Follow IG 👉 Salsabilagresya
Follow FB 👉 Gresya Salsabila
"Aku tidak bisa meninggalkan dia, tapi aku juga tidak mau berpisah denganmu. Aku mencintai kalian, aku ingin kita bertiga hidup bersama. Kau dan dia menjadi istriku."
Maurena Alexandra dihadapkan pada kenyataan pahit, suami yang sangat dicintai berkhianat dan menawarkan poligami. Lebih parahnya lagi, wanita yang akan menjadi madu adalah sahabatnya sendiri—Elsabila Zaqia.
Akan tetapi, Mauren bukan wanita lemah yang tunduk dengan cinta. Daripada poligami, dia lebih memilih membuang suami. Dia juga berjanji akan membuat dua pengkhianat itu merasakan sakit yang berkali lipat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tawaran Poligami
Mauren meringis sakit karena cengkeraman Jeevan makin lama makin menguat. Namun, dia tetap. bersikeras membela diri. Menurutnya, Jeevan-lah yang paling salah dalam perselingkuhan itu.
"Sebelum kita menikah, kamu sudah tahu apa impianku. Aku hanya minta sedikit waktu untuk mengejar itu, tapi kamu tidak sabaran. Padahal, dulu kamu selalu berjanji untuk selalu mendukung karierku," ucap Mauren. Kali ini, suaranya tidak setinggi tadi.
"Aku sudah mengerti kamu dan mendukung kariermu, tapi sampai dua tahun menikah kamu belum juga mau punya anak. Sampai kapan aku harus menunggu? Kamu mengabaikan aku, Mauren!" Suara Jeevan tetap berintonasi tinggi.
"Abai seperti apa yang kamu maksud, Mas? Di sela-sela kesibukan, aku masih menyempatkan diri melayani kamu. Keuangan kita, sumbernya juga dari Victory. Bahkan, tak jarang aku juga mengisi rekeningmu dengan gajiku sebagai model. Apa seperti itu yang kamu anggap abai?" Mauren bicara tegas.
"Selalu harta yang kamu ungkit. Kamu___"
"Terserah kamu, Mas. Jika menurutmu yang salah memang aku, oke. Aku nggak akan kasih penjelasan apa pun lagi. Kita cerai," pungkas Mauren.
Jeevan terpaku mendengar ucapan istrinya, sampai-sampai tak sadar jika genggamannya dilepaskan dan Mauren melangkah menjauh.
Mauren duduk di sofa sambil menunduk. Dia menyembunyikan tangis yang tak bisa dibendung lagi. Melihat istrinya menangis, hati Jeevan perlahan melunak. Jauh di lubuk hatinya, rasa cinta untuk Mauren masih tersemat rapi, meski sekarang sudah terbagi.
Dengan langkah pelan, Jeevan mendekati Mauren. Memeluknya dengan erat sembari mengusap lembut lengannya yang mulus.
"Maafkan aku, Sayang," bisik Jeevan.
"Kamu tahu dia sahabatku, Mas. Hubungan kami sangat dekat, bahkan seperti saudara. Kenapa kamu selingkuh dengannya?" ucap Mauren di sela-sela tangisnya.
"Maafkan aku, Sayang. Aku mengaku salah, sudah melukaimu sedalam ini. Maafkan aku." Jeevan terus mengucap kata maaf. Namun, entah tulus entah tidak, hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Setelah cukup lama larut dalam tangis, Mauren mengurai pelukan dan menatap suaminya dengan lekat.
"Mas!" panggil Mauren.
"Iya, Sayang. Jangan menangis lagi, ya. Maafin aku udah menyakiti kamu." Jeevan menjawab sambil mengusap air mata Mauren dengan kedua jemari.
"Aku bisa maafin kamu, Mas. Tapi, dengan satu syarat," ujar Mauren.
Meski dalam hati menahan sakit dan kecewa, tetapi tak dipungkiri rasa cinta untuk Jeevan masih jelas ada. Mauren akan berusaha memaafkan dan menganggap semua itu sekadar kekhilafan, asalkan Jeevan bersedia memenuhi syarat yang ia ajukan.
"Syarat apa, Sayang?" Jeevan mulai waswas.
"Tinggalkan Elsa!"
Jeevan langsung menegakkan duduknya ketika mendengar jawaban Mauren. Lantas, dia mengusap wajahnya dengan kasar. Syarat yang diajukan Mauren bukan hanya sulit, melainkan hampir mustahil untuk dilakukan. Dia sangat mencintai Elsa, mana bisa meninggalkannya begitu saja.
"Kamu bersedia kan, Mas?" tanya Mauren setelah cukup lama Jeevan terdiam.
Jeevan menarik napas panjang, lalu membalas tatapan Mauren.
"Maaf, Sayang. Kalau syaratmu itu ... aku nggak bisa."
Tatapan Mauren yang semula sendu, kini berubah nyalang.
"Aku mencintai dia," sambung Jeevan.
Amarah Mauren kembali membuncah mendengar pengakuan Jeevan yang sangat terang-terangan.
"Lalu apa artinya kata maafmu barusan, Mas?" bentak Mauren. "Tega kamu, Mas! Benar-benar tega!"
"Sayang, aku___"
"Cukup!" Mauren bangkit dan menepis tangan Jeevan yang hendak memegangnya. "Kita cerai," sambungnya.
"Sayang, jangan begini. Aku nggak mau pernikahan kita kandas. Aku mencintai kamu." Jeevan turut bangkit dan berdiri di depan Mauren.
"Aku nggak butuh cinta yang hanya di mulut saja! Udah ya, Mas, kita cerai!" bentak Mauren.
"Sayang, jangan! Kumohon." Jeevan menatap sendu. "Aku nggak mau pisah dari kamu," sambungnya.
"Kalau begitu tinggalkan Elsa!"
"Aku juga nggak bisa," jawab Jeevan dengan kepala yang menunduk.
"Terus maumu apa, hah?" Mauren berteriak sambil mendorong tubuh Jeevan.
Jeevan terhuyung dan hampir terjatuh. Namun, dia tidak marah apalagi melawan, justru menatap Mauren dengan lekat.
"Aku nggak bisa meninggalkan Elsa, tapi aku juga nggak mau pisah denganmu. Aku mencintai kalian. Aku ingin kita bertiga hidup bersama. Kamu dan dia menjadi istriku," ucap Jeevan. Ekspresi dan nada suaranya mengalir santai, seolah keinginannya bukan sesuatu yang menyakitkan.
Kali ini, tanggapan Mauren bukan hanya bentakan atau makian, melainkan dua kali tamparan keras.
"Sayang___"
"Tanpa aku, kamu bukan siapa-siapa, Mas. Berani sekali menginginkan poligami. Terus apa yang akan kamu gunakan untuk menafkahi jalangmu? Hartaku? Heh, ironis sekali," pungkas Mauren.
"Selama ini aku juga bekerja, Sayang. Tanpa aku, Victory tidak akan berkembang. Jadi, anggap saja aku kerja ke kamu. Nanti, uang gajiku yang akan kugunakan untuk menafkahi Elsa. Dengan begitu, aku nggak minta hartamu."
"Tanpa kamu, aku masih bisa mencari orang lain untuk memegang Victory. Masih banyak orang-orang kepercayaan Papa yang sanggup melakukan itu. Tapi kamu ... tanpa aku, kerjaan apa yang bisa kamu lakukan?" Mauren menatap suaminya dengan sinis.
"Kamu jangan merendahkan kemampuanku, Sayang. Meski tidak di Victory, aku juga bisa menjabat direktur di perusahaan lain. Aku___"
"Tapi, aku tidak sudi! Tidak ada kata poligami dalam hidupku, Mas. Aku tidak mau menjadikan Elsa atau wanita lain sebagai madu. Aku tidak rela berbagi burungmu yang kecil itu dengan orang lain," potong Mauren dengan berapi-api.
"Sayang, jangan dilihat dari sisi buruknya saja. Ambil juga sisi positifnya. Kalau kamu punya madu, kamu masih bisa merintis karier sampai kapanpun yang kamu mau. Aku akan selalu mendukungmu. Sementara untuk anak, aku bisa menitipkannya pada rahim lain. Nanti, kita akan bersama-sama menjadi orang tua, tanpa mengganggu keriermu," terang Jeevan dengan penuh percaya diri, seakan-akan solusi yang ditawarkan adalah hal indah.
"Kamu sudah sinting, Mas. Kamu pikir lelaki di dunia ini hanya kamu? Asal kamu tahu, Mas, di luar sana masih banyak lelaki yang jauh lebih tampan dan lebih kaya dari kamu. Mudah bagiku mendapatkan penggantimu. Jadi, untuk apa aku bertahan dengan segala kelakuan brengsekmu?"
"Kita saling cinta, Sayang."
"Yang kupunya bukan hanya cinta, Mas, tapi juga logika. Aku bukan orang bodoh yang mau diinjak-injak hanya karena cinta." Mauren berbalik dan membelakangi Jeevan. "Keluar, Mas!" sambungnya.
"Nggak, Sayang. Kita harus membicarakan ini."
"Keluar!" bentak Mauren.
"Sayang."
"Aku atau kamu yang keluar!" sahut Mauren tanpa berbalik.
"Baik, aku akan keluar. Tapi, aku tidak akan pernah menceraikan kamu, Sayang. Aku sangat mencintaimu." Usai bicara, Jeevan melangkah keluar dan meninggalkan Elsa yang masih larut dalam emosi.
Sepeninggalan Jeevan, Mauren duduk di tepi ranjang. Dia menatap datar sambil memegangi dadanya yang sesak. Jeevan, Elsa, dua orang yang sangat dipercaya ternyata menusuk dari belakang. Sungguh kejam!
"Papa sangat bangga dengan apa yang kamu cita-citakan. Tapi, akan lebih baik jika kamu juga terjun ke dunia bisnis. Kamu satu-satunya anak Papa, kelak kamu yang akan mengurus Victory."
Mauren menangis ketika mengingat nasihat almarhum ayahnya—Giorgino Alexander. Pria itu sangat mengharap peran Mauren dalam bisnisnya. Namun, Mauren terlalu mencintai fashion dan modelling. Dia jarang ikut andil dalam urusan Victory. Setelah menikah, dia malah mempercayakan perusahaan itu kepada suaminya.
"Andai aku mendengar nasihat Papa dan mau mengurus Victory, mungkin Mas Jeevan nggak akan melakukan ini," sesal Mauren.
Setelah cukup lama menangis dan menyalahkan kebodohan di masa lalu, Mauren kembali menggunakan logika. Dia menyusun rencana untuk membalas perbuatan Jeevan dan Elsa.
"Masih belum terlambat untuk melakukannya. Kalian berani bersikap kejam, maka kalian juga berhak melihat sisi kejamku." Mauren mengusap air matanya sambil tersenyum miring.
Bersambung...
Suka dg karakter nya karin /Joyful//Kiss/
Suami begitu buang aj ke sampah 🤪😂