Rabella membenci Alvaro, adik angkatnya!
Semua orang tau itu, tapi apa jadinya kalau Rabella malah jadi istri kedua Alvaro karena kecerobohannya sendiri? Setelahnya, Rabella harus menanggung nasib paling buruk yang tak pernah dia impikan!
Apa yang terjadi sebenarnya?
Yuk simak cerita ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon alnayra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kandang Buaya
Alvaro tak langsung menjawab pertanyaan Rabella barusan. Dia melirik ke arah beberapa office boy yang ada di sana.
Lalu mendekat ke arah Rabella dengan santainya.
"Eum, sebaiknya kita bicarakan ini di dalam ruangan saja ya, Kak Rabella."
Tapi, Rabella langsung menolak.
"Bicara aja di sini, gue nggak mau masuk ke ruangan lo!" serunya keras.
Tak peduli jika mereka berdua menjadi tontonan para office boy yang masih di sana karena panggilan dari Rabella tadi.
Alvaro kembali melirik ke beberapa office boy yang masih di sekitar mereka berdua. Menghela nafas sejenak, Alvaro akhirnya semakin mendekat ke arah Rabella.
Kali, pria itu tak memberikan jarak apapun untuk keduanya.
Membuat Rabella tersentak, terkejut dengan kelakuan Alvaro.
Juga mendekatkan wajahnya ke telinga Rabella. Satu sudut bibir pria itu terangkat, menampilkan seringai khas miliknya.
"Oh, ternyata aku baru tahu kalau Kak Rabella suka menjadi tontonan seperti ini di depan banyak orang. Maka dari itu, Kakak juga suka menonton apa yang aku lakukan dengan Mika semalam? Apa Kakak juga akan senang, kalau aku mencium kakak di sini dan jadi tontonan laki-laki lain?" Suaranya sangat pelan, ditambah lagi dengan posisi yang sangat dekat, suara Alvaro barusan sukses menggelitik daun telinga Rabella.
Belum lepas dari rasa terkejutnya, karena Alvaro memangkas jarak mereka. Rabella kembali dikejutkan dengan tuduhan Alvaro yang gila barusan, tubuhnya yang tadi sempat membeku, kini langsung merespon.
Mendorong keras Alvaro, hingga membuat pria tampan yang berstatus sebagai suaminya itu mundur beberapa langkah.
Rabella juga langsung memalingkan wajahnya dari Alvaro yang malah terkekeh atas tindakannya barusan.
Selesai merapikan jasnya, Alvaro kemudian kembali bertindak.
"Lepasin gue, si*alan!!" seru Rabella, kesal. Tiba-tiba sekali Alvaro menarik tangannya.
Tak peduli dengan penolakan Rabella, pria itu akhirnya tetap menarik tangan cantik Rabella dan membawanya masuk ke dalam ruangannya yang sudah terbuka lebar.
Tak lupa, sebelum benar-benar masuk, Alvaro juga memerintahkan para office boy yang masih plonga-plongo di depan ruangannya, untuk segera meninggalkan tempat ini.
Sekarang, di ruangan Alvaro. Hanya ada mereka berdua.
Cekalan tangan Alvaro akhirnya bisa lepas begitu pintu ruangan tertutup.
Alvaro berbalik menatap Rabella dengan ekspresi santai dan senyuman yang sangat menjengkelkan bagi Rabella.
"Gak usah nyentuh-nyentuh gue lagi, ya, anak sia*lan!" seru Rabella, memaki Alvaro.
Kemudian menyimpan tangannya dengan baik, agar tak lagi disentuh pria bajin*gan seperti Alvaro.
Tatapannya masih sama, tetap sengit pada Alvaro.
Berbeda dengan Alvaro, yang menatapnya penuh minat.
"Ayo duduk dulu, Kak. Supaya obrolan kita lebih nyaman," ajak Alvaro, dia yang lebih dulu duduk di sofa.
Tapi, Rabella hanya diam. Enggan menuruti ucapan Alvaro, karena dia tak mau berlama-lama di ruangan ini bersama dengan Alvaro.
Masih berusaha menjaga jarak dari pria yang sangat dibencinya ini.
Rabella tak ingin menurunkan kewaspadaannya, hanya karena Alvaro mau bertaruh dan memberikan tantangan untuk dirinya agar bisa naik ke posisi Direktur Utama milik Alvaro saat ini.
Alvaro akhirnya hanya memandangi Rabella saja, tak lagi meminta wanita itu duduk bersamanya.
"Yah, aku emang sengaja buat mindahin meja kerja Kak Rabella ke ruangan aku. Karena kan kemarin Kak Rabella udah setuju sama tantangan dari aku," jelas Alvaro akhirnya.
Membuat Rabella memutar bola matanya malas, kemudian berkacak pinggang di depan Alvaro.
"Terus apa hubungannya sama mindahin meja kerja gue, sia*lan!"
Kembali, Rabella menuntut penjelasan Alvaro yang lebih masuk akal. Rasanya, jika hanya dengan alasan itu saja, pria yang dibencinya ini melakukan hal seperti ini, masih tidak masuk akal.
Alvaro masih tersenyum, masih santai. Seolah dia menikmati, setiap omelan yang diberikan Rabella padanya.
"Tentu ada hubungannya, Kak. Tidak lama lagi kan, ruangan ini akan jadi milik Kak Rabella. Jadi, Kakak harus beradaptasi. Lalu, karena Kak Rabella mau bersaing sama aku, jadi bukannya lebih baik kita kerja dalam satu ruangan seperti ini ya? Supaya Kak Rabella bisa melihat bagaimana cara aku bekerja, supaya kak Rabella bisa bersaing denganku dengan leluasa. Aku juga bisa tenang, kalau ngelihat kak Rabella ada didekat ku. Jadi, kita sama-sama diuntungkan, kan?"
Hah? Apa kata Alvaro barusan? Konyol.
Hanya itu kata yang terlintas di otak Rabella saat ini.
Alvaro benar-benar konyol bagi Rabella. Alasan barusan masih belum masuk akal, malah Rabella semakin curiga pada pria itu.
Mengingat bagaimana ucapan Alvaro beberapa waktu lalu, di mana pria itu mengingatkan Rabella soal kejadian kemarin malam, ketika dirinya tidak sengaja memergoki Alvaro dan Mika yang sedang bercumbu. Lalu, soal ciuman yang akan dilakukan di depan banyak orang tadi.
Rabella yakin, kalau otak pria itu masih tidak waras. Rabella tak mau satu ruangan dengan Alvaro, yang punya otak mes*um.
Satu ruangan dengan Alvaro, sama saja dengan satu kandang bersama buaya yang bisa menyerang kapan saja. Rabella enggan memikirkan kondisi terburuk itu, tapi dia memang harus waspada pada Alvaro bukan?
Menerima tantangan pria itu, bukan berarti Rabella percaya pada Alvaro. Karena Rabella yakin, otak mes*um Alvaro tidak akan berubah hanya karena mereka sedang bersaing mendapatkan posisi Direktur Utama perusahaan ini.
"Gak perlu satu ruangan, gue juga bisa ngalahin lo kali. Gak ada gunanya juga gue satu ruangan sama lo, mending gue ngemper di depan sana daripada harus satu ruangan sama lo."
Tak mau terus dianggap remeh oleh Alvaro, yang merupakan saingannya.
Rabella berkata demikian, dengan wajah angkuh.
Sedangkan Alvaro masih mempertahankan senyumnya, meskipun pada akhirnya pandangan pria itu teralihkan. Tidak lagi menatap Rabella.
"Ya, terserah Kak Rabella aja. Tapi, meja yang udah dipindah itu, tidak bisa dibawa keluar lagi. Kasihan Pak Parjo sama yang lain, pekerjaan mereka udah berat, kalau harus mindahin meja itu lagi, yang ada mereka jadi capek tapi gaji mereka tidak bertambah," balas Alvaro tanpa melirik ke arah Rabella. Seolah dia benar-benar tidak peduli jika Rabella akan keluar dari ruangan ini sekarang.
Rabella tak habis pikir dengan ucapan Alvaro barusan, rasanya dia ingin tertawa keras sekarang.
Kasihan? Alvaro merasa kasihan pada Pak Parjo dan office boy lainnya karena memindahkan meja? Hah, yang benar saja!
Jika pria itu benar-benar kasihan pada para office boy itu, lalu kenapa Alvaro harus melakukan hal yang membuat mereka kecapekan dengan memindahkan meja kerja miliknya, tanpa sepengetahuannya?!
'Ya terus kenapa lo nyuruh mindahin meja kerja gue ke dalam ruangan ini, Bajin*gan??!'
Itulah yang ada di otak Rabella saat ini. Rasanya Rabella ingin melempar sesuatu yang keras ke kepala pria yang duduk santai tanpa rasa bersalah di depannya ini. Agar pria itu sadar, kalau tingkahnya benar-benar konyol!