Raska adalah siswa paling tampan sekaligus pangeran sekolah yang disukai banyak gadis. Tapi bagi Elvara, gadis gendut yang cuek dan hanya fokus belajar, Raska bukan siapa-siapa. Justru karena sikap Elvara itu, teman-teman Raska meledek bahwa “gelar pangeran sekolah” miliknya tidak berarti apa-apa jika masih ada satu siswi yang tidak mengaguminya. Raska terjebak taruhan: ia harus membuat Elvara jatuh hati.
Awalnya semua terasa hanya permainan, sampai perhatian Raska pada Elvara berubah menjadi nyata. Saat Elvara diledek sebagai “putri kodok”, Raska berdiri membelanya.
Namun di malam kelulusan, sebuah insiden yang dipicu adik tiri Raska mengubah segalanya. Raska dan Elvara kehilangan kendali, dan hubungan itu meninggalkan luka yang tidak pernah mereka inginkan.
Bagaimana hubungan mereka setelah malam itu?
Yuk, ikuti ceritanya! Happy reading! 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Sesal
Istirahat kedua
Di kantin, Elvara makan bersama murid lain. Tidak menyendiri, tapi juga tidak heboh ikut rumpi.
Makanannya? Banyak.
Porsinya? Dua kali lipat standar kantin. MBG plus bekal dari rumah.
MBG: Makan Banyak Gerak dikit.
Karena hidup ini berat, tapi piring tidak boleh kosong.
Vicky berdecak kagum. Mata membulat melihat porsi makan Elvara yang nggak manusiawi menurut standar kantin.
“Bro… itu cewek makan kayak nggak punya rasa berdosa ya?”
Asep langsung nyengir. “Lo mau bilang apa? Raska harus siap nyisihin uang jajan buat nge-feed dia tiap PDKT nanti.”
Gayus bersedekap, wajah serius tapi nada pasrah.
“Gue makin yakin, sebelum PDKT, yang harus dipersiapkan bukan kata-kata manis… tapi dompet tebal sama mental baja.”
Raska tidak menggubris ceng-cengan mereka. Tatapannya tetap terpaku pada Elvara.
Cewek itu makan dengan khusyuk, damai, dan tanpa memedulikan dunia. Seakan seluruh sekolah hanyalah latar belakang tak relevan bagi momen sakral antara dirinya dan makanan.
Asep mencondongkan tubuh. “Bro, gue tanya sekali lagi. Lo yakin?”
Raska menghela napas pendek, seperti baru saja menelan keputusan paling berat dalam hidupnya.
“…Diam, kalian. Gue lagi mikir.”
Tiga sahabatnya langsung saling pandang.
“Nyet,” bisik Vicky lirih, “itu bukan mikir. Itu antara cinta, depresi, atau salah pilih taruhan.”
Istirahat ketiga
Elvara duduk di bawah pohon pojok sekolah. Bukan buat tidur. Bukan buat nongkrong. Tapi buat belajar lagi. Fokus. Tenang. Mandiri. Tanpa drama.
Dan di belakangnya…
Raska, Asep, Gayus, Vicky berdiri seperti tim investigasi saling tumpuk di balik tembok.
Gayus berseru pelan namun frustrasi. “Bro… gue tanya sekali lagi. Ini PDKT atau operasi intelijen?”
Asep menambahkan, “Serius, lo kok makin mirip orang yang mau ngerampok warung ibunya.”
Vicky mengangkat jari, gaya ahli cinta. “Sudah! Udah bener ini. Observasi dulu. Baru nanti kita bikin trik pendekatan yang gak kelihatan dibuat-buat. Natural. Organik. Kayak sayur hidroponik.”
Asep geleng-geleng cepat. “Playboy katanya… tapi diputusin cewek seminggu sekali.”
PLETAAK.
"ADUH!" Asep mengaduh sambil memegangi kepala.
Vicky mendelik.
“Diam lo, manusia tidak laku!”
"Kepala gue masih dipakai, Nyet!" protes Asep.
Raska melotot. “Ssh.”
Mereka langsung tegap. Serius.
Raska menatap Elvara dari jauh.
Wajah datar cewek itu benar-benar… berbeda. Tidak terpengaruh siapa pun. Tidak peduli apapun.
Dan entah kenapa…
Itu justru membuat Raska ingin semakin mendekat.
Asep menatapnya lama. “Bro… lo sadar gak? Itu cewek cueknya level akhirat.”
Gayus menambahkan sambil geleng-geleng, “Gue takut lo jadi korban pertama di dunia… pangeran kampus ditolak cewek tanpa ekspresi.”
Vicky menghela napas panjang. “Tapi lo udah tanda tangan perjanjian. Udah gak bisa mundur.”
Raska akhirnya bersuara, pelan tapi tegas.
“Udah. Diam lo pada.”
Mereka langsung tutup mulut kompak, tapi wajahnya jelas berkata:
“INI MISI MUSTAHIL, BRO.”
Raska kembali menatap Elvara dari jauh.
Gadis itu sedang mengunyah keripik pedas sambil belajar fisika.
Tidak menyadari ada empat manusia di balik gedung yang sedang sibuk menyusun strategi hidup.
Raska mengepal tangan.
“Gue gak bakal kalah. Gue bisa,” gumamnya. “Gue pasti bisa bikin dia jatuh hati.”
Tiga sahabatnya saling pandang.
Lalu serempak menghela napas pelan.
“Tak tertolong…”
***
Raska menjatuhkan tubuhnya ke kasur, membiarkan punggungnya tenggelam dalam dinginnya sprei. Ia membuka galeri ponselnya. Sebuah foto lama muncul—dirinya kecil, tersenyum lebar di pangkuan ibunya. Hangat. Jernih. Jauh dari hidupnya sekarang.
“Ma… kenapa tega ninggalin aku cuma karena pelakor itu? Mama nggak sayang sama aku?” bisiknya lirih, hampir tak terdengar.
Suara bel mengoyak keheningan. Raska mengembuskan napas kasar, enggan bangkit, tapi akhirnya menyeret langkah menuju pintu.
Begitu pintu terbuka, Wijanata berdiri di sana. Rapi, membawa kantong belanjaan, dengan wajah yang selalu berusaha tampak tenang. Raska langsung memutar badan tanpa sepatah kata.
“Papa bawa daging sama sayur buat kamu,” ujar Nata sambil masuk, seolah tidak peduli dinginnya sikap putranya.
Tanpa menunggu tanggapan, ia berjalan ke dapur, membuka kulkas, dan menyusun belanjaannya. Gerakannya teratur… seperti seseorang yang bertahun-tahun mencoba menebus dosa dengan hal-hal kecil.
Selesai, Nata menghampiri Raska yang berdiri di depan dinding kaca, memandangi lanskap kota dengan kaleng minuman pereda panas dalam di tangannya.
“Papa sudah transfer uang bulananmu,” katanya pelan.
Raska tetap diam. Sama sekali tak berkedip.
“Ras… Papa berharap kamu pulang. Tinggal sama Papa lagi.”
Baru saat itu Raska menoleh. Tatapannya tajam, penuh luka yang tidak sembuh.
“Aku nggak bakal pulang sebelum pelakor itu sama anak haram Papa keluar dari rumah.”
Nata menahan napas. Dadanya naik turun, seperti tiap kalimat Raska adalah cambuk.
“Ras—”
“Kenapa?” Raska memotong, suaranya retak. “Nggak rela pisah dari selingkuhan Papa itu?”
Ada jeda panjang. Nata menatap putranya dengan mata penuh sesal, penuh beban bertahun-tahun.
“Nak… Papa mempertahankan dia bukan karena Papa cinta. Papa cuma… nggak mau ada wanita lain ngedeketin Papa. Kamu tahu Papamu ini siapa. Banyak yang ngincar. Dengan ada dia, nggak ada yang berani mendekat dan ngacauin hidup Papa.”
Suaranya merendah. “Di hati Papa… cuma Mamamu.”
Raska tertawa pendek. Tawa getir. Tawa orang yang sudah terlalu capek.
"Kalau Papa mencintai Mama... Papa gak akan meragukan Mama. Papa gak akan selalu nyalahin Mama. Papa gak akan pilih percaya orang asing daripada istri sendiri."
Nata mengangguk kecil. Perlahan, seolah setiap gerakan menyakitinya.
“Ya. Papa salah. Dan sampai mati pun… Papa nggak akan bisa nebus kesalahan itu.”
Raska menatap ayahnya satu detik lebih lama. Cukup lama untuk menunjukkan bahwa kalimat itu tidak ada artinya. Tidak cukup untuk mengembalikan apa pun, lalu berbalik dan masuk ke kamarnya. Pintu tidak dibanting, tapi ditutup pelan. Justru itu yang lebih menghantam.
Kenangan menyerbu Nata. Tawa istrinya, senyum kecil Raska, makan malam sederhana yang dulu terasa paling hangat di dunia. Semua itu buyar sejak wanita itu datang... wanita yang kini ia pertahankan hanya sebagai pagar agar tidak diserbu wanita-wanita lain.
Nata menjatuhkan tubuhnya ke sofa. Semua tatapan benci Raska seperti menumpuk di dadanya.
Kedua tangannya menutup wajahnya. Napasnya goyah.
“Maaf…” bisiknya pada udara yang tak menjawab.
“…maafin Papa," gumamnya, entah untuk siapa.
Untuk anaknya? Untuk istrinya?
Atau untuk dirinya sendiri yang bahkan tak tahu siapa yang ia lindungi dan siapa yang ia hancurkan
***
Koridor sekolah siang itu lengang.
Raska berjalan dengan satu tangan di saku, satu tangan memegang kertas tugas. Ekspresinya kayak habis ditampar kenyataan hidup setelah pembicaraan dengan ayahnya kemarin.
Asep dan Vicky mengikutinya di kanan-kiri seperti bodyguard kelas ekonomi, sementara Gayus mengikuti dari belakang sambil mengunyah roti tawar polos dengan aura pasrah hidup.
“Bro, udah udah, jangan manyun gitu. Cewek suka cowok cool tapi bukan cool depresi,” ujar Vicky menggoda.
“Gue gak manyun,” bantah Raska… dengan muka yang bahkan tiang listrik pun bisa baca kesedihannya.
Asep tiba-tiba menepuk bahu Raska dengan dramatis. “Ini saat yang tepat. Tuh, tuh, Elvara lewat! Gas!”
Elvara melintas dengan langkah santai, buku tebal di tangan, rambut dikuncir seadanya. Face-nya adem, aura cueknya bisa bikin es batu minder. Dia lewat beneran kayak Raska dan tiga sahabatnya itu cuma furniture sekolah.
Gayus menggumam sambil ngunyah, “Lo mau pake alasan apa buat deketin dia?”
Raska menarik napas. “Nanya materi.”
Asep menoleh tajam. “ALASAN KURANG GIZI, TAPI GASS!”
...🌸❤️🌸...
To be continued
Ayo Raska kamu semangat untuk sembuh,,dan Elvara tempat ternyamanmu🤣
Raska selama ini berarti berusaha sendiri mengatasi masalah traumanya dengan konsultasi ke dokter Wira.
Tanya jawab antara dokter Wira dengan Raska - kesimpulannya - trauma Raska belum pulih.
Ya betul itu pak Nata, Roy iri terhadap Raska. Kalah segala-galanya maka mau mencurangi kakak tirinya.
Raska...yang tahu sengaja atau tidak sengaja nabrak - ya Bella.
Elvara pribadi yang baik, tidak mau menuduh. Tapi yang pasti kamu sengaja di tabrak Bella - biar kamu jatuh ke dalam kolam. Bella mungkin tidak menyangka ketika nabrak kamu - dirinya mental - kecebur juga 😄.
Elvaraaaaaa...jujur amat 😂.
Tuh lihat reaksinya trio komentator 😂.
Raskaaaaa....jujur juga 😂👍🏻👍🏻.
Trio komentator langsung meledak ibaratnya sedang menyaksikan tanding sepak bola jagoannya tembus gawang 😄.
Raska kupingnya memanas - Elvara biasa...tanpa ekspresi bergumam - "Drama banget kalian." 😄.
Weeeeh Bella nguping.
Waduh masih ada lain kali - rencana jahat apa lagi Bella ??
Bella mimpimu cuma mimpi - mana ada jadi kenyataan - Raska tidak mungkin pilih kau.
Tiga temannya mengkhawatirkan kondisi Raska. Mereka bertiga peduli - kalimat yang keluar dari masing-masing cukup menghibur. Yang di rasa Raska ketegangan sedikit melonggar - menggeleng halus, bergumam lirih - "...kalian emang nyebelin." Ini bentuk ungkapan Raska yang "POSITIF," terhadap ke tiga temannya yang selalu ada untuknya.
( ***Ini Author mesti bikin cerita kelanjutan mereka berempat sampai masing-masing punya keluarga, pertemanan berlanjut 😄. )
Roy mimpinya ketinggian.
Elvara masih seperti biasa yang dilakukan ketika jam istirahat. Duduk di bawah pohon, membaca buku, sambil ngemil - kripik.
dan semoga si Roy selalu gagal dalam semua hal😄
Aku Sudah menduga, novel ini beda dari yang sebelumnya. Novel kali ini, selain memberikan pelajaram tentang ketulusan cinta, juga ada melibafkan Para medis juga.
Seperti Dokter Wira, Dokter Pesikiater Raska, Karen itu sangat mengguncang kejiwaan Raska, yang telah dia tanggung sejak usia 10 tahun. Untung saja Raska berusaha berobat, jika tidak, penyakitnya makin parah dan membuat tempramen Raska meningkat, yang bisa-bisa membuat dia tidak bisa tidur nyenyak, dan itu bisa mebuat dia menjadi emosional, bahkan mungkin bisa melempar barang-barang di Apartemen nya, jika sudah parah.
Mantap kak Nana... 🙏🙏🙏😁