NovelToon NovelToon
RAHIM TERPILIH

RAHIM TERPILIH

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Dosen / Identitas Tersembunyi / Poligami / Romansa / Konflik etika
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

Siapapun tak ingin mendapatkan takdir yang tak sejalan dengan keinginan, termasuk Asha. Sejak awal ia tahu hidupnya tak pernah sempurna, namun tak pernah ia bayangkan bahwa ketidaksempurnaan itu akan menjadi alasan seseorang untuk merendahkannya—terutama di mata Ratna, ibu mertuanya, wanita yang dinginnya mampu merontokkan kepercayaan diri siapa pun.

"Untuk apa kamu menikahi wanita seperti dia?!"
Satu kalimat yang terus menggetarkan jantungnya, menggema tanpa henti seperti bayang-bayang yang enggan pergi. Kalimat itu bukan hanya penghinaan. Itu adalah vonis, sekaligus penjara yang tak pernah bisa ia hindari.

Sejak hari itu, Asha belajar diam. Bukan karena ia lemah, tetapi karena setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya akan memicu luka baru.

Namun ada satu hal yang membuatnya tetap bertahan.

Aditya.

Namun saat kehadiran Nadia, semua mulai berubah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

RASA SAKIT ASHA

Malam semakin larut. Asha berbaring miring menghadap dinding kamar, matanya terbuka lebar bahkan tanpa berkedip terlalu lama. Ia berkutat dalam perih yang tak mau reda.

Setiap kali ia mencoba memejamkan mata… kata-kata Adit kembali terngiang jelas.

Tangisnya tadi sudah habis—atau ia pikir begitu. Namun nyatanya, air mata itu kembali mengalir pelan di pelipisnya, bahkan semakin deras. Ia menutup mulut, menahan isak yang terus bergetar di dada.

Disampingnya kosong. Adit tak memeluknya malam ini. Tak ada sentuhan hangat yang biasanya menjadi obat ketakutannya.

Asha memeluk perutnya sendiri, seakan hanya janin di dalam sana yang masih memihaknya. “Maaf ya, Nak…” Bisiknya parau. “Mama sudah berusaha jaga kamu. Tapi kenapa… kenapa semuanya tetap salah?”

Ia menarik napas yang sulit, seperti paru-parunya ikut menolak semua luka itu. Bagian terdalam dari dirinya mencoba meyakinkan bahwa Adit marah karena cemas…

Asha menyeka air matanya dengan punggung tangan. Tapi air itu muncul lagi. Dan lagi. Tak kunjung berhenti.

Ia menggigil, bukan karena suhu kamar, tapi karena kesepian yang tiba-tiba menjadi begitu nyata. Ia menatap langit-langit gelap, berharap keajaiban menghapus semua prasangka itu.

“Mas…” Ia berbisik, suaranya patah dan nyaris hilang. “Kenapa Mas tega? Kenapa Mas pikir aku bisa mencelakai orang yang melahirkan lelaki yang paling aku cintai?”

Tak ada jawaban. Hanya bunyi detak jam yang semakin memperjelas betapa panjang dan kejamnya malam ini.

Asha menutup mata, namun bukan karena mengantuk—melainkan karena hatinya tak kuat lagi menghadapi kenyataan. Dan dalam gelap yang ia ciptakan sendiri…

****

Pagi masih sangat muda. Matahari bahkan belum sepenuhnya muncul di balik tirai awan. Namun Adit sudah berdiri di depan cermin, mengenakan kemeja kerjanya dengan gerakan cepat dan kaku.

Suara shower air di kamar mandi mendadak berhenti. Uap hangat masih memenuhi ruangan saat pintu kamar mandi terbuka perlahan. Asha melangkah keluar dengan handuk kecil melilit rambutnya. Wajahnya pucat, matanya sembab seperti baru kehilangan seluruh malam untuk menangis.

Ia mengenakan daster longgar, satu tangan refleks memegang perutnya—perlindungan kecil yang tak pernah ia lepaskan sejak tadi malam.

Begitu matanya menangkap sosok Adit di kamar… hatinya langsung terhenti sejenak.

Adit sedang memasukkan dompet ke dalam saku celananya, gerakannya cepat dan kaku. Ia tak mengatakan apa-apa, hanya sesekali menghela napas pendek—seolah ingin segera pergi sebelum kata-kata yang tertahan semalaman itu sempat keluar.

“Mas…” Asha memanggil pelan.

Namun, pria itu tidak merespons. Bahkan tidak menoleh.

Adit meraih ponsel dan jam tangannya yang tergeletak di meja. Terlalu terburu-buru. Terlalu ingin pergi.

Menyadari itu—bahwa Adit sengaja menghindarinya, dada Asha kembali sesak. Tapi ia menahan diri, berusaha tetap tegak meski kakinya bergetar.

Kemudian, Adit berbalik menuju pintu.

Langkah panjangnya begitu dingin. Jauh.

“Mas, tunggu…” Suara Asha terburu menyambar, penuh kepanikan yang berusaha ia sembunyikan.

Adit berhenti. Namun tidak berbalik.

“Aku mau bicara sebentar.”

Adit menarik napas dalam—pelan tapi penuh ketegangan. “Aku sudah terlambat,” Jawabnya akhirnya. Suaranya datar. Tidak memberikan celah.

Asha melangkah setengah maju, matanya memohon. "Sebentar, Mas..." Lirihnya. “Aku takut kita nggak bisa kembali seperti dulu, hanya karena hal ini."

"Akhirnya kamu jujur kalau kamu pelakunya."

"Ada apa dengan kamu, Mas? Dalam satu malam, kamu mempercayai tuduhan itu. Dari segala hal yang udah kita lewati bersama, begitu gampangnya kamu liat aku sebagai orang jahat.”

Adit menoleh pelan, namun bukan untuk mendekat. Bukan untuk menguatkan.

Melainkan mempertahankan jarak.

“Aku percaya sama bukti yang ada,” Balas Adit dingin.

Asha menggeleng, langkahnya goyah mendekat.

“Bukti? Kamu ngomong soal bukti? Bukti apa, Mas?” Isaknya tertahan di tenggorokannya.

“Karena aku yang ada di rumah dan karena aku yang masak? Kenapa kamu kekanak-kanakan seperti ini, Mas?"

Adit tampak terhenyak, tapi wajahnya tetap keras.

“Jangan bicara macam-macam,” ucapnya tajam.

“Kenapa? Kenapa nggak?” Asha menaikkan suaranya sedikit. Bukan marah, tapi terdesak. “Karena kamu tahu itu benar? Kamu tahu kamu menilai aku… bukan dari apa yang aku lakukan, tapi dari..."

"A-Auuu." Rintih Asha lirih, namun penuh rasa sakit yang menusuk. Tubuhnya membungkuk, dadanya naik turun tidak beraturan. Nafasnya terseret seperti setiap helakan adalah perjuangan.

Adit refleks menoleh. “Asha?!” Ucapnya, langsung mendekat dengan panik, memegang kedua lengan Asha. "Asha, lihat aku. Kamu kenapa? Jangan bercanda!"

"Sakit, Mas..."

“Asha, maafin aku… sayang, kamu kenapa?"

Asha tak menjawab, dan sebelum satu kata lain keluar dari mulut Asha, setitik cairan hangat mengalir di sepanjang pahanya.

Adit menunduk… dan jantungnya seperti berhenti berdetak.

Darah.

Merah.

Menetes… semakin banyak.

“Ya Tuhan…” Wajah Adit langsung pias.

“Asha… kamu pendarahan…”

Asha mendadak melemas, bola mata sembabnya terpejam namun ia tetap mencoba mempertahankan kesadarannya, tangannya meraih dada Adit dengan sisa tenaga. “M-Mas… tolong…”

Hanya itu.

Lututnya goyah—Tubuhnya ambruk jika tidak langsung dipeluk Adit erat-erat.

"Asha, maafin aku."

Asha tak menjawab. Kelopak matanya terpejam rapat, wajahnya putih pasi tanpa sedikit pun rona. Tangan yang tadi menggenggam perutnya kini terkulai lemah di sisi tubuh.

Tanpa pikir panjang, Adit mengangkat tubuh istrinya ke pelukan. Ia tak peduli dengan darah yang terus menetes mengotori lantai. Air mata yang ia tahan semalaman pun kini jatuh tanpa malu.

Ia berlari keluar kamar, mendekap Asha seakan jika ia melepaskan sedikit saja—

Asha akan pergi selamanya. “Tolong… bertahan ya, Sha…” Suaranya pecah, panik, penuh ketakutan yang menelan segalanya. “Aku mohon… bertahan demi anak kita. Maafin aku, sayang…”

“Ya Allah, Den… Non Asha kenapa?” Seru Bik Yuni terbata, terpaku melihat darah yang mengalir lemah di sepanjang paha Asha saat Adit menggendongnya menuruni anak tangga.

Langkah Adit tergesa, wajahnya tegang dan pucat, seolah napasnya saja nyaris terputus. Asha terkulai di pelukannya tanpa daya.

“Maya… lihat itu!” Ratna bangkit dari meja makan, kursinya terhempas ke belakang karena saking buru-burunya.

Maya langsung menutup mulutnya, mata membelalak ketakutan. “Ma… itu… itu darah!”

“Bik! Tolong ambil kunci mobil saya di etalase kaca! Sekarang, cepat!” Suara Adit pecah dan menggema di seluruh ruangan.

“I-iya, Den!” Bik Yuni sontak berlari terpincang menuju ruang tamu, tangannya bergetar hebat saat menarik laci etalase.

Ratna dan Maya yang awalnya hanya terpaku, akhirnya buru-buru mengikuti Adit yang hampir mencapai pintu keluar.

Bik Yuni kembali sambil menyodorkan kunci dengan tangan yang jelas tak stabil. “Ini, Den… Ya Allah… Non Asha kuat ya nak… kuat…”

Adit meraih kunci dan hampir berlari ke arah mobil. Nafasnya terengah, ia terus menatap wajah pucat istrinya yang semakin melemah. “Asha… tolong bertahan. Kamu dengar aku? Bertahan!” Katanya pelan, tapi kalut.

Asha tidak menjawab. Kelopak matanya hanya bergetar tipis, napasnya pendek dan tak stabil.

Begitu Adit berlari ke arah mobil sambil menggendong Asha yang tak sadarkan diri, keduanya sempat saling menatap dan seulas senyum licik terbit di bibir mereka.

Senyum kemenangan,

Senyum kejam yang tak boleh terlihat siapa pun.

Maya menahan tawa kecil. Sedangkan, Ratna mengangguk tipis, puas dengan apa yang telah mereka ciptakan.

Dan, ketika Adit hampir menutup pintu kemudi, Ratna mengubah ekspresi dalam sekejap. Dari senyum iblis menjadi topeng seorang ibu panik. “Adit! Mama ikut!” Katanya cepat, suaranya dibuat sesak oleh kepura-puraan.

“Iya Adit, aku juga ikut!” Maya menimpali, memegang bahu Ratna seolah ikut tegang.

Adit hanya mengangguk seadanya dan tidak punya waktu tuk menolak.

****

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!