahan, ngobrol lembut, ngusap-ngusap handuk. HELLLOO?? Itu Raska! Pangeran sekolah! Anak orang tajir raya! Gimana bisa dia segitu protektifnya sama cewek yang bahkan—”
“—bahkan bukan tipenya menurut standar visual manusia biasa,” potong Vicky sembarangan sambil menaikkan alis, gaya sok tahu andalannya. “Tapi lu lihat nggak tadi caranya nyampirin blazer? Bro… itu bukan gesture teman. Itu gesture cowok yang takut pacarnya masuk angin.”
Gayus, masih fokus ke kemudi tapi bibirnya sudah mencegah tawa, menimpali dengan santai ala profesor sok ilmiah.
“Fenomena menarik, sih. Raska biasanya punya emotional suppression barrier, benteng emosi. Tapi begitu Elvara tenggelam, mekanisme psikologisnya jebol. Gue analisis ya…”
Ia menunjuk kaca spion tengah sambil tetap melaju.
“Pertama… reaksi panik berlebihan.”
“Berlebihan banget,” sela Vicky.
“Lalu, respons protektif ekstrem. Dia langsung fight-mode. Naluri itu cuma keluar kalau objeknya signifikan," lanjut Gayus.
“Objek signifikan… HA!” Asep memekik lagi. “BERARTI DIA SUKA!”
“Belum tentu suka,” koreksi Gayus sambil mengangkat jari telunjuk sok elegan. “Tapi… Elvara jelas memicu trauma masa kecilnya. Mirroring. Tadi dia bilang Elvara terlihat kayak mendiang nyokap dia waktu terakhir kali dia lihat. Kalau udah kayak gitu, biasanya seseorang bakal secara tidak sadar nempel sama sumber ‘mirroring trauma safety’. Artinyaaa…”
“Artinyaaa…?” Vicky mendekat, penasaran walau wajah tetap gaya sok ahli cinta.
“Elvara bikin dia merasa aman. Rasanya dekat, sesuatu yang… sudah lama hilang.”
Mobil hening sejenak.
Tiga-tiganya kompak menarik napas panjang.
Asep bersandar, memelototkan mata.
“Lo sadar nggak sih… Raska tuh paling nyaman sama Elvara. Status sosial beda jauh. Elvara nggak tampil heboh. Badannya juga… ya gitu.” Ia tak melanjutkan, tapi maksudnya jelas. “Tapi kalau sama dia… Raska tuh NORMAL. Dia ngomong, dia senyum dikit, dia jadi manusia.”
Vicky berkacak pinggang, mengangguk-angguk sok bijak.
“Serius, gue ini playboy. Gue paham tanda-tanda cowok tertarik. Dan tadi? Bro itu BUKAN hanya peduli. Dia posesif halus. Cara dia liatin Elvara sampai orang lain nggak boleh lihat bajunya basah? Aduh… itu udah level my girl, don’t touch.”
Gayus menyeringai kecil.
“Kesimpulan penelitian sementara: hubungan mereka… menarik untuk diobservasi.”
“Observasi pantatt lu,” dengus Asep. “Gue bilang sih: tinggal tunggu waktu sampe Raska ngaku.”
Vicky tertawa kecil.
“Gue kasih waktu dua minggu sebelum bocah itu sadar sendiri.”
Asep menunjuk kaca.
“GUE KASIH WAKTU DUA HARI. Malam ini aja mungkin dia udah mikirin Elvara sebelum tidur.”
Gayus mengangguk-angguk, menambahkan, “Data empiris mendukung itu.”
Tiga-tiganya saling pandang.
Lalu meledak tertawa, campuran heran, shock, dan antusias.
“GILA, BROOOO…”
“RASKA ELVARA…???”
“INI BAKAL JADI EPISODE BARU BUAT SEKOLAH.”
Mobil terus melaju, meninggalkan bayangan gedung apartemen. Sementara teka-teki baru mulai terungkap di hati tiga komentator kacau itu.
Di sisi lain
Pintu apartemen tertutup pelan di belakang Raska, seolah menelan seluruh suara dunia luar. Raska berjalan tanpa suara melewati ruang tengah yang temaram, lalu masuk ke kamarnya.
Klik.
Lampu kamar menyala lembut, menyinari ruangan minimalis dengan tembok abu-abu kebiruan. Di salah satu sudut, foto mendiang ibunya tersenyum. Senyum yang selalu terasa pahit baginya.
Raska berhenti di depan ranjangnya.
Tangannya terangkat, menyentuh rambutnya yang masih lembap, lalu turun ke wajah… dan akhirnya menutupi matanya sendiri. Ia menarik napas panjang, seperti menahan sesuatu yang sejak tadi ingin pecah di dadanya.
Blub.
Setetes air jatuh entah dari rambutnya atau dari matanya. Raska sendiri tak tahu.
Ia duduk di tepi ranjang, membongkar napas berat yang menggigil halus. Pikirannya kembali pada detik Elvara terkapar tak sadarkan diri: kulit pucat, bibir gemetar, rambut basah menempel di pipinya.
Dan ketakutan itu, ketakutan yang menggerogoti sampai tulang, menyeretnya kembali pada masa lalu.
Raska mengusap wajahnya perlahan, gerakannya melemah.
“Kenapa rasanya… kayak gue balik ke hari itu?” bisiknya nyaris tanpa suara.
Hari ketika ia menemukan ibunya tergeletak tak bernyawa.
Hari ketika dunia runtuh.
Hari ketika ia kehilangan satu-satunya orang yang pernah benar-benar mencintainya. Tanpa syarat.
Ia memejamkan mata. Napasnya tersengal kecil. Genggamannya di seprai mengeras.
“Gue gak mau kehilangan orang lagi… bahkan dia…”
Kata “dia” terdengar seperti rahasia yang bahkan ia sendiri belum siap mengakuinya.
Bayangan Elvara muncul begitu saja. Cara gadis itu menatapnya datar, tapi mata itu selalu dalam. Cara Elvara mencoba bangkit sendirian meski tubuhnya gemetar. Cara ia tidak pernah meminta bantuan.
Persis ibunya.
Itulah yang paling menusuk.
Raska merunduk, kedua sikunya bersandar di lutut, tangannya menyentuh rambut belakang kepalanya.
“Elvara… kenapa lo bikin gue ngerasa gini…”
Ia mengerjap, ada sedikit getaran di kelopak matanya,, bukan tangis, tapi luka yang sudah bertahun-tahun disumpal paksa dan kini mulai terkuak.
Dia benci rasa ini. Dia takut rasa ini. Tapi dia tak bisa menyangkalnya.
Dalam keheningan kamar yang hampir seperti ruang isolasi, hanya terdengar suara napas Raska yang bergetar tipis.
Ketika ia menatap ke arah jendela, bias lampu kota masuk dan memantul pada matanya yang berkaca-kaca.
“Kalau aja gue lebih cepat waktu itu… kalau aja gue bisa nyelametin nyokap gue…”
Ia menekan dahinya, menyeka air mata tipis yang lolos tanpa izin.
“Gue gak mau gagal lagi.”
Ponselnya berbunyi pelan. Notif chat dari grup trio komentator.
Raska menatap layar itu sebentar. Ia tak membalas.
Ia hanya berbaring ke belakang, menatap langit-langit putih yang terasa terlalu sunyi untuk menampung semua yang sesak di dadanya.
Lalu, lirih sekali…
Hampir tak terdengar…
“Elvara… lo baik-baik aja 'kan…?”
Layar ponsel menyala sekali lagi, tapi Raska tetap diam memejamkan mata, separuh untuk menenangkan diri, separuh untuk menolak mengakui bahwa hatinya mulai bergerak.
...🌸❤️🌸...
Next chapter...
Napas Raska tercekat. Tangannya mulai gemetar. Semakin keras.
Pil di tangannya bergetar bersama jemarinya. Hampir jatuh.
To be continued
Pak Nata mengenal Asep, Vicky, dan Gayus. Mereka bertiga tidak mengenal pak Nata, papanya Raska.
Ketika pak Nata mendatangi mereka bertiga yang sedang makan cilok di taman belakang sekolah, tak tahu Om itu siapa. Baru setelah pak Nata memperkenalkan diri - menyebut nama, mengatakan - ayahnya Raska, ketiganya langsung kaget.
Ngomong-ngomong Raska-nya kemana ini. Apa sedang duduk berdua dengan Elvara ?
Lisa ini perempuan nggak benar, melihat sejarahnya menikah dengan pak Nata.
Sebagai seorang ibu juga membawa pengaruh negatif bagi Roy, anaknya. Pantaslah Roy kelakuannya nggak benar. Turunan ibunya.
Tolong kembali Elvara.. 🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻
ya beda donk hasil dari anak wanita tercinta..
tapi dasar kamu dan emak mu sama sama gak tahu diri...
anak pertama yang seharusnya jadi raja malah terusir dari rumah sendiri...
itu pun kamu gak tahu diri juga