Sejak bayi, Kim Areum menghilang tanpa jejak, meninggalkan tiga kakaknya—Kim Jihoon, Kim Yoonjae, dan Kim Minjoon—dengan rasa kehilangan yang tak pernah padam. Orang tua mereka pergi dengan satu wasiat:
"Temukan adik kalian. Keluarga kita belum lengkap tanpanya."
Bertahun-tahun pencarian membawa mereka pada sebuah kebetulan yang mengejutkan: seorang gadis dengan mata yang begitu familiar. Namun Areum bukan lagi anak kecil yang hilang—ia tumbuh dalam dunia berbeda, dengan ingatan kosong tentang masa lalunya dan luka yang sulit dimengerti.
Sekarang, tiga kakak itu harus membuktikan bahwa ikatan darah dan cinta keluarga lebih kuat daripada waktu dan jarak. Bisakah mereka menyatukan kembali benang-benang yang hampir putus, atau Areum telah menjadi bagian dari dunia lain yang tak lagi memiliki ruang untuk mereka?
"Seutas benang menghubungkan mereka—meregang, namun tidak pernah benar-benar putus."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23: Adik kesayangan
Setelah seharian penuh berjibaku dengan diagnosa, tindakan medis, dan ruang rapat rumah sakit, Yoonjae akhirnya menyelesaikan tugasnya. Jam di dinding sudah menunjuk pukul sembilan malam ketika ia melepas jas putihnya dan menggantinya dengan mantel hitam panjang. Raut wajahnya tetap tenang, seperti biasa. Tapi ada lelah samar yang menyelusup di balik sorot matanya.
Berbeda dari Jihoon yang hampir selalu dikawal sopir pribadi dan diiringi asisten serta sekretaris ke mana pun ia melangkah, Yoonjae lebih memilih berjalan sendiri. Ia tak menyukai keramaian yang tak perlu. Sama seperti Minjoon, adik bungsunya, yang meski terkenal dengan restoran/cafe mewahnya, tetap kadang bepergian sendiri—meski sesekali dibuntuti asisten yang cerewet itu.
Yoonjae berjalan menuju basement rumah sakit, tempat ia memarkirkan mobilnya. Suara langkah sepatunya menggema di koridor yang mulai sepi. Beberapa perawat yang masih bertugas menunduk sopan saat melihatnya lewat, dan ia membalas dengan anggukan kecil. Sesampainya di mobil, ia duduk sejenak sebelum menyalakan mesin. Menatap kemudi, menarik napas panjang, dan akhirnya berbisik sendiri,
"Hari ini pun… tanpa petunjuk apa pun." Ia memutar kontak, dan mesin mobil menderu pelan. Jalan pulang masih panjang, pikirannya pun belum tentu sampai rumah malam ini—karena bahkan ketika ia tidak sedang bekerja… pikirannya masih sibuk mencemaskan satu nama: Ara
Yoonjae akhirnya sampai di apartemennya, yang kini juga dihuni sementara oleh Minjoon. Ia memarkir mobilnya dengan rapi di basement, lalu menaiki lift sambil melonggarkan dasi yang sejak pagi menyesakkan lehernya. Apartemen itu sunyi. Tak ada suara Minjoon yang biasanya menyapa dari ruang tengah. Yang terdengar hanya tipisan suara televisi yang menyala, bercampur aroma obat-obatan samar, menandakan keberadaan Minjoon. Lampu ruangan hanya menyala sebagian, menimbulkan bayangan hangat yang memeluk seluruh ruangan.
"Minjoon?" panggilnya pelan.
Dari balik sofa, suara lemah Minjoon menjawab.
"Di sini, Hyung."
Yoonjae melangkah perlahan dan melihat adik bungsunya itu duduk bersandar dengan bantal di belakang punggungnya, kaki kanan masih diperban dan ditopang bantal tambahan. Di meja dekatnya, secangkir teh setengah diminum sudah dingin. Minjoon menatapnya, mata sembab tapi mencoba tersenyum tipis.
“Sudah makan?” tanya Yoonjae sambil melepas jas putih yang masih tersampir di lengannya.
Minjoon menggeleng pelan.
“Tidak lapar,” jawabnya, membuat Yoonjae menarik napas dalam, lalu duduk di tepi meja.
“Jangan paksa dirimu terlalu kuat. Istirahat itu juga bagian dari kerja. Cepat katakan ingin makan apa? Aku akan masak,” ujar Yoonjae, nada lembut tapi tegas.
Minjoon menggeleng lagi.
"Pesan saja, Hyung. Kau pasti lelah," gumamnya, suaranya kecil, hampir seperti meminta.
"Cck… sudahlah. Aku ini dokter, dan aku tidak sepenuhnya percaya makanan instan itu sehat dan higienis," sahut Yoonjae, membuat Minjoon hanya menunduk, menggigit bibir bawahnya. Ia keras kepala, tapi hari ini tubuhnya tak bisa membohongi kelelahannya. Luka di kakinya pun masih nyeri, terutama saat ia mengubah posisi duduk sedikit saja.
"Terimakasih… aku makan apa saja yang Hyung masak, tapi tolong jangan tawar… aku tidak suka makanan yang kurang rasa," ujar Minjoon pelan, matanya masih menatap layar televisi yang menampilkan berita teknologi Korea Selatan.
Yoonjae hanya berlalu tanpa menanggapi permintaan Minjoon, namun dengan gerakan sigap ia membantu Minjoon pindah ke kamar, memastikan kaki adiknya tidak terlalu terbebani. Ruangan kamar luas itu tampak nyaman, dengan nuansa khas pria misterius—minimalis, gelap, dan rapi.
"Hyung, apa aku terlihat menyedihkan sampai harus disuapi?" seloroh Minjoon tanpa mengalihkan pandangan dari televisi.
"Sangat," jawab Yoonjae singkat, tapi nada suaranya mengandung sedikit geli.
Minjoon terkekeh, menyandarkan tubuhnya lebih nyaman di sandaran tempat tidur. Selimut tipis menutupi bagian bawah tubuhnya, sementara nampan makan malam sudah diletakkan di meja kecil di samping. Aroma sup hangat menggantung di udara, membuat ruangan yang sebelumnya terasa dingin menjadi lebih hidup, seakan ada kehangatan yang perlahan kembali ke antara mereka.
"Jika aku nanti menikah, aku harap istriku bisa menyuapi ku seperti hyung sekarang," gumam Minjoon sambil tersenyum kecil, masih menatap layar TV. Yoonjae menoleh dari meja, memasukkan sendok ke dalam mangkuk dan mendekatinya lagi.
"Pastikan dia tidak mudah ilfeel melihat kamu mengeluh soal rasa sup yang katanya kurang asin padahal jelas-jelas kamu belum mencobanya," balasnya datar. Minjoon terkekeh pelan, tapi langsung meringis saat lututnya tersenggol. Namun, di tengah pembicaraan random itu, suara langkah berat dan teratur terdengar makin dekat, disusul suara khas seseorang yang selalu membawa atmosfer serius ke mana pun ia pergi.
"Maaf aku terlambat, ada sesuatu yang tidak bisa aku tinggalkan," ujar Jihoon, yang membuat Minjoon berseru.
“Tepat waktu, Tuan CEO. Ayo masuk, ada sisa sup kalau kau mau… menyuapiku juga,” ujar Minjoon sambil menyeringai, nada suaranya sengaja dibuat genit. Jihoon hanya mendengus dan melemparkan jaketnya ke sandaran kursi.
“No, thanks. Aku sudah cukup bekerja hari ini,” ujar Jihoon, yang membuat Yoonjae tertawa kecil. Untuk pertama kalinya malam itu terasa benar-benar hangat. Bukan karena supnya, bukan karena selimut tebal, atau ruangan mewah itu—melainkan karena kehadiran satu sama lain yang akhirnya mulai terasa utuh kembali.
“Malam sekali, Hyung datang. Aku ingin bicara denganmu,” ujar Yoonjae serius, memecah tawa.
“Kenapa tidak bicara dulu dengan Minjoon?” Jihoon menoleh, nada suaranya mengejek.
“Dia anak kecil, mana paham,” sahut Yoonjae sambil melirik Minjoon.
“Hei! Aku sudah 31 tahun!” Minjoon berseru kesal.
“Cepatlah minum obatmu,” ujar Yoonjae memastikan Minjoon meneguk obat terlebih dahulu, lalu dia kembali duduk di sisi ranjang. Jihoon duduk di sofa yang ada di ruangan itu, sedangkan Minjoon tetap dalam posisi terbaring seperti tadi.
“Jadi, ada apa?” tanya Jihoon memulai pembicaraan setelah beberapa saat diam.
“Tadi siang… detektif Han memberikan hasil pencarian Ara kepadaku. Kau tahu apa yang mengejutkan?” ujar Yoonjae, menatap Jihoon dan Minjoon secara bergantian.
“Apa?” tanya Jihoon.
“Samcheon dan Sukmo terlibat. Mereka kuncinya, yang tahu di mana keberadaan adik kita sekarang. Harabeoji memang ikut terlibat—dia mengatur semuanya agar Ara bisa dibawa keluar dari rumah sakit saat semua orang sibuk dengan Eomma dan Appa. Tapi yang benar-benar membawa Ara pergi adalah Samcheon dan Sukmo,” jelas Yoonjae. Minjoon terlihat begitu terkejut, sedangkan Jihoon hanya diam, rahangnya mengeras.
“Ini keterlaluan… Mereka yang membesarkan kita setelah kepergian eomma dan Appa, tapi ternyata mereka lah yang telah menyebabkan kita kehilangan orang tua kita. Andai mereka tidak membawa Ara pergi, mungkin Eomma tidak akan sakit dan Appa juga. Mungkin saat ini mereka masih bersama kita,” ujar Jihoon, membuat Yoonjae mengangguk. Ada sedikit rasa lega karena kali ini Jihoon mau menerima dan mendengarkan apa yang ia katakan tentang keluarga yang selama ini mereka anggap baik.
“Itu yang aku maksud, Hyung. Aku juga terkejut mendengar bahwa semua yang terjadi ini bukan karena orang lain. Semua kekacauan yang terjadi di keluarga kita adalah ulah keluarga kita sendiri,” ujar Yoonjae, membuat Jihoon sontak berdiri. Ia mengambil ponselnya lalu berkata:
“Aku tidak akan diam saja. Kirim semua bukti yang dikirim Detektif Han!” serunya sembari berlalu meninggalkan Minjoon dan Yoonjae.
“Hyung mau ke mana?” tanya Yoonjae.
“Menyelesaikan semua ini!” jawab Jihoon, yang membuat Yoonjae terdiam sejenak saat melihat bara emosi di mata sang kakak. Akhirnya, dia membiarkan Jihoon pergi. Ada sedikit rasa sesal karena telah mengungkap hal itu saat Jihoon baru pulang bekerja, bahkan pria itu belum sempat mandi apalagi beristirahat sejak datang tadi. Tapi di sisi lain, Yoonjae juga merasa lega—bahwa Jihoon sudah tidak seegois tempo hari.