NovelToon NovelToon
Runaways Of The Heart

Runaways Of The Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / CEO / Percintaan Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Mafia / Cintapertama
Popularitas:292
Nilai: 5
Nama Author: Dana Brekker

Darren Myles Aksantara dan Tinasha Putri Viena sama-sama kabur dari hidup yang menyesakkan. Mereka tidak mencari siapa pun, apalagi cinta. Tapi pada malam itu, Viena salah masuk mobil dan tanpa sengaja masuk ke lingkaran gelap keluarga Darren. Sejak saat itu, hidupnya ikut terseret. Keluarga Aksantara mulai memburu Viena untuk menutupi urusan masa lalu yang bahkan tidak ia pahami.

Darren yang sudah muak dengan aturan keluarganya menolak membiarkan Viena jadi korban berikutnya. Ia memilih melawan darah dagingnya sendiri. Sampai dua pelarian itu akhirnya bertahan di bawah atap yang sama, dan di sana, rasa takut berubah menjadi sesuatu yang ingin mereka jaga selamanya.

Darren, pemuda keras kepala yang menolak hidup dari uang keluarga mafianya.

Viena, gadis cantik yang sengaja tampil culun untuk menyembunyikan trauma masa lalu.

Genre : Romansa Gelap

Written by : Dana Brekker

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dana Brekker, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ch 13

SMA, Viena pernah jadi pusat tontonan satu lorong sekolah. Pelakunya sama, wibu cebol yang siapa lagi kalau bukan Sitarani. Merasa sedang berada di momen serupa namun tak sama, ingatan itu kembali secara natural.

Hari itu ada razia sepatu hitam dan satu sekolah tegang seperti biasa.

Viena datang terlambat, buru-buru lari ke gerbang, tapi satu sol sepatu compang-campingnya jebol di tengah jalan. Benar-benar jebol. Kebelah dua kayak mulut buaya karena memang sepatu hitamnya sudah di lem karena usia, sementara kondisi saat itu hujan gerimis yang masih setia dari semalam.

Karena panik, ia langsung ke kantin, nyari alas kaki apa aja yang bisa dipinjem. Viena bukan panik karena sepatu hitamnya rusak. Guru bisa mentolerir kalau faktanya memang jadi buaya, tapi Viena panik karena malu jikalau teman-temannya mengetahui dirinya berjalan cekeran sampai jam 3 sore nanti. Viena yang terkenal cantik, bakal jadi Cinderella yang mengundang pangeran-pangeran sekolah berjejalan memanfaatkan situasi untuk melamar. Itulah yang paling gadis itu takutkan.

Sesampainya di kantin, sahabat karibnya sudah menunggu. Namun terlampau santai kala mengetahui sepatu Viena rusak. “Ini Vi, aku selalu sedia sendal kalau musim hujan begini. Pakai aja.” Begitulah ucapan Sitarani dengan santainya.

Sandal jepit warna pink neon merek SWL, ukurannya empat nomor lebih besar. Jejaknya meledak-ledak di lantai tiap kali dipakai jalan. "Fix, ini punya bapaknya Sita," pikir Viena mau nangis.

Belum cukup, tali sandalnya ternyata seret di lantai, dan setiap langkah bunyinya “clepok… clepok… clepok… .”

Gak lucu. Kalau gini mah mending cekeran.

“ANJAY, VIENA MASUK PAKAI SENDAL OPEN MINDED!!”

Segerombolan hyena “Laki-Laki” kebetulan sedang nongkrong di salah satu koridor sekolah. Satu-satunya jalur bagi Viena untuk sampai ke kelasnya. Karena masih pagi, tentu gadis itu gak perlu berpikir dua kali, seharusnya sepi. Biasanya selalu sepi.

Lalu yang bikin kejadian itu makin viral adalah momen ketika ia mencoba lari menjauhi keramaian karena malu. Sandal bapak Sita malah mental gak karuan. Ini sandal bisa elastis banget? Ini sekolah pagi-pagi udah rame banget?

Sampai berhenti memantul, Sandal berhenti di terminal terakhir, kaki wakil kepala sekolah yang sedang melakukan razia sepatu.

Tragedi itu Viral dua minggu.

Teman-temannya mulai memanggil Viena “Sinderella”. S-nya dari kata sandal. Ditertawakan, diungkit, sampai Viena bosan mendengarnya. Dan dia gak mau hal semacam itu terjadi lagi kali ini. Dia sudah dewasa. Bisa lebih hati-hati. Lebih tahu diri.

Viena menarik napas panjang.

“Percaya deh, ini cuma buat ngetes,” jelas Sita. “Yang penting lu tetap pakai kacamata, jangan sampai lepas kayak dulu, kalau lu masih mau hidup! Cowok mesum tetep aja bakal kepincut selama yang di depannya keliatan cewek.”

Viena mulai melepas jaketnya, lalu keluar kamar sambil menyiapkan rambut untuk diikat. Mata gadis itu terus saja jatuh ke arah Darren, yang lagi sibuk dengan komputer di meja kontrol, sama sekali tak menyadari rencana yang akan dijalankan dua sahabat ini.

Dia tahu jika sungguh Darren orang yang jahat, pemuda itu pasti sudah melakukannya pada malam itu. Tapi nyatanya tidak. Sekedar memastikan bukan tindakan kriminal, kan?

“Eh, kamar mandinya di sebelah mana ya?”

Viena tahu saat mendengar suara cempreng barusan, inilah pertanda jika permainan mereka baru saja dimulai.

Darren sendiri masih tampak santai bekerja di mejanya. “Itu di ujung lorong sebelah kanan. Tinggal lurus aja. Pintunya warna biru muda.”

Sita mengangguk cepat, sembunyi ke balik tembok kamar rekaman, matanya masih terus mengawasi Viena yang berdiri di tengah ruangan studio. Nyesel juga dia melihat wajah Viena yang kini bermandikan keringat di ruangan AC.

“Jadi kapan aku mulai beres-beres?” senyuman Viena nampak dibuat-buat.

“Mau langsung kerja? Alright.” Darren lantas berdiri, tangan kiri masuk ke saku celana, tangan kanan melambai memberi arahan. “Kamu bisa mulai dari meja depan sana, terus rak CD di samping. Habis itu bagian panel, terus rapihin kabel.”

“Drum dan pianonya nggak?”

Entah kenapa Viena spontan tanya hal itu.

“Bisa mulai dari sudut sini dulu, Viena. Nanti setelah itu kolong meja, drum, piano. Terus buffet dan etalase tinggi di sana nanti sama aku karena kamu gak bakalan nyape.”

Senyum kemenangan merekah di bibir Sita. Sementara Viena terpukul ucapan Darren perihal tinggi badannya yang kurang.

Setelah arahannya jelas, semuanya kini profesional pada tugas dan tujuannya masing-masing. Kebetulan Darren masih berdiri di dekat Viena dengan ponselnya, menandakan waktu paling pas bagi gadis di balik lorong yang mengintip dengan mata berkilat-kilat untuk menganalisis setiap ekspresi dan pergerakan mata pemuda itu.

Alhasil Viena mulai menggulung kaosnya, merasakan bulu kuduknya merinding saat mengetahui Darren menatapnya, entah itu kebetulan atau Darren memang sedang mencuri-curi pandang untuk menikmatinya. Kemudian ia mengikat rambutnya sambil menggigit gelang karet, sesuai rencana. Keringat dingin mengucur di pelipis padahal pekerjaan asli belum dimulai.

“Sitarani Iblis, Darren ngeliatin gue. Apa dia beneran mesum?” pikir gadis itu kala dirinya terus memantau tatapan pemuda beralis tebal yang kini telah kembali ke ponselnya. “Gimana gue bisa beres-beres kalau suasananya kayak gini?!”

Lemas gadis itu setelah mengetahui Darren kembali menatapnya sekilas. Tapi kenapa sorot matanya datar? Dia gay? Viena akhirnya memutuskan untuk fokus pada meja di depannya. Semua sampah dia sisihkan, permukaannya dia bersihkan dengan kemoceng yang barusan Darren siapkan.

Baru tahu dirinya jika Darren juga ikut membantu. Bahkan pemuda Aksantara itu malah tampak sibuk dengan kegiatannya sendiri ketimbang memperhatikan kaos yang digulung di atas ketiak.

Viena benci dirinya sendiri karena malah merasa kecewa. Mungkin karena cuaca siang itu cukup panas setelah hujan lama di malam hari. Otaknya sulit diajak kerjasama.

“Drum dan kabel biar aku yang urus,” kata Darren sambil mengusap keningnya dengan tisu. “Kamu sapu lantainya, ya?”

Viena mengangguk saja mendengar perintah bos barunya itu. Entah kenapa beberapa waktu berlalu gadis itu justru yang paling sering memperhatikannya, bukan sebaliknya. Rasanya rencana yang telah dibuat lenyap tanpa suara. Sita masih antusias, tapi Viena mulai ragu.

“Tiga?” bisik Viena tatkala iblis yang mengintip di balik lorong itu menunjukkan ke tiga jarinya tinggi-tinggi. Viena beruntung tidak perlu melakukan rencana ‘bokong indah’ dan langsung ke rencana terakhir mereka.

Cepat-cepat dia menyambar kemoceng dan mendekati bufet yang di atasnya bertengger kardus-kardus dan satu miniatur Eiffel. “Bufetnya jadi dibersihkan?”

“Wah, bersih banget.” Darren melihat lantai studionya yang selesai Viena sapu. “Untuk bufet kamu naik kursi ya? Biar aku yang pegangin.”

Petir ghaib menyambar seringai Sita yang telah lama terukir di wajahnya. “Ini dia aksi si mesum!” pikirnya, siap menerjang pemuda itu jika berani macam-macam dengan Viena.

Adapun di waktu bersamaan, Viena terus memberi isyarat. Sita juga melakukan hal yang sama walaupun mereka berdua sama-sama tidak mengerti apa maksudnya, yang jelas keduanya panik.

Akhirnya Viena memilih untuk menarik napas dalam-dalam. Kursi plastik di depannya tampak tidak begitu kokoh, tapi Darren sudah berdiri di sisi kanan, satu tangan menahan sandarannya.

“Naik aja, aku pegangin biar gak jatuh,” ucapnya tenang. Selalu begitu.

Cara bicaranya klasik, tapi cukup untuk membuat jantung Viena meloncat dua kali lipat. Dia menatap kursi itu, lalu Darren, lalu kursi lagi.

“Y-ya, aku naik ya.”

Darren hanya mengangguk.

Dengan hati-hati, Viena menapaki kursi itu, tubuhnya sedikit oleng sebelum stabil. Kedua tangannya segera sibuk menurunkan beberapa kardus yang disusun rapi di atas bufet berisi tumpukan kertas, dan satu miniatur menara Eiffel, semuanya berdebu. Darren menerima satu per satu barang itu dengan sabar, matanya tak pernah meninggalkan tugasnya.

“Debunya parah banget,” keluh Viena, sedikit batuk. Lalu mengambil kemoceng dan mulai menyapu bagian atas bufet. Setiap kali tangannya bergerak, debu beterbangan di udara, menciptakan tabir ajaib yang menghujani ruang tengah studio.

Dan di sela itu, Viena bisa merasakan tatapan Darren di bawah sana. Bukan tatapan lelah, bukan pula tatapan mesum. Hanya tatapan seseorang yang sedang memperhatikan dengan fokus, tapi entah kenapa justru membuatnya makin salah tingkah.

“Dia masih ngeliatin gak, sih?” batin Viena makin gelisah. Berusaha menyibukkan diri, tapi bayangan Darren berdiri di bawah, tangan menahan kursi, membuat pikirannya tak bisa benar-benar fokus.

Debu semakin menebal, beterbangan ke segala arah.

Lalu di balik lorong, Sita yang sejak tadi mengintip menutup hidungnya rapat-rapat. Tapi terlambat.

“Hh… hhHATSSHHH!!”

Satu bersin keras menggema dari arah kamar rekaman.

Darren langsung menoleh cepat. “Sita?” alisnya terangkat. “Bukannya kamu dari kamar mandi? Kok bisa di kamar itu?”

Sita terperangah, otaknya blank total. “A-aku… .” Suaranya tersendat, matanya melirik ke Viena yang panik di atas kursi. “A-anu… barusan di kamar mandi ada tikus! Aku buru-buru sembunyi di sini!”

“Tikus?!” teriak Viena spontan.

Kursi bergoyang kacau saat ia menoleh panik. Darren mendongak dengan wajah kaget, berusaha menahan kursi yang nyaris terguling.

“Darren!”

Tapi sisa satu miniatur menara Eiffel di atas bufet terjatuh lebih dulu di atas kepala Darren tepat setelah ia merentangkan tangan untuk menangkap Viena.

“Viena, awas jatuh!”

Brakk.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!