Rania menjalani kehidupan yang monoton. Penghianatan keluarga, kekasih dan sahabatnya. Hingga suatu malam, ia bertemu seorang pria misterius yang menawarkan sesuatu yang menurutnya sangat tidak masuk akal. "Kesempatan untuk melihat masa depan."
Dalam perjalanan menembus waktu itu, Rania menjalani kehidupan yang selalu ia dambakan. Dirinya di masa depan adalah seorang wanita yang sukses, memiliki jabatan dan kekayaan, tapi hidupnya kesepian. Ia berhasil, tapi kehilangan semua yang pernah ia cintai. Di sana ia mulai memahami harga dari setiap pilihan yang dulu ia buat.
Namun ketika waktunya hampir habis, pria itu memberinya dua pilihan: tetap tinggal di masa depan dan melupakan semuanya, atau kembali ke masa lalu untuk memperbaiki apa yang telah ia hancurkan, meski itu berarti mengubah takdir orang-orang yang ia cintai.
Manakah yang akan di pilih oleh Rania?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#7
Happy Reading...
.
.
.
Sudah hampir satu bulan berlalu sejak semua kejadian itu. Sejak tamparan yang Rania berikan kepada Jordi di tangga darurat. Sejak perdebatan yang menguras seluruh energi hatinya. Sejak ia akhirnya memutuskan untuk benar-benar meninggalkan hubungan yang selama ini ia pikir tulus.
Namun ternyata hidup Rania tidak banyak berubah atau bahkan tidak berubah sama sekali.
Keluarganya tetap seperti biasanya, lebih tepatnya tetap saja mengabaikannya. Seolah tidak pernah terjadi apapun. Seolah Rania hanyalah bayangan yang lewat di dalam rumah itu. Melisa masih sibuk dengan urusan Alisa. Sibuk memuji anak bungsunya itu tanpa berhenti. Dewa juga masih tetap sama, hanya berbicara ketika membutuhkan sesuatu. Tidak ada pertanyaan. Tidak ada perhatian. Tidak ada usaha sedikit pun untuk memahami apa yang sedang dialami Rania.
Bahkan ketika Rania pulang larut malam selama hampir tiga minggu berturut-turut, tidak ada yang pernah bertanya kenapa? Tidak ada yang bertanya apakah dia sudah makan? Tidak ada yang bertanya apakah dia baik-baik saja?
Semua terasa sama. Hampa.
Di sisi lain, Jordi masih terus berusaha untuk menghubunginya karena saat di kantorpun Rania sebisa mungkin menghindarinya.
“Rania, kita perlu bicara.”
“Aku menyesal.”
“Tolong beri aku kesempatan.”
Rania tak menghiraukan. Ia sudah tidak punya energi lagi untuk memikirkan Jordi. Luka itu masih ada, tetapi entah mengapa tidak lagi membuatnya ingin menangis. Mungkin karena hatinya sudah terlalu lelah untuk merasakan apapun.
Laras memilih keluar dari pekerjaannya satu minggu setelah kejadian besar itu. Itu pun pergi tanpa memberikan sepatah kata pun kepada Rania. Pilihan yang mungkin terpaksa ia pilih karena didorong rasa malu atau mungkin juga rasa bersalah. Namun bagi Rania, keluarnya Laras tidak membuatnya merasa lebih baik. Justru ada bagian kecil dalam dirinya merasa bahwa orang yang dulu dia anggap sahabat ternyata pergi dengan cara paling mudah.
Yang paling mengganggu adalah teman-temannya yang masih dengan enteng meminta bantuannya untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Tanpa memiliki rasa malu sedikit pun. Sekali lagi menunjukkan bahwa kejadian sebulan lalu tidak mengubah apapun. Seolah mereka masih berhak meminta Rania melakukan tugas tambahan yang bahkan bukan bagian dari pekerjaannya.
Dan Rania… seperti biasanya… lebih memilih diam dan beberapa kali memilih tetap membantu mereka. Bukan karena ia ingin di pedulikan tapi Rania melakukan itu hany untuk menyibukkan dirinya sendiri.
Semakin hari ia semakin larut dalam rutinitas. Ia memilih lembur hampir setiap malam. Bukan karena pekerjaannya menumpuk, tetapi karena ia tidak ingin pulang. Rumah bukanlah tempat yang memberikan ketenangan. Rumah hanya tempat di mana ia kembali menjadi orang yang tidak terlihat.
Sehingga kantor menjadi tempat persembunyiannya. Tempat di mana setidaknya ia bisa merasa “ada”. Ia merasa di butuhkan.
.
.
.
Hari ini Rania merasa hidup semakin tidak adil kepadanya. Bahkan saat akan baru memasuki ruangannya ia sudah mendengar bisikan-bisikan. Suara-suara yang awalnya samar, namun semakin jelas ketika ia melangkah mendekat tanpa sengaja.
“Serius Jordi dapat promosi?”
“Iya, baru saja diumumkan. Tidak kah menurut kalian ini terlalu cepat.”
“Padahal yang sering mengerjakan laporannya kan Rania, bukan dia.”
Rania mematung. Suara itu menusuk telinganya lebih tajam daripada yang seharusnya. Ia menggigit bibir bawah, mencoba menahan dorongan emosi yang tiba-tiba naik ke tenggorokan. Rania meremat tali tas yang tersampir di pundaknya.
Promosi? Jordi?
Dadanya seperti diremas. Ia bekerja lebih lama dari siapa pun di tim itu. Ia yang berkali-kali pulang larut malam. Ia yang sering menutup ruang rapat paling akhir karena harus merapikan slide presentasi, sementara Jordi entah di mana. Dan sekarang laki-laki itu yang bahkan tidak mengerjakan setengah dari tugasnya justru mendapatkan kenaikan jabatan?
Rania menelan ludah. Lagi- lagi ia merasa dunia seakan sedang menertawakannya.
Tanpa pikir panjang, ia memutuskan untuk menuntut jawaban. Ia tidak ingin diam lagi. Tidak hari ini. Disaat luka-luka di hatinya bahkan belum mengering.
Ia mengetuk pintu ruangan Bu Anastasya, atasannya. Begitu dipersilakan masuk, Rania melangkah dengan punggung tegap.
“Bu, saya ingin bicara mengenai promosi yang diumumkan pagi ini,” ujar Rania dengan suara yang ia usahakan stabil.
Bu Anastasya menatapnya dengan ekspresi malas, seolah ia sudah menebak arah pembicaraan ini. “Ya, tentang Jordi. Ada apa? Kenapa? Apa kamu merasa keberatan?”
“Saya hanya ingin tahu dasar keputusan tersebut. Selama ini saya yang bekerja lebih lama, saya menyelesaikan laporan, analisis, dan melakukan presentasi di dalam tim kami. Ibu juga tahu itu. Jadi saya ingin tahu alasan apa sehingga nama saya tidak dipertimbangkan sedikit pun.”
Anastasya menyandarkan tubuhnya sambil tertawa pendek. “Rania… kamu itu selalu seperti ini.”
Rania mengerutkan kening. “Seperti apa maksud ibu?”
“Ambisius,” jawab Anastasya tanpa ragu.
Kata itu membuat napas Rania tercekat. Lagi-lagi kata itu. Kata yang juga keluar dari mulut Jordi sebulan lalu. Kata yang digunakan bukan sebagai pujian, tetapi sebagai penghinaan.
“Saya tidak mengerti maksud Ibu,” balas Rania perlahan, mencoba menjaga nada suaranya tetap sopan. “Apa salahnya jika saya memperjuangkan apa yang seharusnya pantas saya dapatkan?”
Anastasya menggelengkan kepala dengan senyum meremehkan. “Masalahnya, kamu itu memang kompeten di pekerjaan teknis, tapi tidak punya kemampuan memimpin. Kamu terlalu individualis. Terlalu… mudah emosional.”
“Tapi kenerja saya bagus. Saya tidak pernah merepotkan karyawan yang lain.. Saya...”
“Justru itu masalahnya,” potong Anastasya cepat. “Karyawan yang naik jabatan harus punya hubungan sosial yang kuat. Dan Jordi punya itu. Ia pandai membangun relasi. Dia dekat dengan banyak orang. Sedangkan kamu tidak.”
Rania menggenggam tangannya. “Jadi maksud ibu, kerja keras saya tidak berarti apa-apa?”
Anastasya mengangkat bahu dengan santai. “Inilah dunia kerja. Kerja keras saja tidak cukup. Kamu harus pandai cari muka. Kamu harus pintar bergaul. Dan kalau kamu tidak mampu… ya, kamu tetap di tempat.”
Rania merasakan panas membakar matanya, namun ia menunduk sedikit untuk menahannya.
“Kalau begitu,” ucap Rania dengan napas goyah, “Mengapa laporan yang saya kerjakan selalu ibu berikan kepada Jordi untuk dipresentasikan? Mengapa ketika tim lain memuji hasil kerja kami, Jordi yang dipuji padahal itu pekerjaan saya?”
Anastasya menghela napas panjang, seolah pembicaraan ini membosankan untuknya. “Rania, kamu itu terlalu sensitif. Aku sudah bilang ...”
“Tapi ini tidak adil, bu.” Potong Rania.
Anastasya menatapnya tajam. “Dunia tidak adil. Belajarlah menerima itu, kalau tidak kamu akan selalu di buat kecewa.”
Rania terdiam. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, namun lidahnya membeku. Ia tidak percaya bahwa orang yang seharusnya menilai kerja keras pegawainya justru memandang segalanya sesempit itu. Melihat Rania tak menjawab, Anastasya membuka map di mejanya. “Kalau kamu tidak punya hal lain yang lebih penting, kamu boleh keluar. Saya sedang sibuk.”
Kata-kata itu seperti tamparan kedua bagi Rania hari itu.
Ia berdiri perlahan. “Baik, buu. Terima kasih atas waktunya,” katanya, berusaha terdengar sopan meskipun suaranya hampir patah.
Saat ia hampir mencapai pintu, Anastasya menambahkan dengan nada menyindir, “Dan Rania… Kalau kamu mau promosi, pelajari cara bersikap. Jangan hanya kerja keras tapi tidak tahu diri.”
Rania berhenti sejenak, tetapi tidak menoleh. Ia menguatkan hatinya, lalu keluar dan menutup pintu dengan perlahan.
Di luar, napasnya langsung tersengal.
Ia merasa seluruh dunia benar-benar menutup semua pintu untuknya. Namun entah mengapa, di balik rasa sakit yang luar biasa itu muncul pertanyaan di dalam hatinya.
"Apakah tempat ini masih pantas untuk kuperjuangkan?"
.
.
.
Jangan Lupa tinggalkan jejak...