Dibuang Suami Dan Dinikahi Boss

Rasa kantuk luar biasa membuat Daniza tak sadar memejamkan matanya ketika baru menyentuh kasur. Tak terasa sudah hampir satu jam ia tertidur, sampai sebuah suara motor keras dari arah luar membuatnya terkejut dan langsung membuka mata.

Daniza bangun dan merentangkan tangan ke atas demi mengurai rasa kantuk.

"Kenapa aku merasa ada orang yang masuk tadi?" gumam Daniza seraya mengedarkan pandangannya ke segala penjuru. Tak ada apa-apa, hanya suasana hening yang tercipta di ruangan berukuran 3 x 3 meter persegi itu.

"Mungkin hanya mimpi." Mengabaikan segala prasangka buruk, ia tersenyum ketika mendengar bunyi tabuhan dari perut. Daniza mengelus perutnya penuh kasih sayang. Perut yang akhir-akhir ini sering minta diisi dan suka memberontak jika tidak segera diberi makan.

"Ya ampun, aku lupa belum makan."

Wanita itu bergegas turun dari tempat tidur. Ia berjalan ke arah meja kecil yang terletak di sudut ruang kamarnya. Ia lalu menyantap makanan dan minuman yang sempat dibeli sebelum pulang ke rumah tadi. Hanya makanan sederhana, berupa Thai thea dan corndog yang ia beli di dekat gang tempatnya tinggal.

Tidak ada masalah dengan rasa makanan itu. Daniza menghabiskan semuanya tanpa sisa.

Selepas makan, Daniza berjalan keluar kamar. Ia baru sadar tadi tidak mengunci pintu depan.

"Kenapa aku sampai lupa mengunci pintu? Untung tidak ada yang hilang." Ia melirik tas miliknya yang ada di meja depan. Isinya pun masih utuh, termasuk ponsel dan dompet.

Daniza terduduk sambil meraba perut yang masih rata. Memikirkan beberapa bulan ini dirinya sering tertekan dan Daniza takut akan menganggu perkembangan janin dalam kandungannya.

"Hai, Sayang. Maaf ya, kita harus hidup seperti ini untuk sementara. Semoga nanti saat kamu lahir, kehidupan kita lebih baik."

Awalnya semua baik-baik saja. Daniza tidak merasakan gejala apapun selepas menyantap makanan di meja. Ia juga sempat mencuci pakaian dan kembali ke kamar setelahnya.

Namun, saat menjelang tidur, Daniza mendadak merasa perutnya agak mulas.

"Kenapa perutku jadi sakit begini?"

Ia pun langsung bangun karena mengira itu adalah sakit perut biasa. Daniza berniat pergi ke kamar mandi untuk menuntaskan hajatnya, tetapi baru saja keluar dari pintu kamar, Daniza tiba-tiba terjatuh karena rasa sakit pada perutnya semakin menjadi.

"Arghh!" Daniza menjerit. Merasakan ada dorongan dari dalam perutnya.

Wanita itu sangat panik saat sesuatu yang pekat mengalir dari pangkal pahanya. Ia pun mencoba meraba bagian segitiga itu dengan tangan gemetar.

"Darah?" Ekspresi Daniza tak dapat digambarkan lagi saat ini. Panik, takut, kalut, semuanya bercampur menjadi satu.

"Bagaimana ini?" Daniza merasa nyawanya seperti di ujung tanduk. Sekujur tubuhnya lemas. Ia tak ada daya lagi bahkan untuk sekadar berdiri.

Dengan tubuh yang setengah dipaksakan untuk tetap kuat, Daniza mencoba merangkak tertatih-tatih menuju nakas—tempat di mana ponselnya berada.

Revan adalah satu-satunya orang yang terpikir saat ini, sebagai penanam benih yang sedang tumbuh di rahimnya. Namun, setelah beberapa kali mencoba, Revan tak kunjung menjawab panggilan.

Daniza terduduk di lantai dengan cairan bening yang mengalir di kedua sisi pipinya. Entah harus berbuat apa sekarang.

"Tolong jawab, Mas!" Lirih Daniza ketika kembali mencoba menghubungi Revan.

"Argh!" Daniza menjerit lagi. Cairan merah itu terasa terus mengalir dari bagian bawah tubuhnya.

Dalam keputusasaan, Daniza teringat kepada Alvin. Ia sempat menyimpan nomor laki-laki itu. Alvin seperti menjadi harapan satu-satunya untuk Daniza sekarang. Mungkin saja Alvin mau menolongnya.

Kak, Alvin! Tolong aku! lirih Daniza, menunggu Alvin menjawab panggilannya.

Sementara di rumah, Alvin sedang duduk di ruang televisi bersama Mama. Seperti biasa, ia akan menemani mama menonton acara televisi kesukaannya.

Alvin hampir terlonjak saat melihat nama yang tertera pada layar. "Kesayangan" adalah nama yang ia sematkan untuk Daniza.

"Daniza? Tumben mau telepon duluan?" gumamnya, tetapi masih dapat terdengar di telinga sang mama.

Tak ingin kehilangan momen langka dalam hidupnya, Alvin segera menggeser simbol hijau. Senyum di wajahnya begitu ceria.

"Hai Daniz, tumben kamu hubungi aku duluan? Kangen, ya?"

Di balik punggung Alvin, Mama Elvira mendengkus sebal.

"Dasar ganjen kamu, Vin!"

*****