Ketika cinta datang dari arah yang salah, tiga hati harus memilih siapa yang harus bahagia dan siapa yang harus terluka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santika Rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 1
Sinar matahari menembus tirai kamar Alleta, mengusir sisa-sisa kenyamanan akhir pekan. Dengan seragam putih abu-abu yang sudah rapi melekat pada tubuhnya, Alleta turun dari tangga sambil menyampirkan tas di punggungnya. Semangatnya untuk memulai hari sebenarnya baik-baik saja… sampai ia tiba di ruang makan yang sunyi.
Tak ada suara tawa.
Tak ada suara salam.
Hanya aroma roti dan selai yang mengisi ruangan luas itu.
“Pagi, Bi…” sapanya pelan, namun tetap berusaha ramah.
Bi Maya, wanita paruh baya yang sudah seperti ibu kedua baginya, menoleh sembari tersenyum hangat. “Pagi, Non. Ayo sarapan dulu, Bibi sudah siapkan sandwich kesukaan Non.”
Alleta duduk, menghela napas tipis saat menatap kursi-kursi kosong di depannya.
“Mama, Papa belum pulang, Bi?”
Suaranya terdengar menyisakan harapan kecil, meski ia tahu jawabannya.
“Belum, Non. Tadi Bapak telepon… masih ada kerjaan. Paling lambat besok pulang,” jawab Bi Maya lembut, seolah ingin menenangkan.
“Oh…”
Satu kata pendek, tapi cukup untuk menggambarkan kecewa yang sudah terlalu sering ia rasakan.
Ia mulai menyantap sandwich itu. Rasa gurih dan hangatnya tetap tak mampu mengisi kekosongan yang sejak lama menetap di dalam dadanya.
Rumah besar, fasilitas lengkap, harta melimpah, semua itu tak mampu menyaingi satu hal yang tak pernah ia dapat, kebersamaan keluarga.
Andai saja Mama dan Papa tahu… betapa sepinya Alleta di sini.
Tak lama kemudian, suara klakson terdengar nyaring dari luar. Seolah menjadi alarm yang menyelamatkannya dari kesedihan kecil di pagi hari.
Alleta buru-buru menghabiskan gigitan terakhir, meneguk air, lalu berdiri. “Alleta berangkat dulu ya, Bi.” Ia meraih tangan Bi Maya untuk salim.
“Hati-hati ya, Non,” pesan Bi Maya tulus.
Begitu pintu terbuka, angin pagi menyambutnya bersama sosok yang berdiri tegap di depan motor sport merahnya. Tristan Arkana Raharja. Helm full face menutupi sebagian wajahnya, tapi aura tengil dan kepercayaan dirinya tetap mudah dikenali.
“Yuk, berangkat,” ucap Tristan sembari menyodorkan helm.
“Yuk,” balas Alleta, dengan senyum yang baru terlihat pagi ini.
Ia naik ke jok belakang dan otomatis memegang jaket kulit di tubuh Tristan, sudah jadi kebiasaannya sejak SMP.
“Pak Edo! Alleta berangkat dulu ya!” serunya pada satpam yang selalu bertugas di pos depan.
“Iya, Non! Hati-hati!” balas Pak Edo.
Tristan memutar gas, motor mulai melaju meninggalkan pekarangan rumah besar yang masih terjebak dalam sunyi.
Dan seperti biasa…
Dialah yang mengisi kekosongan hari-hari Alleta.
Dialah yang selalu ada, bahkan saat dunia tidak peduli. Rumah mereka yang hanya dipisahkan satu tembok menjadikan mereka tumbuh bersama, tertawa bersama, mereka sudah seperti saudara kandung yang saling melindungi.
Beberapa menit berlalu, motor itu akhirnya melintasi gerbang besar bertuliskan SMA Pandegha Cakrabuana dengan megahnya. Tristan memarkir motor sport merahnya di area parkir siswa. Mesin dimatikan, dan suara riuh obrolan anak-anak sekolah langsung menyambut mereka.
Setelah memastikan kunci aman, Tristan meletakkan helm mereka di tempat teduh. Sementara Alleta terlihat tengah sibuk merapikan poninya.
“Lets go, princess,” Tristan menyenggol lengannya sambil tersenyum tengil.
“Jangan panggil gwe princess mulu dong…” Alleta mencebik, meski ujung bibirnya tak bisa menolak ikut terangkat.
Mereka berjalan berdampingan melewati koridor sekolah. Beberapa siswa langsung melambai atau menyapa ramah.
“Pagi, Al!”
“Tris, nanti ada rapat olimpiade fisika, jangan lupa!”
Alleta membalas setiap sapaan dengan senyum sopannya. Tristan hanya mengangguk santai, seolah semua itu sudah biasa.
Bukan hanya wajah mereka yang mencuri perhatia, Alleta dan Tristan memang terkenal. Mereka sering menjadi pasangan andalan sekolah dalam berbagai lomba akademik. Dan meskipun usianya lebih muda setahun, kecerdasan Alleta membuatnya melompat kelas saat SMP sehingga sekarang ia dan Tristan berada di angkatan yang sama.
Langkah keduanya berhenti saat tiba di pintu kelas XI IPA 1. Tristan meletakkan tas di tempatnya duduk, di sebelah kanan Alleta. Alleta juga melakukan hal yang sama. Suasana kelas saat itu masih sepi karena memang mereka datang lebih pagi, hanya ada beberapa siswa yang mengisi ruang kelas.
“Al.., ke kantin yuk, sarapan..” ajak seorang gadis dengan rambut hitam yang dikuncir kuda.
Gadis itu adalah Arutala Himawari, atau yang biasa disapa Aru, merupakan sahabat dekat Alleta di sekolah.
Alleta menoleh ke arah gadis itu, “Gue udah sarapan sih., tapi yuk gue temenin.” balasnya setuju.
“Nahh gitu dong, itu baru namanya setia kawan..” ujar Aru kemudian menggandeng tangan Alleta.
“Lo ga ke kantin?” Tanya Alleta saat hendak melewati Tristan.
“Ga, gue udah sarapan tadi” jawab Tristan santai.
“ohh.. ” Kedua gadis itu kemudian melangkah ke luar kelas menuju kantin.
Setelah membeli makanan, kedua gadis itu duduk di salah satu meja kantin yang cukup sepi, di sudut dekat jendela. Aru langsung menyerbu nasi goreng pesanannya, sementara Alleta hanya menyeruput susu kotak rasa stroberi sambil menggoyang-goyangkan kaki dengan santai.
“Eh sumpah, lo itu cocok banget tau sama Tristan…” celetuk Aru tiba-tiba.
Alleta yang sedang meneguk susu langsung terbatuk. “Khkk—!! Apaan sih, Ru!” Ia memukul dada sendiri kecil-kecil untuk menetralkan tenggorokan.
Aru nyengir lebar. “Ya gue serius ini, lihat aja deh. Lo cantik, dia ganteng, kalian pinter, populer, selalu bareng, udah kayak couple goals versi dunia nyata.”
Alleta mendecak, pipinya memanas sedikit. “Apaan sih… gue sama Tristan itu sahabat. Dia udah kayak abang gue sendiri. Ga usah ngarang deh...”
Aru meletakkan sendoknya, menatap Alleta tajam penuh keyakinan.
“Yaampun Al… nggak ada yang namanya cewek cowok sahabatan tanpa salah satunya punya rasa. Percaya deh sama gue, selalu ada yang jatuh duluan.”
Alleta menghela nafas kecil, “Lo emang ya… drama banget.” Alleta terlihat cuek, lalu menunjuk nasi goreng Aru. “Udah, daripada ngurusin hubungan gue ama Tristan, mending lo habisin tuh nasi goreng. Keburu bel.”
Aru tertawa pendek, kemudian kembali menyuap makanannya. “Iya, iya…”
Aru baru saja menelan suapan terakhirnya saat..
Kringg.....
Bel tiba-tiba berbunyi nyaring, membuat seluruh kantin spontan riuh. Para siswa bergegas berdiri, berbondong-bondong menuju lapangan sekolah untuk mengikuti upacara bendera.
“Yuk, ambil topi dulu,” kata Aru etelah meminum air putih yang dia bawa.
Mereka berdua berlari kecil menuju kelas, mengambil topi yang tergantung di tas masing-masing, lalu segera keluar lagi sebelum kerumunan terlalu padat.
Langkah mereka terhenti sejenak ketika melewati depan ruang kepala sekolah.
Pintu ruangan itu terbuka sebagian… dan dari sana, masuk seorang laki-laki dengan postur tinggi tegap, memakai seragam yang tampak agak rapi. Alleta otomatis menghentikan langkahnya. Ada sesuatu yang membuatnya terpaku.
Ia melihat punggung itu… tinggi, tegap, dan terasa asing tapi… familiar. Seolah tubuhnya mengenal sosok itu, tapi pikirannya masih menolak percaya. Aru yang menyadari Alleta berhenti ikut menoleh.
“Ah iya!” Aru menjentikkan jarinya pelan. “Gue lupa bilang. Itu anak baru. Dia baru pindah hari ini. Tapi gue gatau dia angkatan berapa.”
“Oh…” hanya itu respons yang keluar dari mulut Alleta.
“Udah yuk, nanti kesiangan. Yang lain udah baris tuh,” ajak Aru buru-buru sambil kembali menarik tangan sahabatnya.
“Ya, ayok…” Alleta mengangguk, meski matanya masih sempat melirik sekali lagi ke arah ruang kepala sekolah sebelum akhirnya melangkah pergi.
Mereka tiba di lapangan, lalu masuk ke barisan XI IPA 1. Suasana mulai tertib. Barisan mengular panjang. Suara komando dari pembina upacara menggema.
Upacara sudah berlangsung sekitar 25 menit. Matahari Yogyakarta mulai naik, memancarkan panas yang menyengat di wajah para siswa. Alleta tetap berdiri tegak dan fokus… tapi berbeda dengan Aru yang tampak mulai gelisah di sebelahnya.
Aru mencondongkan badan sedikit, menutupi mulutnya dengan tangan agar tidak terlalu mencolok.
“Eh, Al… katanya anak baru tadi tuh pindah ke sini gara-gara diDO dari sekolah lamanya,” bisiknya dramatis.
Alleta melirik sedikit. “Iyakah? Lo tahu dari mana?” bisiknya balik, menahan rasa ingin tahu.
“Tadi banyak banget yang ngomongin. Udah heboh satu sekolah,” bisik Aru lagi sambil mengedarkan pandangan. “Tapi iya sih… dari tampangnya kayak anak berandalan gitu. Mending lo jauh-jauh deh dari dia, Al.”
Alleta mencibir kecil namun suaranya tetap pelan, “Iya deh iya… Udah ih, kepsek nengok sini tuh!”
Aru langsung menegakkan badan dan pura-pura serius mendengar amanat upacara sambil menelan ludah. Tatapan kepala sekolah cukup membuat bulu kuduk merinding.
Beberapa menit kemudian… Suara lantang pemimpin upacara berkumandang:
“Upacara selesai! Barisan dibubarkan!”
Seruan lega tak terdengar tapi tergambar jelas dari wajah sebagian besar siswa, termasuk Aru. Barisan mulai bergerak, para siswa bubar dengan langkah lebih santai.
Alleta dan Aru berjalan berdampingan kembali menuju gedung kelas. Mereka pun memasuki kelas XI IPA 1. Hari Senin baru saja dimulai.
Terlihat para siswa mulai duduk rapi di bangkunya masing-masing. Alleta menyiapkan buku fisika dan kotak pensilnya, ketika dari samping Tristan tiba-tiba menyodorkan sebotol air mineral dingin ke arahnya.
“Nih… lo nggak bawa minum kan,” ucap Tristan santai, tapi nada perhatiannya tak bisa disembunyikan.
Alleta sempat terpaku. Benar saja, pagi tadi ia lupa memasukkan botol minumnya ke dalam tas.
“Thanks ya…” balasnya sambil mengambil botol itu dengan senyum tipis penuh terima kasih.
Aru yang duduk tepat di depannya hanya menggeleng pelan. Ia bahkan sempat berbisik dalam hati, Kalau ini bukan tanda-tanda cinta, apa lagi namanya?
Suasana kelas perlahan tenang ketika seorang guru wanita masuk ke dalam ruangan.
Bu Ningsih, guru Fisika yang terkenal tegas tetapi menyenangkan.
Namun, bukan beliau yang membuat perhatian para siswa mendadak terfokus ke pintu.
Di belakangnya berjalan seseorang… yang jelas bukan wajah biasa di kelas itu.
“Selamat pagi semuanya.”
“Selaamat pagi Buu!” jawab mereka hampir serentak.
Bu Ningsih tersenyum tipis. “Hari ini kita kedatangan murid baru, pindahan dari SMA Satya Mandala. Silakan perkenalkan diri kamu.”
Pemuda itu maju setengah langkah.
“Halo semua… gue Sagara Kelana Biantara. Panggil aja Sagara,” ujarnya singkat. Nada malas dan angkuh terdengar jelas, seolah ia dipaksa melakukan hal yang tidak penting.
Alleta membeku.
Nada itu.
Tatapan itu.
Rahang yang mengeras seperti kemarin.
Sagara.
Pemuda menyebalkan yang tidak sengaja dia temui di Gramed.
Tristan melirik ke arah Alleta yang mendadak menarik napas pelan.
“Kenapa?” gumamnya kecil.
“Enggak…” jawab Alleta cepat, tapi matanya tidak bisa lepas dari sosok baru tersebut.
“Baik, Nak Sagara, kamu bisa duduk di kursi yang kosong,” ujar Bu Ningsih sembari menunjuk barisan tengah.
Sagara mengedarkan pandang.
Tatapan tajamnya menyapu seluruh ruangan…
hingga akhirnya berhenti tepat di satu titik.
Bangku kosong…
di sebelah kiri Alleta Cassandra Sabiru. Alleta langsung terdiam, menegakkan punggungnya tanpa sadar. Bahkan Aru menahan napas melihat arah yang dituju Sagara.
Pemuda itu berjalan mendekat dengan langkah santai namun penuh percaya diri.
Setiap langkah terasa seolah mengguncang fokus Alleta. Dan saat Sagara menarik kursi itu untuk duduk… Dalam hati Alleta hanya bisa mengumpat pelan, kenapa harus dia lagi?.
Bersambung...
“Kadang orang yang paling ingin kita jauhi justru menjadi bagian penting dari perjalanan kita.”