NovelToon NovelToon
ACADEMY ANIMERS

ACADEMY ANIMERS

Status: tamat
Genre:Akademi Sihir / Fantasi Isekai / Anime / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Reinkarnasi / Tamat
Popularitas:203
Nilai: 5
Nama Author: IΠD

👑 Academy Animers, sekolah elit untuk pelajar berkekuatan unik dan bermasalah mental, dijaga Kristal Kehidupan di Crown City. Dipimpin Royal Indra Aragoto, akademi berubah jadi arena Battle Royale brutal karena ambisi dan penyimpangan mental. Indra dan idealis (Akihisa, Miku, Evelia) berjuang mengembalikan misi akademi. Di lima kota inti, di bawah Araya Yamada, ketamakan dan penyalahgunaan kekuatan Kristal merusak moral. Obsesi kekuatan mendorong mereka menuju kehancuran tak terhindarkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Farewell

Indra dan Shiera tinggal di rumah Araya yang tersembunyi di perbukitan yang jauh dari reruntuhan Kerajaan. Rumah itu kecil, hangat, dan terlindungi oleh sihir Higanbana yang padat. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, mereka merasakan kedamaian.

Araya merawat mereka dengan penuh perhatian. Ia memprioritaskan penyembuhan Indra dari kelelahan Arch Guardian dan trauma mendalam. Araya memasak makanan sederhana namun bergizi, membalut luka, dan memastikan Shiera cukup istirahat setelah menggunakan kekuatan kristalnya secara berlebihan.

"Makanlah, Indra," kata Araya, menyodorkan semangkuk sup hangat kepada Indra yang masih terlihat pucat.

"Terima kasih, Kak Araya," balas Indra, mencoba tersenyum.

Meskipun merawat mereka, Araya tidak bisa diam. Araya juga melakukan patroli sendirian setiap malam. Ia menggunakan Higanbana Effect-nya untuk menyusuri perbatasan Kerajaan yang hancur, untuk memeriksa apakah ada yang selamat atau ada iblis yang masih berkeliaran. Setiap malam, ia kembali dengan tangan kosong, hanya membawa laporan yang semakin suram.

Suatu sore, saat Araya sedang menyiapkan makan malam, Indra dan Shiera mencoba mencari tahu kondisi dunia luar.

Dan ketika menghidupkan radio dan TV, sama sekali tidak ada sinyal. Hanya ada suara statis. Tidak ada berita, tidak ada stasiun, tidak ada siaran darurat.

Membuat Indra berpikir jika Dunia ini sudah dibersihkan oleh Lucius dan Amon. Ketakutan itu mencengkeramnya.

"Shiera, kau dengar itu? Tidak ada apa-apa," kata Indra, mematikan TV. "Semua orang... semua peradaban... apakah mereka semua musnah? Apakah hanya kita yang tersisa?"

Shiera terlihat cemas. "Aku... aku tidak tahu, Indra-sama. Tidak mungkin seluruh dunia musnah, kan?"

Araya muncul dari dapur, memegang pisau dapur. Namun Araya hanya terdiam dan berpikir setelah mendengar kesimpulan Indra. Matanya yang tunggal menyipit, menganalisis situasi, yang terasa terlalu aneh.

"Tidak ada sinyal, ya?" tanya Araya, nadanya datar. "Bukan berarti dunia musnah. Bisa berarti... hanya kita yang terputus."

Araya tidak melanjutkan. Ia meletakkan pisau itu. Lalu meninggalkan Shiera dan Indra di ruang tamu dan pergi ke ruangan pribadinya.

"Aku akan mengecek sesuatu," kata Araya singkat, menutup pintu kamarnya dengan pelan, meninggalkan Indra dan Shiera dalam kebingungan dan keheningan yang mencekam.

.

.

.

.

.

Di balik pintu tertutup kamar pribadinya, Araya duduk di lantai, bersandar pada dinding. Ia memejamkan mata, memfokuskan pikirannya untuk berkomunikasi dengan inti kekuatannya.

...

...

Araya berbicara dengan Arch Guardian Bloody Queennya dengan tenang. Suaranya lembut namun penuh otoritas, mencerminkan kontrol totalnya atas dirinya, bahkan terhadap entitas purba.

"Yamada," panggil Araya melalui pikiran.

Suara Bloody Queen bernama Yamada, yang juga merupakan leluhur pertama Araya, pendiri klan Yamada, beresonansi dalam benaknya. Suara itu kuno, mengalir seperti sungai darah. "Araya. Kekacauan itu telah usai. Kau bertarung dengan baik."

"Terima kasih. Sekarang fokus," balas Araya, walau Bloody Queen dikenal kuno seusia Kitsune Namitha, Araya tidak tunduk sekalipun. Ia menghormati, tetapi ia memimpin. "Aku mengkhawatirkan radio dan televisi. Tidak ada sinyal sama sekali. Aku sudah memeriksa, Kerajaan kita adalah puing, dan aku tidak menemukan satu pun tanda kehidupan manusia di luar batas kota."

Mendapatkan informasi jika semua umat manusia dimusnahkan oleh Lucius dan Amon, sebuah pemikiran yang mengerikan, terlintas di benak Araya. "Apakah mungkin mereka berhasil, Yamada? Apakah mereka membersihkan seluruh dunia saat kita bertarung di sini?"

"Tidak, Araya, itu mustahil. Kekuatan mereka tidak mencapai ke sana. Jika umat manusia musnah, seluruh dimensi akan runtuh. Ada sesuatu yang lain," jawab Yamada.

"Namun, hanya ada satu entitas superior di atas dunia ini yang bisa menjawab semua hal itu," lanjut Yamada. "Sebuah entitas yang menjaga batas-batas eksistensi. Entitas yang disebut Bahamut."

Warna suara Yamada, sang Bloody Queen, tiba-tiba berubah, menunjukkan ketakutan. "Aku tidak tahu wujud aslinya. Aku hanya mendengar namanya saja sudah merinding. Kami para Arch Guardian kuno menghindarinya. Ia terlalu besar, terlalu kuat."

"Bahamut?" ulang Araya.

"Ya. Bahamut hanya satu entitas yang menjaga semesta ini dan semesta lainnya. Jika ada kekacauan yang melintasi dimensi dan menghapus jejak, itu adalah campur tangan darinya. Mungkin dunia di luar Kerajaan kalian... telah dipindahkan."

Araya terdiam, menyerap informasi yang luar biasa itu. Sebuah entitas yang memindahkan seluruh dunia. Rencana mereka akan jauh lebih rumit dari sekadar membangun kembali Kerajaan.

.

.

.

.

Araya tidak terkejut dengan informasi tentang Bahamut; ia hanya menghitung. Ia perlu tahu batas-batas kekuatan yang kini ada di sisinya.

"Yamada," kata Araya, nadanya kini lebih fokus. "Kitsune Namitha dan Arch Guardian yang ada di dalam tubuh Indra... apakah mereka juga takut terhadap Bahamut?"

Yamada menjawabnya dengan jujur. "Tentu saja, Araya. Mereka mungkin tidak menunjukkan rasa takut secara terang-terangan karena status mereka di dimensi ini, tetapi di hadapan Bahamut, kami semua hanyalah debu. Kekuatan kami berasal dari alam, tetapi Bahamut adalah pengatur alam. Kami semua akan tunduk jika bertemu dengannya."

Araya menerima informasi itu tanpa emosi. Rasa hormat yang ekstrem dari Arch Guardian purba terhadap entitas lain adalah peringatan yang cukup.

"Baiklah. Selanjutnya," lanjut Araya. "Jika Bahamut adalah entitas yang mengatur semesta... apa ada kemungkinan Bahamut bisa memindahkan orang dari universe berbeda ke sini, atau memindahkan kita ke universe lain?"

Yamada menjawabnya dengan jujur lagi. "Bahamut memiliki kekuatan untuk menata ulang realitas. Memindahkan entitas antar universe adalah hal yang relatif mudah baginya, seperti memindahkan papan catur. Sangat mungkin dia memindahkan kita, atau yang lebih buruk, menukar dunia kita dengan dunia lain yang sudah "dibersihkan" oleh Iblis, atau membiarkan kita berada di sini sendirian, terisolasi."

Wajah Araya, meskipun di balik perban, menunjukkan kerutan samar. Ia melihat kondisi Indra dan Shiera, dan jenazah yang mereka tinggalkan. Ia telah berjanji untuk melindungi mereka.

Araya berpikir untuk memindahkan Indra dan Shiera ke Universe yang damai. Tempat di mana tidak ada lagi Guardian, Royal, atau Iblis.

"Aku akan memindahkan mereka. Ke tempat yang damai. Tempat yang baru," kata Araya, tekadnya bulat.

Namun, Bloody Queen Yamada segera menyela. "Kau gila, Araya. Kau tahu konsekuensinya. Kekuatanmu cukup untuk menukar satu universe dengan yang lain, tetapi kau harus mengorbankan semua yang kau cintai dan semua yang tersisa dari chi Kerajaan ini."

Yamada bertanya apakah Araya yakin. "Kau harus mengorbankan Crystal of Life. Kau harus mengorbankan sisa chi Royal yang tersisa di Indra. Kau harus mengorbankan dirimu. Apakah kau yakin, Arch Guardian?"

Araya tersenyum tipis, sebuah senyum lelah namun penuh pengorbanan. "Aku sudah kehilangan segalanya, Yamada. Hidupku adalah harga yang murah untuk kebahagiaan mereka."

.

.

.

Araya mengakhiri renungannya. Ia berjalan ke jendela kecil kamarnya, menyingkap tirai tebal. Cahaya bulan bersinar terang, menerangi perban di matanya dan bekas luka di pipinya. Araya tersenyum lembut memandang bulan yang indah dari jendela.

"Aku akan melakukannya, Yamada," kata Araya, suaranya kini melunak. "Aku akan mengorbankan diriku. Kristal Kehidupan, chi Indra, semuanya. Aku tidak akan membiarkan mereka hidup dalam dunia yang dingin dan mati ini, dikelilingi oleh makam keluarga mereka. Mereka pantas mendapatkan awal yang baru."

Sambil mengatakan semua kejujurannya kepada Yamada, ia menjelaskan motivasi terdalamnya. "Aku tidak bisa melindungi Bunda Amanda, Nina, Nuita. Tapi aku bisa menyelamatkan yang tersisa. Ini adalah penebusan dosaku. Biarkan aku menjadi 'Bayangan' yang sebenarnya, menghilang untuk selamanya, membawa Kerajaan ini pergi."

Yamada terdiam, merenungkan kesetiaan Araya yang ekstrem. "Aku mengerti, Arch Guardianku. Pengorbananmu mulia, dan aku bangga dengan keturunan ini. Tetapi..."

Yamada memberikan nasehat sebaiknya diskusikan kepada Indra dan Shiera. "Kau harus jujur kepada mereka, Araya. Mereka adalah yang tersisa dari Kerajaanmu. Mereka adalah keluargamu. Mereka telah melewati neraka bersamamu. Jangan membuat keputusan besar ini sendiri. Bicaralah dengan Indra. Bicaralah dengan gadis kristal itu. Mereka berhak tahu."

Araya menghela napas panjang, menatap bayangannya di kaca jendela. "Kau benar, Yamada. Aku sudah terlalu lama bersembunyi di balik rencana. Saatnya menjadi jujur."

Araya berbalik, meninggalkan jendela dan kegelapan di luar.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Keesokan harinya, suasana di rumah rahasia Araya terasa berat dan sunyi. Indra dan Shiera sedang sarapan, tetapi hanya menyentuh makanan mereka. Araya mulai mengatakan kejujurannya kepada Indra dan Shiera, duduk di depan mereka di meja kayu sederhana.

"Aku tidak bisa lagi menyembunyikan ini," Araya memulai, suaranya tenang. "Dunia di luar sana, Kerajaan kita... dan mungkin seluruh dunia manusia... telah diisolasi. Sama sekali tidak ada sinyal karena kita berada di 'gelembung' yang dibuat oleh entitas yang jauh lebih kuat dari Lucius."

Araya mengatakan semua rahasianya-tentang Bahamut, tentang Arch Guardian yang seumuran dengan Namitha, dan tentang fakta bahwa ia dan Indra adalah yang terakhir dari garis keturunan murni yang membawa kekuatan penuh Kerajaan.

Indra dan Shiera terdiam hanya mendengarkan. Mata mereka terpaku pada Araya, menyerap setiap kata yang diucapkan. Mereka telah melalui begitu banyak hal sehingga kenyataan absurd tentang entitas superior dan gelembung dimensi tidak lagi mengejutkan, tetapi menakutkan.

Setelah Araya selesai menjelaskan, suasana menjadi canggung. Hanya ada suara angin di luar.

Indra akhirnya berbicara, suaranya pelan. "Jadi... kita sendirian? Semua pengorbanan itu... hanya untuk melindungi kita di sini?"

"Pengorbanan itu untuk mengalahkan Iblis di Kerajaan kita, dan itu berhasil," koreksi Araya. "Sekarang, kita harus memastikan pengorbanan mereka memiliki makna abadi."

Araya menatap Indra. "Aku punya rencana untuk memindahkan kalian berdua. Ke Universe lain, ke dunia yang baru."

Araya menegaskan jika Universe lainnya yang Indra dan Shiera tuju kemungkinan tidak jauh berbeda dari sihir dan monster. "Dunia baru itu mungkin memiliki tantangan, monster, atau sihir yang berbeda. Tapi aku yakin kalian berdua bisa mengatasi hal tersebut."

Araya mencondongkan tubuhnya ke depan. "Kalian berdua adalah yang terkuat, yang selamat. Aku percaya pada kekuatan kalian."

Kemudian, Araya sampai pada bagian yang paling sulit. Dan mengatakan ia akan mengorbankan diri dan Crystal of Life.

"Aku akan menggunakan chi dan esensi Higanbanaku, yang digabungkan dengan energi Crystal of Life, untuk membuka portal dimensi. Ini adalah pengorbanan terakhir dari Kerajaan ini. Setelah portal terbuka, aku dan Kristal akan lenyap. Tapi kalian akan aman."

Araya menoleh ke Indra. "Kuncinya ada padamu, Indra. Heavy Railgun yang kau buat, yang diresapi Royal Magic dan Kitsune... adalah kunci untuk membuka portal dimensi. Kau harus menggunakannya pada saat yang tepat."

.

.

.

.

Indra mendengarkan seluruh rencana Araya tentang pengorbanan diri dan perpindahan dimensi. Wajahnya yang tegar, yang baru saja pulih dari duka, kini kembali terukir kepedihan yang mendalam.

Indra memandang Araya dengan tatapan bergelenang air mata. Ia menggelengkan kepala perlahan.

"Tidak, Kak Araya," bisik Indra, suaranya tercekat. "Tidak. Kenapa harus berpisah lagi? Kenapa selalu harus ada perpisahan?"

Indra mencengkeram tepi meja. "Aku kini hanya memiliki Araya dan Shiera. Semua orang... semua orang sudah pergi. Kau adalah keluarga terakhirku. Aku tidak mau kehilanganmu lagi."

Namun Araya menegaskannya dengan tenang seperti biasa. Ia meraih tangan Indra, meskipun ia sendiri merasakan pedih.

"Itulah tugas seorang Arch Guardian, Indra. Menjadi Bayangan yang menghilang untuk melindungi cahaya," ujar Araya. "Aku sudah membuat keputusan ini. Aku adalah kakak sepupumu. Aku adalah Arch Guardian yang ditakdirkan untuk mengakhiri Kerajaan ini agar kalian bisa memulai yang baru."

"Aku tidak ingin awal yang baru tanpamu!" seru Indra, air matanya menetes.

"Kau harus mau. Kau adalah Raja, Indra. Kau harus hidup. Kau dan Shiera harus membawa warisan kita. Aku akan memastikan kalian hidup damai, jauh dari semua kegelapan ini."

Shiera hanya terdiam menahan tangisnya. Air mata menggenang di matanya, tetapi ia mengerti beratnya tanggung jawab yang diemban Araya. Ia mencengkeram tangan Indra di bawah meja, diam-diam memberikan dukungan.

Araya memandang keduanya. "Perpisahan ini adalah jalan menuju keselamatan, bukan menuju duka. Percayalah pada Bayangan-mu. Aku tidak akan pernah salah dalam perhitungan."

.

.

.

.

.

Indra membiarkan air matanya mengalir. Ia memandang Araya, berusaha mencari alasan logis yang bisa membenarkan pengorbanan Araya.

"Aku kehilangan Ayah dan Ibuku sebelum ini semua dimulai," ucap Indra, suaranya dipenuhi kepedihan yang terpendam. "Lalu Riana, Natsuya, Agito, dan Raina... mereka semua pergi. Aku kehilangan Bibi Amanda-yang selalu mengajariku sihir. Aku kehilangan Kakak Nuita-dia memberiku waktu."

Indra menatap Shiera sejenak, lalu kembali ke Araya. "Aku kehilangan Kizana dan Nina yang sedang menanti anak. Aku kehilangan Akihisa dan Miku yang paling setia. Dan aku kehilangan Liini-adik kecil yang paling kusayangi."

Napas Indra tercekat, dan rasa sakit yang paling dalam muncul di suaranya. "Dan terakhir... Evelia... dia melakukan hal yang sama sepertimu. Dia pergi agar aku bisa hidup."

Indra menjatuhkan kepalanya, bahunya bergetar. "Aku sudah tidak kuat lagi, Araya. Aku tidak punya siapa-siapa lagi untuk kusematkan harapan. Aku tidak mau sendirian. Kenapa kau tidak biarkan saja aku mati bersama mereka? Kenapa kau harus pergi juga?"

Araya hanya mendengarkan dengan tenang. Ia membiarkan Indra meluapkan semua duka dan rasa sakit yang ia tahan sejak awal pertempuran. Araya mengerti bahwa kata-kata tidak akan bisa menyembuhkan luka Indra, hanya tindakan yang bisa.

Setelah keheningan menyelimuti ruangan, Araya menyentuh pipi Indra dengan lembut.

"Justru karena kau kehilangan mereka semua, kau harus hidup," kata Araya, matanya penuh kasih sayang seorang kakak. "Mereka semua berkorban untuk Arch Guardian yang sekarang kau pegang. Mereka semua ingin kau hidup. Aku akan membuat perpisahan ini yang terakhir. Tidak akan ada lagi yang bisa menyakitimu di universe yang baru. Aku berjanji."

.

.

.

.

Indra tidak bisa menghentikan air matanya. Meskipun Arch Guardian dan Namitha telah memberinya kekuatan luar biasa, ia tetaplah seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang telah menyaksikan seluruh dunianya hancur.

"Aku takut, Araya," akuinya, suaranya kini seperti anak kecil yang hilang. "Aku takut harus hidup tanpa mereka. Aku takut menjadi Raja di universe yang tidak kuketahui. Aku tidak mau sendirian..."

Indra masih melanjutkan semua kesedihannya, membiarkan Arch Guardiannya, Namithanya, dan jiwanya yang hancur, menumpahkan segala emosi. Ia membicarakan tentang janji masa depannya dengan Evelia, tentang rencana liburan dengan Nina dan Kizana, tentang pertandingan sihir yang seharusnya ia hadapi bersama Nuita dan Akihisa. Semua impian itu kini hanya tersisa di benaknya.

Semua emosinya keluar dihadapan Araya, tanpa ada lagi usaha untuk bersikap tegar sebagai seorang Raja.

Araya membiarkannya menangis, memeluknya erat-erat seperti seorang kakak. Ia tahu pelepasan emosi ini penting.

Melihat adegan pilu itu, dan mendengar setiap nama yang disebutkan Indra, Shiera beranjak. Ia tahu ia tidak bisa membantu di sana, dan ia tidak ingin menambah beban duka Indra.

"Aku... aku akan mengambil napas sebentar," bisik Shiera, suaranya bergetar.

Shiera pergi ke kamarnya, dan saat pintu tertutup, ia merosot ke lantai. Di sana, sendirian, ia menangis diam-diam, meratapi hilangnya Liini, guru-gurunya, dan kini, prospek kehilangan Araya, satu-satunya sosok yang memberinya arahan.

.

.

.

Araya merasakan beban tubuh Indra yang bergetar karena tangisan. Ia menahan tangisan Indra, membiarkan Arch Guardian Royal itu mengeluarkan sisa-sisa dukanya. Araya beranjak dari duduknya, berdiri di samping Indra.

Lalu memeluk Indra yang menangis tanpa suara. Pelukan itu kuat, hangat, dan dipenuhi oleh chi Higanbana yang menenangkan. Araya membiarkan Indra memeluknya erat, menumpahkan semua rasa sakit dan rasa bersalah karena menjadi yang selamat.

...

...

"Kenapa aku harus hidup? Kenapa bukan aku saja yang mati, Araya?" isak Indra, sambil terus mengutarakan semua yang ia rasakan sekarang. "Aku Raja yang gagal! Aku seharusnya melindungi mereka! Aku seharusnya mati bersama Evelia!"

"Kau bukan Raja yang gagal," bisik Araya, mencium puncak kepala Indra. "Kau adalah yang terkuat, Indra. Kau adalah yang terpilih. Itu sebabnya kau selamat. Tugas kita bukan mati, tapi membawa warisan mereka ke tempat yang aman."

Araya mengencangkan pelukannya. "Menangislah sepuasmu. Setelah ini, tidak ada lagi air mata. Kau harus menjadi Raja yang baru. Di universe yang baru."

Di sisi lain, Shiera menangis juga di kamarnya. Ia meredam suaranya dengan bantal, tidak ingin menambah beban Araya dan Indra.

...

...

Ia menangis untuk Liini, untuk Sensei yang gugur, dan untuk Araya yang akan ia lihat pergi.

"Aku akan kuat, Liini-san," bisik Shiera di antara isakannya. "Aku akan menjadi Guardian yang kuat. Aku akan menjaga Indra-sama. Aku janji."

Setelah beberapa saat, Araya melepaskan pelukan Indra. Indra terlihat kelelahan, tetapi matanya kini menunjukkan ketenangan yang pahit.

.

.

.

.

.

.

..

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Malam telah larut di rumah rahasia Araya. Setelah semua tangisan dan pengakuan, suasana kembali sunyi, diselimuti oleh aura sihir Higanbana yang melindungi.

...

...

Di kamar Shiera, ia berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kayu yang gelap. Ia tidak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi gambaran perpisahan yang akan segera terjadi, dan wajah-wajah yang hilang.

Shiera bergumam sembari berbaring. Ia memejamkan mata, berbicara dalam bisikan, seolah-olah ia tidak sendirian. Seolah berbicara dengan Liini.

"Liini-san," bisik Shiera pelan. "Aku tahu kau mendengarku. Aku selalu tahu. Kau adalah yang terbaik dalam hal mendengarkan..."

"Aku takut, Liini-san," Shiera melanjutkan, air mata kembali menggenang. "Semua orang akan pergi. Aku akan kehilangan Sensei... Aku akan kehilangan Kak Araya."

Shiera memeluk bantalnya erat-erat. "Aku tidak tahu bagaimana menjadi kuat sepertimu. Aku hanya Guardian kristal. Kau selalu berani, bahkan saat kau menggunakan Railgun besar itu. Aku berharap aku bisa menjadi sepertimu, menjaga Indra-sama..."

Ia tersenyum getir. "Kau selalu bilang aku harus 'bersinar' untuk Indra-sama. Tapi bagaimana aku bisa bersinar, kalau semua cahaya di sekitar kita sudah padam? Aku hanya punya satu cara untuk bersinar sekarang, dan itu adalah dengan melindungi dia, seperti yang kau lakukan."

"Aku janji, Liini. Di universe yang baru nanti, aku akan melindunginya, dan aku akan membuat orang-orang tahu tentang Royal Liini Jisuya, Guardian yang paling berani dan yang paling setia."

Shiera menarik napas dalam, membiarkan kehangatan batin dari kenangan Liini memberinya sedikit kekuatan. Selama ini Liini selalu mendengarkannya, dan Shiera merasa seolah chi sahabatnya itu ada di sana, mengangguk setuju.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Di sisi lain, saat di kamar Indra, ia duduk bersandar di tempat tidurnya, matanya terpejam. Ia berkomunikasi secara internal dengan dua entitas purba yang kini bersemayam di jiwanya: Namitha dan Arch Guardian pribadinya, yang kini dikenal sebagai Royale.

...

...

Perbincangan itu terasa akrab dan menenangkan. Namitha memiliki kepribadian yang lembut seperti Evelia, dan suaranya beresonansi dengan nada kasih sayang istrinya. Royale memiliki kepribadian seperti Indra ketika dewasa dan tenang, memberikan kebijaksanaan yang sangat dibutuhkan.

"Nak," suara Royale bergaung, tenang dan mantap, nada bicaranya adalah nada yang selalu ingin ditiru Indra. "Jangan biarkan kesedihan memakanmu. Arch Guardianmu dan Kitsune-mu ada di sini. Kau tidak sendirian."

"Royale," bisik Indra dalam hati. "Aku takut. Aku tidak mau Kak Araya pergi. Kenapa aku harus melakukan ini lagi?"

Suara Namitha menyelimuti Indra dengan kehangatan. "Sayangku, Araya melakukan ini karena cinta. Sama seperti Evelia mencintaimu, Nak. Kami berdua ada di sini karena cinta. Tujuanmu adalah hidup."

"Tapi dia adalah orang terakhirku," balas Indra, air mata mengalir di bawah kelopak matanya.

"Dia adalah Bayangan-mu, Nak," kata Royale. "Tugas Bayangan adalah menghilang agar cahayanya bersinar. Kau adalah Cahaya itu. Dia memberimu awal yang baru, hadiah yang tak ternilai harganya. Kau harus menerimanya, untuk dia dan untuk kami."

"Aku tidak tahu bagaimana menjadi Raja tanpa dia. Tanpa kalian berdua," gumam Indra.

"Kau sudah tahu, Sayang," Namitha menyela dengan kelembutan yang menyentuh. "Evelia telah memberimu segalanya. Cinta. Kekuatan. Dan Kitsune ini. Kau hanya perlu mendengarkan hatimu. Aku dan Royale akan selalu membimbingmu. Kami adalah keluargamu, dan kami tidak akan pernah pergi."

Royale mengakhiri percakapan itu dengan tegas. "Kami bangga padamu, Arch Guardian. Sekarang, beristirahatlah. Besok, kau harus menjadi Raja yang baru. Kita akan melakukannya bersama-sama. Selalu bersama."

Indra akhirnya mengangguk dalam batinnya. Ketenangan Evelia, yang kini terwujud dalam Namitha, dan kebijaksanaan dirinya di masa depan, yang terwujud dalam Royale, telah memberikan kekuatan terakhir yang ia butuhkan.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Waktu berlalu dalam keheningan yang tersisa dari Kerajaan yang hancur. Selama beberapa bulan, Indra dan Shiera telah memulihkan kekuatan dan mental mereka, dibimbing oleh Araya dan disembuhkan oleh Namitha dan Royale. Kini, saatnya tiba.

Beberapa bulan kemudian, matahari pagi menyinari reruntuhan Akademi Sakura. Araya menunggu kedatangan Indra dan Shiera. Ia tidak menunggu di rumah rahasia; ia menunggu di titik pengorbanan terakhir.

...

...

Ia berdiri di menara Akademi Sakura yang sudah hancur, satu-satunya struktur yang masih tegak, meskipun separuhnya runtuh. Angin pagi menyapu rambut merahnya. Ia menatap matahari terbit, pemandangan yang dingin dan indah, menyembunyikan rencana besarnya.

"Araya, mereka datang," suara Yamada berbisik di benaknya.

"Aku tahu," jawab Araya.

"Kau tidak perlu bersikap dingin, Anakku. Aku tahu kau sedih,"lanjut Yamada menebak Araya sebenarnya sedih. "Kau akan kehilangan Royal terakhirmu. Kau akan menghapus keberadaanmu. Ini adalah kesedihan yang tak tertandingi, namun kau sangat kuat."

Araya menghela napas, tatapannya tetap terpaku pada cakrawala. Araya menjawabnya dengan tenang.

"Tentu saja aku sedih, Leluhur," jawab Araya. "Aku adalah manusia. Mereka adalah keluargaku. Tapi aku juga seorang Arch Guardian. Tugasku tidak pernah untuk bahagia. Tugasku adalah memastikan bahwa mereka yang kucintai memiliki kesempatan untuk bahagia, bahkan jika itu berarti aku harus menjadi ketiadaan."

Araya tersenyum tipis. "Ini adalah janji yang kubuat kepada diriku sendiri. Dan Arch Guardian selalu menepati janji. Aku sudah siap. Aku tidak akan membiarkan mereka melihat air mataku."

Dari kejauhan, Araya melihat dua sosok muncul, Indra dan Shiera, bersiap untuk langkah terakhir mereka.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Araya turun dari menara, menyambut Indra dan Shiera. Ia tidak membuang waktu untuk emosi.

Tanpa basa basi, Araya memimpin jalan diikuti Indra dan Shiera. Langkahnya tegas menuju sisa-sisa bangunan Akademi.

Kini status Guru dan Murid tidak ada. Mereka adalah tiga jiwa yang tersisa dari sebuah Kerajaan, terikat oleh duka dan cinta. Shiera menganggap Indra dan Araya sebagai kakaknya, dan Araya dan Indra menganggap Shiera sebagai adik mereka yang harus dilindungi.

Mereka tiba di ruangan Crystal of Life yang makamnya kini tertutup rapat. Setibanya di ruangan sakral Crystal of Life, Araya membuka sebuah ruangan rahasia yang tersembunyi di balik dinding batu mulia. Cahaya keemasan yang luar biasa terang memancar keluar. Di sana Crystal of Life sebenarnya-jantung dari semua chi Kerajaan, sebuah permata raksasa yang berdenyut dengan energi kehidupan.

Araya berdiri di depan Kristal, wajahnya siap menghadapi takdirnya. Araya merapalkan suatu mantra, bukan mantra sihir, melainkan Arch Guardian kuno, memanggil chi terbesarnya, Higanbana. Energi merah darah mulai berputar di sekeliling Kristal.

Hingga akhirnya Indra membuka obrolan, memecah keheningan yang mencekam.

"Araya," panggil Indra, suaranya tenang. "Di universe baru nanti... apakah aku bisa menjadi orang biasa saja? Maksudku, bukan menjadi Raja."

Pertanyaan itu mencerminkan beban yang telah ia pikul.

Araya hanya terdiam sibuk mengatur persiapan, tangan dan matanya fokus pada energi yang berputar. Namun, beberapa saat kemudian, ia menjawab dengan lembut.

"Tentu saja bisa, Indra," jawab Araya tersenyum tipis. "Gunakan kekuatanmu untuk kebahagiaanmu sendiri, Adik. Bukan untuk kewajiban. Hiduplah sesuka hatimu. Kau pantas mendapatkannya."

Mendengar kata-kata itu, Shiera maju selangkah. Shiera mulai mengutarakan semua rasa terima kasihnya kepada Araya dan Indra selama ini.

"Aku... Aku ingin berterima kasih, Kak Araya, Indra-sama," ucap Shiera, air matanya mulai menggenang. "Jika bukan karena waktu itu Indra dan Evelia menyelamatkanku dari Iblis di kota, mungkin aku sudah tiada."

Shiera menatap Araya dengan penuh kasih. "Dan terima kasih, Kak Araya, karena telah mengajarkanku. Terima kasih karena telah menjadi keluarga."

Araya hanya tersenyum sambil mempersiapkan semuanya. Energi Higanbananya kini menyelimuti Kristal.

"Tidak ada yang perlu berterima kasih, Shiera," kata Araya, nadanya hangat. "Kalian adalah keluarga. Sekarang, bersiaplah. Waktunya sudah tiba."

.

.

.

.

.

.

.

Kini saatnya tiba. Energi Higanbana Araya telah mencapai puncaknya, menyelimuti Crystal of Life dengan lapisan merah darah yang berdenyut.

Indra mensummon Heavy Railgunnya, senjata dimensi yang kini diresapi Arch Guardian Royal-Kitsune. Dengan bimbingan Araya, Indra mendekati Crystal of Life yang besar.

"Di sana, Indra," bisik Araya, menunjuk celah kecil di dasar Kristal.

Indra mengangguk. Ia memasukkannya ke dalam sebuah lubang yang bentuknya mirip dengan ujung Heavy Railgunnya. Heavy Railgun itu berfungsi sebagai kunci dan konduktor energi terakhir.

Ketika senjata itu terpasang, Crystal of Life bercahaya terang, sinarnya begitu intens hingga memenuhi seluruh ruangan, menembus dinding, dan memancar ke langit. Energi yang dilepaskan sangat besar.

Di depan Kristal, ruang itu sendiri mulai melengkung, dan membuka suatu portal-cahaya spiral multi-warna yang berputar-putar, tampak seperti galaksi yang terbuka di hadapan mereka.

Indra melepaskan Heavy Railgun-nya (yang kini terikat pada Kristal) dan berbalik.

Indra memandang Araya yang tersenyum seperti biasa, senyum lembut dan penuh pengorbanan yang sama persis seperti yang ia lihat pada Evelia. Kali ini, Indra tidak mencoba menjadi kuat.

Ia melesat, namun Indra kembali menangis memeluknya dengan erat. "Aku mencintaimu, Kak Araya," bisik Indra, isakannya tertahan. "Aku tidak akan pernah melupakanmu. Aku janji."

Araya membalas pelukan itu sekuat tenaga. "Aku juga mencintaimu, Indra."

Shiera juga menangis memeluk Araya dan Indra. Ia menempelkan wajahnya ke punggung Araya. "Selamat tinggal, Sensei Araya!"

...

...

Araya terkekeh santai di tengah pelukan emosional itu. Ia tahu ini adalah perpisahan terakhir. Sambil mengelus kepala mereka berdua.

"Astaga, kalian ini cengeng sekali," ujar Araya, suaranya tenang. "Sekarang, pergilah. Hidup bahagia. Dan Indra, jangan jadi Raja. Jadilah kucing es yang bahagia. Shiera, jaga dia."

Araya mendorong mereka pelan menuju portal. "Lari! Sekarang!"

Indra dan Shiera melangkah maju menuju cahaya spiral itu, air mata masih mengalir, membawa warisan seluruh Kerajaan di hati mereka.

.

.

.

.

.

.

.

Araya tersenyum, bukan senyum sinis atau dingin, tetapi senyum yang sangat lembut dan tulus yang belum pernah dilihat Indra sepanjang hidupnya. Itu adalah senyum terakhirnya.

"Indra! Shiera! Satu hal lagi!" seru Araya, suaranya dipenuhi kasih sayang.

"Jangan pernah tertipu oleh Araya versi diriku di sana. Dan kuharap Araya versi di sana... bisa menjadi kakak yang lebih baik bagi kalian."

...

...

Indra yang sedikit terkejut tidak sempat bereaksi terhadap pengakuan mendalam Araya, karena sudah menghilang bersama Shiera ke dalam cahaya spiral dimensi. Portal itu menutup di belakang mereka, memutus segala ikatan dengan universe yang hancur ini.

Cahaya Crystal of Life bersinar terang untuk sesaat, melepaskan energi terakhirnya untuk memindahkan dua jiwa itu. Araya berdiri sendirian, menyaksikannya dengan tenang.

Ia melihat seketika Heavy Railgun Indra menghilang mengikuti sang pemilik. Setelah energi terakhir dikeluarkan, Crystal of Life sekarang perlahan pudar, berubah menjadi debu kristal yang berkilauan, dan akhirnya menghilang. Jantung Kerajaan telah berkorban.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Araya menoleh, membiarkan dirinya berada dalam keheningan yang total.

"Baiklah, kita sendirian, Yamada," bisik Araya melalui pikiran.

Araya bergumam dengan Yamada. "Sekarang dunia kosong. Tidak ada Iblis, tidak ada manusia. Aku ingin melakukan sesuatu. Aku akan menanam bunga di semua reruntuhan ini."

Yamada terkekeh mengatakan Araya masih seperti anak kecil. "Kau masih seorang anak kecil, Araya. Menggunakan kekuatan Arch Guardian untuk berkebun? Itu baru dirimu."

"Tepat sekali," balas Araya, senyumnya kini kembali nakal. "Jadi, Yamada, kalau begitu jadilah ibuku selagi ada waktu. Jadilah Bunda pengganti selama beberapa menit terakhir ini. Aku selalu penasaran rasanya punya Arch Guardian yang memelukku."

Yamada terkekeh, suaranya kuno namun penuh kehangatan. "Aku tidak yakin Amanda akan senang melihatku menggantikan posisinya. Dia akan memotongku dengan Odachi-nya," jawab Yamada.

Araya menggelengkan kepala. Araya menggoda Yamada yang adalah leluhurnya. "Kau adalah leluhur, yang menciptakan klan. Jangan cengeng. Lagipula, aku tidak takut sekalipun pada Odachi Bunda Amanda. Aku sudah melewati Iblis. Aku sudah mengorbankan segalanya. Aku pantas mendapatkan pelukan terakhir ini."

Yamada menghela napas, sebuah tindakan keibuan yang aneh. "Baiklah, Anakku. Aku akan menjadi ibumu. Ayo, kita lihat keindahan kehancuran ini."

Araya berjalan menuju keluar ruangan yang kini kosong, Kristalnya lenyap. Ia melangkah ke reruntuhan Akademi, dan melihat dunia perlahan lenyap di bawah langit pagi yang sunyi. Ia tahu seluruh dimensi akan segera tertutup.

Araya tetap mengobrol dengan Yamada dengan senang dan bahagia, merasakan kekuatan dan cinta Arch Guardian purba itu menyelimutinya. Arch Guardian Bloody Queen akhirnya menemukan kedamaian, bukan dalam pertempuran, melainkan dalam pengorbanan dan cinta terakhir seorang ibu.

.

.

.

Araya menemukan satu tempat yang sempurna. Ia memanjat reruntuhan tertinggi dari menara Akademi, tempat ia menunggu Indra dan Shiera pagi tadi.

Araya dan Yamada mengobrol sambil duduk di bangunan tertinggi Akademi dengan santai. Tidak ada lagi urgensi. Hanya ada keheningan dan angin sepoi-sepoi yang membawa aroma tanah yang terbakar dan salju yang jauh.

"Kau tahu, Nak, aku seharusnya tidak membiarkanmu melakukan ini. Ini adalah akhir dari garis keturunan Arch Guardian yang kubangun," kata Yamada, suaranya tenang.

"Itu adalah akhir yang paling indah, Ibu," jawab Araya, tersenyum ke langit. "Aku tidak pernah ditakdirkan untuk hidup damai. Aku ditakdirkan untuk menjadi Bayangan di balik tirai. Dan sekarang, Bayangan itu akhirnya menghilang."

Araya menatap sekeliling. Reruntuhan Akademi, tempat ia mengajar, bertarung, dan kehilangan segalanya.

Wujud Araya juga perlahan lenyap bersama hembusan bunga Higanbana miliknya. Tubuhnya mulai memudar, berubah menjadi partikel merah darah yang berkilauan. Itu bukanlah kematian yang menyakitkan, melainkan peleburan kembali ke dalam chi alam semesta.

"Lihatlah, Yamada," bisik Araya, suaranya kini terasa seperti bisikan angin. "Sebuah universe baru telah lahir dari pengorbanan kita. Indra dan Shiera akan hidup."

"Ya, Anakku. Aku melihatnya. Mereka aman. Kau telah menjalankan takdirmu. Sekarang, datanglah. Istirahatlah," jawab Yamada, kehangatan chinya menyelimuti Araya.

Tubuh Araya semakin transparan, dan hembusan bunga Higanbana miliknya menyebar ke seluruh reruntuhan, menutupi puing-puing dengan lapisan merah darah. Di tengah-tengah bunga yang menghilang itu, ada janji akan kehidupan baru dan pengorbanan abadi.

...

...

Sosok Araya menghilang sepenuhnya, dan bersamaan dengan itu, seluruh dimensi Akademi dan Kerajaan lenyap, terbungkus dalam kegelapan yang sunyi.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

...

...

1
Dòng sông/suối đen
Susah move on
IND: betul 😭😭
total 1 replies
Kaylin
Bagus banget, sarat makna dan emosi, teruskan thor!
IND: akan ada lanjutannya Shirayuki Sakura judul nya nanti
total 1 replies
Dzakwan Dzakwan
Duh, seru euy! 🥳
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!