NovelToon NovelToon
Fajar Kedua Sang Sayyidah

Fajar Kedua Sang Sayyidah

Status: sedang berlangsung
Genre:Kontras Takdir / Kelahiran kembali menjadi kuat / Balas dendam dan Kelahiran Kembali / Fantasi Wanita / Balas Dendam / Mengubah Takdir
Popularitas:6.6k
Nilai: 5
Nama Author: INeeTha

Kematian seharusnya menjadi akhir. Bagi Sayyidah Yasmeen, pewaris takhta yang dikhianati, itu adalah sebuah awal.

Ia terlahir kembali dalam tubuh mungilnya yang berusia sepuluh tahun, namun dengan jiwa yang menanggung luka dan ingatan kelam akan masa depan. Ingatan akan ambisi keji ayahnya sendiri yang merenggut nyawanya, dan ingatan akan pengkhianatan dari sosok yang paling ia cintai—yang kelak menjadi algojonya.

Kini, di balik senyum polos seorang anak, tersembunyi pikiran seorang ratu yang sedang menyusun strategi. Setiap bisikan di lorong istana adalah petunjuk, setiap wajah adalah calon sekutu atau musuh tersembunyi. Ia harus meruntuhkan tirani dari dalam, menggagalkan persekongkolan sebelum terjadi, dan menulis ulang takdir dengan darah dan kecerdasan.

Namun, saat ingatan menjadi senjata paling mematikan dan musuh terbesar bersembunyi di balik kenangan manis, dapatkah Yasmeen merebut kembali mahkotanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Menjadi Janda Sebelum Menjadi Istri

"...Sultan—ayahanda Pangeran Harith, terkena serangan jantung serius. Beliau koma."

Hening.

Kata-kata Wazir Adil barusan seperti lonceng kematian yang memecah keributan di gerbang istana perunggu.

Khalī Tariq bergerak sigap, meletakkan tangan kekarnya di punggung kecil Yasmeen. Itu bukan pelukan untuk menghibur, tapi sebuah tiang sandaran. Isyarat bisu yang berkata: Jangan tumbang, Sayyidah. Berdiri tegak.

Koma.

Satu kata itu bergaung di kepala Yasmeen.

Di kehidupan sebelumnya, kematian Sultan adalah lonceng dimulainya neraka. Saat itu, Permaisuri Hazarah dan putranya, Harith, memerintah dengan tangan besi yang berlumuran darah.

Tapi kali ini, kiamat kecil itu datang lebih awal. Dan bedanya, Yasmeen tidak lagi berdiri di pojokan sambil menangis. Dia berdiri tepat di depan pintu gerbang kekacauan.

Mata Yasmeen beralih pada Wazir Adil. Pria gemuk itu basah kuyup oleh keringat dingin, wajahnya pucat pasi. Adil adalah anjing setia Permaisuri, tapi saat ini, ketakutannya terlihat murni.

"Kembalilah, Yang Mulia Sayyidah," suara Adil terdengar parau, memohon. "Permaisuri Hazarah sudah menutup semua akses ke istana utama. Situasinya kacau balau! Para Emir daerah mulai berdatangan cari muka. Tolong, kembali saja ke Nayyirah dan tunggu kabar."

Yasmeen tersenyum tipis.

Bukan senyum manis anak sepuluh tahun, melainkan senyuman miring seorang politisi ulung yang terjebak di tubuh mungil.

"Kau gemetar, Wazir Adil?"

"Ini bukan soal takut, Sayyidah!" sangkal Adil, berusaha memungut sisa-sisa harga dirinya. "Ini soal nyawa! Permaisuri Hazarah itu seperti hiu yang mencium darah. Bayangkan apa yang akan dia lakukan saat stres karena krisis ini!"

Yasmeen mengangguk pelan. Dia benar.

Tapi bagi Yasmeen, kekacauan bukanlah bencana. Kekacauan adalah tangga.

"Justru itu," jawab Yasmeen, suaranya tiba-tiba bergetar—akting sempurna seorang gadis kecil yang ketakutan. "Kalau aku pulang sekarang, Permaisuri akan mengira aku menolaknya. Dia akan mengirim pasukan untuk menjajah negeriku dengan alasan 'mengamankan wilayah'. Kau mau itu terjadi?"

Adil terdiam, skakmat oleh logika bocah sepuluh tahun.

Yasmeen menegakkan punggungnya, lalu melangkah maju membelakangi Tariq.

"Khalī Tariq," perintahnya tegas. "Suruh pasukan Al-Jarrah membuat benteng sementara di luar gerbang. Tidak ada yang boleh pulang. Sementara itu, kau dan aku akan masuk ke kandang singa ini bersama Wazir Adil."

Tariq memberi hormat cepat. Kilatan bangga terpancar di matanya. Loyalitas pria ini adalah fondasi di mana Yasmeen membangun takhtanya.

"Tunggu! Anda gila?" seru Adil panik. "Membawa pasukan militer asing masuk ke Ibukota saat raja sekarat? Istana akan menganggap ini invasi!"

"Mereka bukan orang asing," potong Yasmeen dingin. Tatapannya menajam, menusuk mata si pejabat gemuk. "Mereka pengawal pribadiku. Dan ingat ini, Wazir... aku di sini bukan sebagai putri bangsawan manja yang mau les tata krama. Aku di sini sebagai penguasa berdaulat."

Yasmeen berbalik menghadap Tariq. Dia sengaja mengeraskan suaranya agar semua telinga-telinga pengintai di sekitar mereka bisa mendengar.

"Khalī Tariq!"

"Siap, Sayyidah!"

"Mulai detik ini, di hadapan Wazir Adil, aku mengangkatmu sebagai Emir Wakiil. Kau adalah Penjabat Sementara Nayyirah. Kau pegang kendali penuh atas militer, uang, dan administrasi."

Yasmeen menatap tajam ke arah Adil yang melongo.

"Jadi, kalau terjadi sesuatu padaku di dalam sana... atau kalau ada surat 'resmi' aneh-aneh yang muncul tanpa tanda tangan Tariq, itu artinya palsu. Mengerti?"

Adil menelan ludah kasar.

Gila. Bocah ini benar-benar gila. Mengangkat kepala pengawal menjadi Emir Wakiil? Itu penghinaan bagi sistem politik Kekaisaran! Itu posisi untuk bangsawan tinggi, bukan prajurit rendahan!

"Itu melanggar protokol, Sayyidah!" protes Adil lemah.

"Nayyirah bukan budak protokolmu. Kami punya hukum sendiri," balas Yasmeen tajam, lalu menurunkan nada suaranya menjadi bisikan yang mengancam. "Dan tugasmu sekarang bukan menceramahiku. Tapi memberiku data."

"Data?"

"Bawa padaku semua laporan keuangan antara Nayyirah dan Ibukota selama enam bulan terakhir. Pajak, iuran air, tambang perak... aku mau tahu ke mana setiap keping uangku pergi."

"Itu dokumen rahasia negara! Hanya Sultan yang boleh lihat!"

"Sultan sedang tidur panjang," potong Yasmeen, meniru nada bicara dingin Harith di masa depan. "Apa aku harus kirim surat resmi bahwa kau, Wazir Adil, menghalangi hak waris seorang Emirah di tengah krisis? Kau mau Permaisuri Hazarah tahu kau mempersulit tamu pentingnya?"

Wajah Adil memucat. Di masa genting ini, satu kesalahan kecil bisa membuat kepalanya menggelinding.

"Baiklah... baiklah, Yang Mulia," desah Adil pasrah. "Saya carikan salinannya."

"Bagus. Jalan."

Mereka melangkah masuk ke halaman dalam Istana.

Yasmeen bisa merasakannya. Aura mencekam yang familiar.

Pelayan menangis di sudut-sudut, para pejabat berbisik panik, tapi yang paling mencolok adalah para penjaga.

Seragam emas pasukan Kekaisaran sudah lenyap. Gantinya? Pasukan berzirah hitam legam dengan lambang Elang Merah.

Pasukan pribadi Harith.

"Lihat, Khalī," bisik Yasmeen. "Ayahnya belum meninggal, tapi Harith sudah mengudeta istananya sendiri."

Tariq mengangguk waspada, tangannya tak jauh dari gagang pedang. "Dia predator yang cepat. Dia sudah siap sejak lama."

Yasmeen dibawa ke Sayap Timur. Tempat ini dingin, suram, dan jauh dari kemewahan istana utama. Jelas sekali Permaisuri Hazarah menempatkannya di sini untuk diabaikan.

Tapi Yasmeen tidak peduli.

Saat Wazir Adil kembali dengan napas ngos-ngosan membawa tumpukan perkamen, mata Yasmeen berbinar.

"Ini ringkasan dua belas bulan terakhir," kata Adil sambil menyerahkan dokumen itu dengan tangan gemetar. "Tolong jangan sampai ketahuan..."

Yasmeen mengambilnya. Tangannya yang kecil menahan beban berat perkamen itu. Dia baru saja membuka halaman pertama yang berjudul 'Proyeksi Pendapatan Pasca Pernikahan Harith', ketika...

BRAK!

Pintu ruangan itu terbanting terbuka.

Suara langkah kaki berat sepatu bot militer menggema, memecah keheningan Sayap Timur.

Bukan pelayan. Bukan Wazir.

Di ambang pintu, berdiri sesosok pria muda berzirah hitam. Tinggi, tegap, dengan wajah tampan yang seolah dipahat dari es. Matanya tajam, memancarkan kecerdasan yang mematikan sekaligus arogansi seorang penakluk.

Emir Harith Al-Qaim.

Calon suaminya di masa lalu. Pembunuh harapannya. Dan ancaman terbesarnya saat ini.

Jantung Yasmeen berhenti sejenak. Dia masih sama memukaunya—dan sama kejamnya.

Harith melangkah masuk, mengabaikan Tariq yang sudah siap mencabut pedang, mengabaikan Adil yang nyaris pingsan ketakutan. Dia berjalan lurus ke arah Yasmeen seolah dia pemilik semesta.

Aroma tubuhnya—campuran kayu cendana dan besi dingin—langsung menusuk indra penciuman Yasmeen saat pria itu mencondongkan tubuh, wajahnya hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajah Yasmeen.

"Kau baru sampai," suara Harith rendah, berat, dan penuh kuasa. "Dan hal pertama yang kau lakukan bukan menangis atau berdoa, tapi mengecek dompetmu?"

Harith melirik perkamen di tangan Yasmeen. Tariq bergerak maju, tapi Yasmeen mengangkat tangan, menahannya.

Yasmeen menatap balik mata cokelat gelap itu. Dulu, dia tenggelam dalam tatapan itu karena cinta. Sekarang? Dia harus menghancurkan ilusi itu.

"Saya Emirah Nayyirah, Yang Mulia," jawab Yasmeen, memasang topeng wajah polos namun nadanya menantang. "Wajar kan saya memeriksa aset saya sendiri? Lagipula, jika Sultan sedang... berhalangan, seseorang harus memastikan uangnya tidak hilang, bukan?"

Senyum miring yang berbahaya terukir di bibir Harith.

"Tentu saja," bisiknya dingin.

Dengan gerakan secepat kilat, Harith merampas gulungan perkamen dari tangan Yasmeen.

"Aku dengar kau cukup kejam untuk anak seusiamu. Mengasingkan ayah kandungmu sendiri?" Harith terkekeh pelan, suara yang membuat bulu kuduk merinding. "Itu bakat yang bagus. Tapi itu tidak akan menyelamatkanmu dariku, Yasmeen."

Pria itu mencondongkan wajahnya lagi, matanya mengunci Yasmeen dalam dominasi mutlak.

"Kau tahu kau tidak bisa lari. Kau akan tetap menikahiku. Cepat atau lambat."

"Saya belum setuju—"

"Aku tidak butuh persetujuanmu, aku butuh kepatuhanmu," potong Harith tajam. Tatapannya berubah intens, membakar. "Kekaisaran butuh stabilitas, dan aku adalah stabilitas itu."

Harith melempar perkamen itu kembali ke pangkuan Yasmeen dengan kasar.

"Tapi aku bosan dengan wanita yang cuma bisa berdandan. Ayahku sekarat, dan kau datang di waktu terburuk. Ini peluangmu, Gadis Kecil."

Harith membungkuk, bibirnya tepat di samping telinga Yasmeen, berbisik dengan nada yang terdengar seperti rayuan maut.

"Buktikan kau bukan sekadar boneka cantik. Besok, saat matahari terbit, temui aku."

Harith menegakkan tubuhnya, menatap Yasmeen dengan tatapan merendahkan namun menantang.

"Di antara semua angka membosankan di kertas itu... temukan satu rahasia paling mematikan yang disembunyikan Nayyirah dari Ibukota. Satu hal yang bisa membuatku berpikir dua kali untuk menjajah negerimu."

Harith menyeringai, sebuah ancaman terselubung.

"Kau punya waktu sampai fajar. Kalau kau gagal... bersiaplah menjadi janda sebelum kau sempat menjadi istri."

1
zaxviq
patriarki sekali lagi ide ini memang menguasai, keren Thor.
Sita Sakira
woii thor novel kamu yg ini bener bener haaaaa sukaa deg degan dan baru ini aku baca novel tentang timur tengah gini seruuu polll. pliss rajin rajin up hahahah sehat selalu yaa thor🤗
INeeTha: Terima kasih kaka... Baru ini komentar ada yang enggeh kalau ini cerita timur tengah... 🙏🙏🙏
total 1 replies
Melody Aurelia
aslinya cuma alat anak ini, dipake bapaknya yg maruk
Melody Aurelia
lah itu puterinya satu lagi piye?
Melody Aurelia
serem
Melody Aurelia
klan asalnya Zahir berarti ya?
Melody Aurelia
cape banget pasti jadi Yasmeen
Melody Aurelia
lagian ngga tau diri kau
Melody Aurelia
masih halus, nih mainnya
Melody Aurelia
aku bayanginya ko lucu, bocil ngasih perintah orang2 tua
Melody Aurelia
Zahir itu wali tapi berasa yang punya
Melody Aurelia
mulai tegang, penuh intrik politik sepertinya ini
Melody Aurelia
kasian baru 10 tahun udah ngurus pemerintahan
Melody Aurelia
Thor tanggung jawab... bawangnya kebanyakan disini... ku menangissss👍
Melody Aurelia
lah pede banget lo
Melody Aurelia
keren
Melody Aurelia
bedalah... baru balik dari akhirat nih😍😄
Melody Aurelia
khas banget... ide cowo lebih unggul dari cewek, kesel jadinya
SintabelumketemuRama
ini panglima tapi gampang panik😄
SintabelumketemuRama
mantappp
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!