Kisah tentang para remaja yang membawa luka masing-masing.
Mereka bergerak dan berubah seperti bola kuning, bisa menjadi hijau, menuju kebaikan, atau merah, menuju arah yang lebih gelap.
Mungkin inilah perjalanan mencari jati diri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Paffpel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Saat ini sedang jam istirahat, sekarang murid-murid sudah saling berteman. Tapi ada juga yang masih kesusahan mencari teman.
Arpa, Juan dan Rian, mereka sedang berjalan menuju kantin. Tapi di tengah jalan, Arpa melihat Depa dari jendela. Langkahnya terhenti, dia diam sebentar sambil menatap Depa yang lagi makan bekalnya.
Arpa nyolek Juan dan Rian. “Jun, Yan, kalian duluan aja ya,” Arpa langsung lari menuju Depa, mengabaikan Juan dan Rian.
Pandangan Juan dan Rian bergerak cepat ke arah Arpa. Mata mereka melebar sedikit dan bibirnya terbuka tipis. Juan mencoba menggapai Arpa, tapi tangannya nggak sampai.
Setelah beberapa saat berjalan cepat menuju Depa, Arpa pun berdiri di dekat Depa. Dia duduk di samping Depa.
“Dep, waktu itu, kok lu bisa tau tentang gua?” Arpa melirik Depa.
Depa yang ingin memakan bekalnya jadi terhenti. Dia menurunkan sendoknya. “Serius nih? Sekarang banget gua harus jawab? Lagi makan nih gua, mikir dong,” Depa menatap sinis Arpa.
Arpa menggaruk kepalanya. “Hehe, ya udah lanjut, gua tungguin.”
Depa lanjut makan bekalnya. Sedangkan Arpa, dia ngelirik-lirik sekelilingnya. Depa pun selesai makan, dia menaruh kotak bekalnya di sampingnya.
“Gua bisa tau sifat dasar seseorang dari pengamatan, dari gerak-gerik, mata, cara bicara, atau bahkan menurut perasaan gua sendiri.” Depa mengambil botol minumnya dan meminumnya.
Depa menaruh botol minumnya dan mengusap bibirnya. “gua nggak tau namanya apa, gua merasakan sesuatu di dalam lu, tapi beda menurut pengamatan gua.”
Depa merapikan kotak bekal dan botol minumnya. “Saat gua bilang pengen mukulin temen lu itu, lu langsung marah. Padahal gua udah bilang kalau gua kuat banget, tapi lu nggak peduli.”
Depa berdiri sambil membawa bekal dan botol minumnya. “Dan dari situ gua udah bisa pastiin lu orang yang kayak gimana, dadah,” Depa melambaikan tangannya dan pergi.
“Tapi semua orang kan pasti begitu, mana ada orang yang bakal diam kalau temennya di pukulin?” Kata Arpa sambil menatap serius Depa.
Langkah Depa terhenti. Dia nengok ke belakang. “Beda dong, orang lain ya orang lain, lu ya lu, udah gua bilang, gua juga mengamati lu, bagian luar lu itu lemah dan rapuh, itu hasil dari pengamatan gua. Dan bagian dalam lu itu jujur dan kuat, itu menurut perasaan gua.”
Depa membalikkan badannya dan nyengir sambil menatap Arpa. “Kalau bagian dalam lu itu lemah dan rapuh, harusnya lu mempersiapkan yang lu bisa. Misalnya bilang ke temen lu itu, lapor ke guru, atau mungkin mukulin gua bareng temen lu itu. tapi lu malah langsung ngancem gua, udah jelas kan?”
Depa berbalik dan lanjut pergi. Alis Arpa naik sedikit dan mulutnya terbuka, tapi dia langsung ketawa kecil. “Haha, keren juga dia,” kata Arpa sambil natap Depa.
Sedangkan Dipa, di kelas dia sering melirik Rinaya. Saat Dipa sedang menatap Rinaya, Rinaya sadar dan menatap Dipa. Dia melambaikan tangannya sambil tersenyum lebar ke arah Dipa.
Dipa langsung memalingkan mukanya. Tapi kali ini dia tidak gemetar. “Rinaya… dia hebat, dia udah temenan sama semua orang, sedangkan gua, gua bukan apa-apa,” pandangan Dipa menurun.
Tapi tiba-tiba ada yang menyentuh bahu Dipa. Dipa menengok, dan ternyata itu adalah Rinaya. Rinaya mengambil kursi dan duduk di depan Dipa.
Rinaya menatap Dipa. “Nama lu Dipa kan? Mau temenan?” Rinaya tersenyum sambil. Mengulurkan tangannya.
Mata Dipa membesar. Biasanya jika dia berada di dekat orang lain, dia akan merasa nggak nyaman, tapi kali ini, dia tenang, dan merasakan sesuatu yang… hangat.
Dipa mengulurkan tangannya dan menyentuh telapak tangan Rinaya dengan lembut. Dipa mengangguk pelan. “Ya… mau,” Mereka pun berjabat tangan.
Sedangkan Arpa, dia berdiri dan langsung menghampiri Depa. “Oi,” Arpa menyentuh bahu Depa.
Alis Depa mengkerut tipis. “Apaan lagi sih? Buset dah,” kata Depa.
Arpa menggaruk kepalanya sambil nyengir. “Haha, lu mau temenan nggak?” Arpa mengulurkan jabat tangan dua jarinya.
Depa memiringkan kepalanya. “Hah? Apaan nih?”
“emm… Singkatnya sih jari tengah dan telunjuk itu kayak dua orang yang saling berdekatan, dan itu jadi simbol dari pertemanan kita, hehe,” kata Arpa sambil nyengir.
Depa menghela napas pelan terus ngangguk. “Ya seterah deh,” mereka pun berjabat tangan dua jari.
Arpa ngerangkul Depa sambil ketawa kecil. “Hehe, sekarang kita temen, ayuk ke kelas.”
Tapi ternyata, ada Juan dan Rian yang sedang memperhatikan mereka sambil bersembunyi.
Alis Juan turun di tengah, matanya gelisah. Dia meremas jari-jarinya dan pandangannya ke bawah.
Rian ngelirik Juan, mulutnya terbuka sedikit tapi langsung senyum. Dia memegang bahu Juan. “Santai, Jun. Si Rap ga bakal ninggalin kita,” kata Rian.