di khianati dan di bunuh oleh rekannya, membuat zephyrrion llewellyn harus ber transmigrasi ke dunia yang penuh dengan sihir. jiwa zephyrrion llewellyn masuk ke tubuh seorang pangeran ke empat yang di abaikan, dan di anggap lemah oleh keluarga, bangsawan dan masyarakat, bagaimana kehidupan zephyrrion setelah ber transmigrasi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ncimmie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22
Matahari perlahan tenggelam, berganti dengan malam yang tenang. cahaya bulan memandikan istana velthoria dengan sinar pucat keperakan, ditemani ribuan bintang yang berkelip di langit gelap.
pintu kamar terbuka tanpa suara. alaric masuk dengan langkah ringan dan langsung mempersiapkan air mandi untuk pangerannya.
di atas kasur besar itu, seorang remaja masih tertidur lelap. rambut peraknya terurai berantakan menutupi sebagian wajahnya, membuat sosoknya tampak damai — sangat berbeda dari karakter aslinya yang keras dan penuh perhitungan.
setelah selesai menyiapkan air mandi, alaric mendekati kasur dan membungkuk sedikit. ia menyentuh bahu pangerannya dengan lembut.
“pangeran, ayo bangun. sudah waktunya makan malam.”
kelopak mata itu perlahan terbuka, memamerkan iris emas yang seolah memantulkan cahaya bulan. valerian menarik napas kecil, berusaha benar‐benar sadar, lalu bangkit duduk.
“air mandinya sudah siap?” suaranya serak, khas orang yang baru bangun.
“sudah, pangeran.” jawab alaric cepat dan sopan.
valerian mengangguk ringan, turun dari kasur dan berjalan menuju kamar mandi. sementara itu, alaric mengambil kemeja putih sederhana dan celana panjang hitam untuk dipakaikan nanti.
ketukan terdengar di pintu. alaric membukanya, mendapati seorang pelayan wanita dengan troli berisi hidangan hangat.
“ini makan malam pangeran yang anda minta, tuan kepala pelayan.” ucapnya dengan hormat.
“terima kasih. kau boleh kembali.”
pelayan itu membungkuk sebelum pergi. alaric mendorong troli masuk ke dalam kamar.
tak lama, valerian keluar dari kamar mandi dengan jubah mandi tipis yang menutupi tubuhnya. alaric menghampiri dan membantu sang pangeran memakai pakaian makan malamnya. ketika semuanya siap, valerian duduk di meja kecil di dekat jendela.
alaric menyajikan makanan satu per satu ke depannya dengan gerakan ringan namun penuh kehati-hatian.
“kau sudah makan, alaric?” tanya valerian tanpa menoleh.
“sudah, pangeran.” jawab alaric.
valerian menganggukkan kepalanya, lalu dengan tenang memotong daging dan menyuapkannya ke dalam mulut. ekspresinya tetap datar, tenang — seperti biasa — namun sorot emas di matanya menyiratkan sesuatu lain… pikiran yang belum berhenti bekerja meski tubuhnya sedang makan.
Selesai makan malam, alaric segera membereskan piring-piring itu dan membawanya ke dapur. begitu pintu tertutup, valerian berdiri dari kursinya dan berjalan ke ruang kerjanya — langkahnya mantap, seolah tubuhnya tidak mengenal rasa lelah.
ia kembali membuka buku-buku tebal di meja, halaman demi halaman penuh materi ujian akademi. cahaya lilin memantulkan sorotan emas matanya yang fokus, dingin, dan penuh ambisi.
“membaca buku ini bukan apa-apa bagiku,” gumam valerian pelan namun tegas, “tapi aku butuh guru privat untuk tata krama… dan pedang.”
ia memijat pelipisnya. ia tahu bahwa hanya mengandalkan kecerdasannya tidak cukup — ia harus tampil sempurna saat masuk akademi. ia harus mengalahkan semua orang sejak hari pertama.
sepertinya ia harus mendatangi ruangan raja untuk meminta guru privat.
pintu terbuka. alaric masuk sembari membawa nampan kecil berisi teh panas dan beberapa cemilan.
“pangeran, saya membawakan anda teh dan cemilan,” ujarnya sopan.
valerian menoleh. bukannya menyentuh teh, ia justru bertanya,
“alaric, kau tahu guru tata krama dan guru pedang yang pantas mengajariku?”
alaric berpikir sejenak, lalu menjawab mantap,
“Jika anda ingin belajar pedang, saya bisa merekomendasikan Duke Ravion… atau Sir Ezekiel, pangeran. Namun untuk tata krama — sepertinya saya belum menemukan yang cocok.”
“Sir Ezekiel?” ulang valerian pelan.
alaric mengangguk. “Sir Ezekiel adalah jenderal terhebat di Velthoria, pangeran. Semua prajurit yang dilatih olehnya dijuluki ‘pedang iblis’. Beliau tidak pernah menerima murid pribadi… tapi mungkin anda pengecualian.”
sebuah kilatan ambisi melewati mata emas itu — cepat dan tajam.
“sepertinya aku akan memintanya mengajariku berpedang.”
valerian mengambil pena dan menulis surat undangan dengan singkat namun penuh wibawa — perintah yang tidak bisa diabaikan. setelah menutup surat dengan segel pribadi pangeran ketiga, ia menyerahkannya pada alaric.
“berikan ini pada Sir Ezekiel,” ucapnya tanpa keraguan.
alaric membungkukkan badan.
“baik, pangeran.”
ia segera bergegas keluar untuk mengirim surat tersebut.
begitu pintu tertutup, valerian bersandar sejenak di kursinya. ambisinya terasa semakin realistis… semakin dekat.
“sir ezekiel… aku ingin melihat apakah legenda itu layak mengajariku.” bisiknya, sudut bibirnya terangkat tipis — senyum milik penguasa yang sedang membangun kekuatannya.
Lantai kamar dipenuhi bekas darah. bau logam menusuk udara. tubuh para pembunuh tergeletak dengan posisi yang mengenaskan — beberapa hangus terbakar, sebagian lainnya terluka parah akibat belati.
valerian berdiri tenang di tengahnya, napasnya masih sedikit berat, belati di tangannya meneteskan darah.
BRAK!
pintu kamar dibuka dengan cepat. alaric masuk dengan pedang di tangan, wajahnya tegang — ia jelas mendengar suara pertempuran.
“PANGER—”
kalimat itu terputus. alaric membeku, tubuhnya terasa dingin melihat apa yang ada di hadapannya.
lima mayat.
bau gosong.
lantai berlumur darah.
dan remajanya — pangeran ketiga — berdiri santai seperti sedang selesai berlatih, bukan baru saja bertarung untuk hidupnya.
pupil alaric mengecil.
“pangeran… apa yang terjadi…?”
valerian meliriknya sekilas. tanpa rasa tergesa. tanpa shock. tanpa takut.
“aku diserang,” jawabnya singkat.
tangan alaric bergetar — bukan karena takut pada valerian, tapi karena ia menyadari betapa besar ancaman yang kini mengincar tuannya.
ia berlutut mengecek salah satu tubuh assassin.
“pangeran… ini pembunuh kerajaan kelas tinggi. seseorang… benar-benar ingin anda mati.”
valerian menghela napas pelan lalu menghapus bercak darah di pipinya dengan ujung jarinya.
“tutup pintunya, alaric. jangan biarkan siapapun masuk.”
alaric bergerak cepat menutup pintu dan memasang penghalang suara sihir. setelah selesai, ia kembali menatap valerian — ada kelegaan bahwa pangerannya selamat, tapi juga ada rasa takut akan apa yang mungkin terjadi bila sedikit saja valerian terlambat bangun.
“pangeran… anda terluka?” suara alaric pelan, terdengar seperti orang yang menahan kekhawatiran.
valerian menggeleng. “hanya goresan kecil.”
alaric memandang belati di tangan valerian, lalu bangkai assassin yang terbantai tanpa teknik pedang yang benar.
pemicu kesadaran itu membuat tubuh alaric merinding:
pangerannya bukan hanya seorang bangsawan. dia pemburu. dia pembunuh terlatih.
valerian menyarungkan belati, lalu berjalan melewati alaric seolah semua ini hal biasa.
“bangunkan raven… dan panggil seluruh anggota,” katanya dingin.
“kita akan mengubur mereka sebelum matahari terbit.”
alaric mengangguk, tapi menahan sesaat sebelum keluar.
“pangeran… apakah anda tahu siapa yang mengirim mereka?”
valerian menoleh sedikit. Mata emas itu terlihat bukan milik seorang remaja — tapi milik predator.
“tentu saja aku tahu.”
ia menatap mayat-mayat itu dengan senyum dingin di ujung bibir.
“dan aku akan membiarkan mereka berpikir aku tidak menyadarinya dulu.”
darinya keluar aura haus balas dendam, namun penuh perhitungan.
“biarkan mereka merasa di atas… sampai waktunya aku jatuhkan.”
alaric merasakan bulu kuduknya berdiri — tapi ia menunduk hormat.
“baik, pangeran.”
ia pergi untuk menjalankan perintah.
valerian berdiri di tengah sisa pertarungan, menatap malam gelap lewat jendela.
“kalau kalian ingin permainan… kita akan bermain,” gumamnya.
malam itu, istana phoenix berubah menjadi sarang predator — bukan korban.