Setelah orang tuanya bunuh diri akibat penipuan kejam Agate, pemimpin mafia, hidup siswi SMA dan atlet kendo, Akari Otsuki, hancur. Merasa keadilan tak mungkin, Akari bersumpah membalas dendam. Ia mengambil Katana ayahnya dan meninggalkan shinai-nya. Akari mulai memburu setiap mafia dan yakuza di kota, mengupas jaringan kejahatan selapis demi selapis, demi menemukan Agate. Dendam ini adalah bunga Higanbana yang mematikan, menariknya menjauh dari dirinya yang dulu dan menuju kehancuran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Our Time
Beberapa hari berlalu dengan tenang. Kehidupan kembali normal, tetapi ketegangan di bawah permukaan tetap terasa.
Akari sedang berlatih di rumahnya seperti biasa, menggunakan waktu senggangnya untuk menyempurnakan ayunan kendo-nya.
Sore itu, latihan dihentikan karena kehadiran tamu. Setelah itu, Indra tiba di rumah Akari, dan tak lama kemudian, Araya datang membawakan masakannya sendiri. Aroma masakan rumahan yang lezat memenuhi dapur Akari.
Mereka bertiga menikmati hidangan dari Araya di meja dapur yang sederhana. Suasana terasa hangat, jauh dari kegelapan interogasi.
Akari melihat Indra dan Araya, interaksi mereka yang santai dan akrab. Ia tersenyum tipis.
"Goto-san, Araya-san," ujar Akari, menatap mereka. "Kalian terlihat seperti... keluarga."
Akari kemudian menyeringai.
"Dan aku tahu kalian berdua berpacaran. Tidak perlu menyembunyikannya dariku. Kalian bahkan memasak bersama!"
Reaksi yang didapat Akari sangat spontan. Indra menyemprotkan makanan Araya dari mulutnya karena terkejut mendengar pengakuan Akari yang begitu terus terang. Araya menjitak Indra dengan cepat dan ringan di kepalanya.
"Dasar ceroboh!" gerutu Araya kepada Indra, tetapi tawanya pecah.
Araya menjawab Akari dengan terkekeh.
"Baiklah, kau benar, Akari. Kami tidak berpacaran," jawab Araya, membuat Akari sedikit kecewa, tetapi ia melanjutkan, "Aku dan Indra sudah bertunangan dan akan menikah setelah kasus AgateX ini selesai."
Akari tersenyum lebar, kegembiraannya tulus.
"Selamat, Araya-san, Goto-san!"
Setelah suasana kembali tenang, Akari kembali ke topik utama.
"Araya-san," kata Akari. "Setelah interogasi beberapa hari yang lalu, dan setelah mendengar bagaimana Haruna menjebak Dokter Kevin dan orang tuaku, aku menjadi tidak sabar menemui Haruna itu."
Araya menatap Akari dengan tenang.
"Aku tahu, Akari. Tapi tidak perlu buru-buru. Dokter Kevin sudah memberi kita waktu. Haruna tidak tahu kita sudah memburunya. Gunakan waktu yang ada untuk berlatih."
Araya memuji latihan Akari yang ia dapat kabar dari Indra.
"Indra bilang, kendo-mu sangat cepat. Teruslah berlatih. Akihisa dan Miku sedang mencari titik lemah Haruna dan Distrik Senja. Begitu kita punya informasinya, kau akan bergerak. Bersabarlah."
Akari menerima nasihat Araya, tetapi ia ingin memastikan bahwa Araya dan Indra mengerti sejauh mana tekadnya.
Akari menundukkan kepalanya, pandangannya fokus pada piring, namun kata-katanya penuh kepastian.
"Aku mengerti, Araya-san," ujar Akari. "Aku akan terus berlatih dan bersabar. Tapi dendam ini belum selesai."
"Aku akan melanjutkan kuliah setelah membalaskan dendamku kepada AgateX. Dan dendamku bukan hanya sampai Haruna, tapi sampai ke akarnya—sampai ke Bos Besar yang korup dan informan di kepolisian itu."
Akari mengangkat kepalanya, matanya memancarkan tekad yang dingin dan mantap.
Indra mengangguk setuju. Ia mengerti tekad Akari sepenuhnya. Sebagai mantan detektif, ia tahu dendam Akari adalah satu-satunya senjata yang bisa menembus benteng hukum dan korupsi yang melindungi AgateX.
"Bagus, Akari," kata Indra. "Itu artinya kau akan hidup. Dan kau akan punya alasan untuk kembali ke kehidupan normal setelah ini selesai."
Araya juga menghela napas. Karena selama ini ia terus memburu AgateX, namun selalu digagalkan oleh kepolisian korup yang menyembunyikan organisasi tersebut.
"Kau tahu, Akari," kata Araya, nadanya serius. "Tekadmu ini bukan hanya untuk orang tuamu. Ini juga untuk keadilan yang selama ini dicuri dariku oleh rekan-rekan kerjaku sendiri. Kami akan membantumu sampai akarnya."
Dengan pemahaman yang mendalam ini, kerja sama mereka semakin kuat. Mereka bukan hanya tim, tetapi juga keluarga yang berbagi tujuan yang sama.
Di sisi lain, jauh dari rumah Akari yang kini hangat, Akihisa meregangkan tubuhnya di kantor. Matanya merah karena berhari-hari menatap monitor dan mengolah data.
Diikuti oleh Miku yang merapikan mejanya, membereskan tumpukan kabel dan drive eksternal.
"Aku sudah muak dengan data keuangan Haruna. Angka-angka ini membuatku pusing," keluh Akihisa.
Akihisa mengajak Miku untuk ke kafe baru dekat kantor.
"Miku, ada kafe baru dekat sini. Aku dengar mereka punya menu dessert yang enak. Mau ikut?" tanya Akihisa, mencoba terdengar santai.
Miku tersenyum jahil. Ia segera menangkap getaran dalam ajakan Akihisa.
"Apakah ini ajakan kencan, Akihisa?" goda Miku, menyandarkan dagunya di tangannya.
Akihisa wajahnya memerah karena tertangkap basah.
"A-anggap saja begitu," jawab Akihisa, menghindari tatapan Miku. "Kita jarang mendapatkan waktu berdua tanpa harus bicara tentang AgateX atau bom logika. Kita butuh istirahat sebelum kita menemukan kelemahan Haruna."
Miku tertawa kecil, gembira dengan ajakan Akihisa.
"Tentu saja, Ahli Strategi! Aku sudah lama mengidamkan dessert," kata Miku.
Setelah itu, Miku dan Akihisa pergi ke kafe kucing dekat kantor kepolisian, meninggalkan sejenak dunia kejahatan dan korupsi untuk menikmati momen sederhana di tengah kota Shirayuki.
Sampainya di kafe, suasana tenang dan aroma kopi langsung menyambut mereka. Akihisa dan Miku memesan minuman dan beberapa makanan manis, dan segera masuk ke dalam ruang cat cafe.
Ruangan itu dipenuhi dengan berbagai macam kucing yang sedang tidur atau bermain. Suasana damai ini adalah antitesis total dari gudang yang gelap dan data yang dingin yang mereka hadapi sehari-hari.
Di sana mereka bermain dengan berbagai jenis kucing, dari ras Scottish Fold yang tenang hingga Bengal yang aktif. Kucing-kucing itu mengelilingi kaki mereka, mencari perhatian.
Bahkan Miku menjelaskan kucing yang ada dengan detail, menunjukkan pengetahuan luar biasa tentang ras dan kebiasaan setiap kucing.
"Yang itu, Akihisa, Ragdoll," jelas Miku, menunjuk kucing berbulu panjang. "Mereka sangat lembut dan akan lemas saat digendong. Dan yang di sana, itu British Shorthair, lihat pipinya yang tembam? Dia adalah penenang alami."
Akihisa terkagum pada pengetahuan Miku. Ia selalu melihat Miku sebagai ahli komputer yang brilian, tetapi sisi lembutnya terhadap hewan benar-benar memukau.
"Kau tahu banyak sekali tentang kucing," kata Akihisa, sambil mengelus seekor kucing hitam. "Kau benar-benar tidak terduga, Miku."
Miku tersenyum. "Kau juga, Akihisa. Tidak terduga bahwa ahli strategi yang sangat serius mau datang ke tempat yang penuh bulu ini."
Akihisa, yang sedikit canggung dengan pujian Miku, berusaha membela diri agar tidak terlihat terlalu kaku.
Akihisa berdehem sedikit, wajahnya masih sedikit merona.
"Aku... aku suka kucing juga. Bukan hanya karena tempat ini tenang," kata Akihisa.
"Aku memelihara kucing di rumah, kok. Walaupun hanya kucing lokal yang kupungut di jalanan. Namanya Miyu."
Miku tertawa geli mendengarnya. Membayangkan si ahli strategi yang selalu serius ini bermain dengan kucing kampung adalah pemandangan yang lucu.
"Aku tahu, Akihisa. Aku sering melihat fotonya di ponselmu, saat kau bilang kau sedang mengambil foto file kasus," goda Miku, sambil menarik pipi Akihisa dengan gemas. "Dasar Tsundere kucing! Kau sangat imut, tahu?"
Akihisa hanya bisa mendengus, terlalu terkejut untuk membalas godaan Miku. Momen ringan dan manis ini adalah istirahat yang sempurna sebelum mereka harus kembali menghadapi realitas dingin dari misi mereka.