Han Qiu, seorang penggemar berat street food, tewas akibat keracunan dan bertransmigrasi ke dalam tubuh Xiao Lu, pelayan dapur di era Dinasti Song. Ia terkejut mendapati Dapur Kekaisaran dikuasai oleh Chef Gao yang tiran, yang memaksakan filosofi 'kemurnian'—makanan hambar dan steril yang membuat Kaisar muda menderita anoreksia. Bertekad bertahan hidup dan memicu perubahan, Han Qiu diam-diam memasak hidangan jalanan seperti nasi goreng dan sate. Ia membentuk aliansi dengan Kasim Li dan koki tua Zhang, memulai revolusi rasa dari bawah tanah. Konfliknya dengan Chef Gao memuncak dalam tuduhan keracunan dan duel kuliner akbar, di mana Han Qiu tidak hanya memenangkan hati Kaisar tetapi juga mengungkap kejahatan Gao. Setelah berhasil merestorasi cita rasa di istana, ia kembali ke dunia modern dengan misi baru: memperjuangkan street food yang lezat sekaligus higienis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bahan Baku Terlarang
Suara itu, setenang permukaan air dan setajam pecahan porselen, menikam udara di belakangnya. Han Qiu membeku, jarinya yang memegang serpihan kerak yang berharga itu berhenti hanya seutas napas dari bibirnya. Jantungnya yang tadinya berdebar karena penemuan kecil itu kini terasa seperti sebongkah es di rongga dadanya.
Ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa pemilik suara itu. Hanya ada satu orang di istana ini yang keheningannya lebih mengancam daripada teriakan seribu mandor. Chef Gao.
Dengan gerakan yang terasa lambat seperti dalam mimpi buruk, Han Qiu menarik kembali tangannya. Ia tidak berani menoleh. Ia hanya menundukkan kepalanya lebih dalam, membiarkan poninya yang tipis menutupi matanya, dan berharap lantai pualam di bawahnya bisa menelannya utuh.
Serpihan kerak itu masih tergenggam di antara ibu jari dan telunjuknya, terasa panas seperti arang yang membara, sebuah bukti kejahatan yang tak terbantahkan.
"Aku bertanya padamu, Xiao Lu," ulang Chef Gao, suaranya tidak meninggi sedikit pun, tetapi setiap suku katanya terasa seperti tetesan air es di tengkuk Han Qiu.
"Apa yang hendak kau masukkan ke dalam mulutmu?"
Langkah-langkah senyap mendekat. Bayangan jubah putih bersih Chef Gao kini jatuh di atas tubuh Han Qiu yang berlutut, menelannya dalam aura dingin yang mencekik. Otak Han Qiu berputar panik, mencari jalan keluar dari labirin kematian ini.
Mengaku? Itu sama saja dengan menandatangani surat hukuman mati. Berbohong? Kebohongan apa yang cukup sempurna untuk menipu mata elang wanita ini?
Insting Han Qiu dari dunia modern, yang terasah oleh ribuan episode drama dan novel transmigrasi, mengambil alih. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mengangkat serpihan kerak itu, bukan ke arah mulutnya, melainkan ke arah cahaya. Ia memicingkan matanya, seolah sedang melakukan inspeksi paling teliti di dunia.
"Hamba mohon ampun, Chef Gao," bisiknya, suaranya serak karena ketakutan, tetapi ia memaksakan nada ketulusan di dalamnya.
"Hamba tidak hendak memakannya. Hamba hanya... hamba hanya terkejut. Panci porselen semahal ini, yang digunakan untuk menyajikan hidangan Yang Mulia, ternyata masih menyisakan noda. Noda yang sangat keras. Hamba khawatir jika ini tidak dibersihkan dengan benar, ini akan mengotori bubur berikutnya."
Ia menunduk, menyodorkan serpihan kecil itu di telapak tangannya sebagai barang bukti. Sebuah manuver yang brilian sekaligus sangat berbahaya. Ia mengubah tindakan pemberontakan rasa menjadi sebuah demonstrasi kesetiaan pada ideologi kemurnian Chef Gao.
Chef Gao terdiam.
Keheningan yang menyusul terasa lebih berat dari seribu tahun. Han Qiu bisa merasakan tatapan analitis itu membedah setiap gerak-geriknya, setiap getaran dalam suaranya. Lalu, wanita itu mengulurkan tangannya yang bersarung tangan putih. Dengan ujung jarinya, ia mengambil serpihan kerak itu dari telapak tangan Han Qiu, mengangkatnya, dan memeriksanya di bawah cahaya.
"Kerak," desisnya, kata itu diucapkan dengan nada jijik yang sama seperti saat ia menyebut kata 'rambut' beberapa hari yang lalu.
"Produk sampingan dari panas yang barbar dan tidak terkendali. Bukti dari kegagalan." Ia menjentikkan serpihan itu ke lantai, menginjaknya hingga menjadi debu.
"Kau benar. Ini adalah kontaminasi. Tapi ini juga merupakan gejala dari penyakit yang lebih besar."
Chef Gao berbalik, tatapannya kini menyapu seluruh dapur kecil itu, lalu melayang keluar menuju dapur utama.
"INSPEKSI!"
Satu kata itu meledak tanpa peringatan, memecah keheningan pagi yang teratur. Di dapur utama, suara itu memicu kepanikan yang senyap dan terkoordinasi. Para pelayan yang tadinya bergerak seperti boneka kayu yang anggun kini berubah menjadi sekawanan tikus yang sarangnya diobrak-abrik.
Tidak ada teriakan, hanya desis napas tertahan dan derap langkah kaki yang tergesa-gesa.
Han Qiu, yang masih berlutut dengan lutut lemas, menyaksikan sebuah tarian rahasia yang mengerikan sekaligus menakjubkan. Seorang koki tua dengan sigap membuka papan lantai yang longgar dan memasukkan sebuah guci kecil berisi minyak babi yang mengeras—lemak babi, sumber rasa gurih paling jujur dan paling terlarang.
Pelayan lain buru-buru menyembunyikan beberapa ikat cabai kering dan segenggam lada Sichuan di balik tumpukan kayu bakar yang rapi. Bungkusan-bungkusan kecil berisi jahe dan bawang putih yang seharusnya sudah dibuang, kini diselipkan di celah-celah dinding.
Ini adalah opera penyelundupan, sebuah gerakan penyembunyian yang dipentaskan dalam hitungan detik.
Di tengah kekacauan yang terkendali itu, pikiran Han Qiu justru menjadi jernih laksana kristal. Matanya bergerak cepat, bukan karena panik, melainkan karena sedang melakukan inventarisasi. Ia mencatat semuanya dalam benaknya. Lemak babi untuk menumis. Lada Sichuan untuk sensasi ma-la yang menggigit. Cabai kering untuk tendangan pedas yang membangunkan jiwa.
Jahe dan bawang putih, fondasi dari hampir semua hidangan lezat di muka bumi.
Ini bukan sekadar bahan-bahan terlarang. Ini adalah senjata nya. Ini adalah amunisi untuk revolusi yang akan ia mulai.
Chef Gao melangkah di antara meja-meja, matanya memindai setiap permukaan, setiap sudut, mencari jejak pengkhianatan. Ia berhenti di dekat area pemotongan daging. Di sana, seorang koki muda baru saja selesai memisahkan lemak dari sepotong daging pinggang babi, sesuai protokol.
Tumpukan lemak putih bersih yang baru dipotong itu tergeletak di atas nampan kayu, menunggu untuk dibuang ke tempat sampah.
"Sampah ini," ujar Chef Gao, menunjuk gundukan lemak itu dengan dagunya.
"Mengandung kenajisan dan kelemahan. Buang ke lubang kompos di belakang kandang kuda. Pastikan tidak ada sisa minyaknya yang menetes di lantai dapur."
Mandor dapur segera membungkuk.
"Baik, Chef Gao! Akan segera hamba laksanakan!" Ia menoleh dan matanya yang galak tertuju pada Han Qiu, yang baru saja bangkit dengan susah payah.
"Kau! Xiao Lu! Kau yang mulai. Bawa nampan itu dan buang isinya. Cepat!"
Han Qiu menelan ludah.
Ini adalah sebuah ujian sekaligus kesempatan. Ia berjalan ke arah nampan itu, jantungnya berdebar kencang. Gundukan lemak itu berkilauan di bawah cahaya remang, memancarkan janji rasa yang begitu kaya.
Di dunianya, ini akan diolah menjadi minyak babi yang harum atau kulit babi yang renyah. Di sini, ini adalah sampah.
Ia mengangkat nampan kayu yang terasa berat itu. Saat ia berjalan melewati barisan pelayan yang menunduk, ia bisa merasakan puluhan pasang mata mengawasinya, dan sepasang mata paling tajam milik Chef Gao menusuk punggungnya.
Setiap langkahnya terasa seperti berjalan di atas tali.
Di pintu belakang, ia berhenti sejenak, membelakangi dapur. Tangannya bergerak cepat. Dengan jari-jarinya yang cekatan, ia mengambil sepotong kecil lemak yang paling bersih dan padat, ukurannya tidak lebih besar dari telapak tangannya. Ia menyelipkannya ke dalam lipatan kain di pinggangnya, merasakan sensasi dingin dan sedikit licin menempel di kulitnya melalui lapisan kain tipis.
Itu adalah sensasi paling nyata dan paling hidup yang ia rasakan sejak ia tiba di neraka steril ini.
Ia melanjutkan perjalanannya ke lubang kompos, membuang sisa lemak dengan suara debuman yang memuakkan, lalu kembali ke dapur dengan nampan kosong dan wajah tanpa ekspresi.
Chef Gao masih di sana, menginspeksi tumpukan sayuran. Wanita itu melirik sekilas ke arah Han Qiu, matanya menyipit, seolah bisa mencium aroma dosa yang tersembunyi. Tapi Han Qiu menundukkan kepalanya, menyembunyikan debaran kemenangan di dadanya. Babak pertama dimenangkan.
Inspeksi itu akhirnya berakhir. Chef Gao pergi tanpa sepatah kata pun, meninggalkan kelegaan yang begitu pekat di udara hingga nyaris bisa dirasakan. Para pelayan menghela napas, bahu mereka merosot. Kehidupan kembali normal, atau senormal mungkin di tempat ini.
Han Qiu ditugaskan untuk merapikan gudang penyimpanan beras. Ruangan itu kering dan sedikit berdebu, dipenuhi karung-karung goni berisi beras kualitas terbaik. Saat ia menyusun ulang karung-karung itu, tangannya menyentuh sesuatu yang berbeda di sudut paling belakang, tersembunyi di balik tumpukan karung baru.
Itu adalah sebuah kantong kain yang lebih kecil dan lebih usang. Penasaran, ia membukanya. Di dalamnya, ada beras. Bukan beras putih bersih dan berkilauan seperti yang lain. Beras ini warnanya sedikit kusam, dan ketika ia meraupnya dengan telapak tangan, ia bisa merasakan butirannya. Kering. Sedikit lebih keras.
Kelembabannya telah menguap sebagian, meninggalkan setiap butir terpisah sempurna satu sama lain.
Ini adalah beras sisa, mungkin dari panen sebelumnya, yang terlupakan. Bagi Chef Gao, ini adalah beras inferior yang gagal memenuhi standar.
Tetapi bagi Han Qiu, seorang dewi nasi goreng, ini adalah emas.
Matanya berbinar.
Ia bisa membayangkan butiran-butiran ini menari-nari di atas wajan panas, dilapisi telur dan lemak babi yang baru saja ia selamatkan, melompat-lompat riang tanpa lengket satu sama lain.
Ia bisa mendengar suara tek-tek spatula yang menghantam wajan, bisa mencium aroma gosong yang menggelitik perut.
Ini bukan sekadar beras tua.
Ini adalah kanvas yang sempurna. Sebuah janji. Dengan lemak babi di pinggangnya dan sekantong beras ini di tangannya, revolusi bukan lagi sekadar angan-angan. Ia sudah memiliki semua yang ia butuhkan.
Bibirnya menyunggingkan senyum tipis untuk pertama kalinya. Nasi goreng perdananya akan segera lahir di jantung tirani ini.
Di sudut gelap gudang yang pengap itu, Han Qiu mendekap kantong beras itu erat-erat. Ia mengangkat segenggam butiran kering itu ke dekat wajahnya, merasakan teksturnya yang kasar di pipinya, dan sebuah bisikan penuh semangat meletup di dalam benaknya, sebuah proklamasi yang akan mengubah segalanya.
Sempurna... untuk digoreng.