Seharusnya kehidupan Serena sempurna memiliki kekasih tampan dan kaya serta mencintainya, dia semakin yakin bahwa cinta sejati itu nyata.
Namun takdir mempermainkannya ketika sebuah malam kelam menyeretnya ke dalam pelukan Nicolás Navarro—paman dari kekasihnya, pria dewasa yang dingin, berkuasa, dan telah menikah lewat perjodohan tanpa cinta.
Yang terjadi malam itu seharusnya terkubur dan terlupakan, tapi pria yang sudah memiliki istri itu justru terus menjeratnya dalam pusaran perselingkuhan yang harus dirahasiakan meski bukan kemauannya.
“Kau milikku, Serena. Aku tak peduli kau kekasih siapa. Malam itu sudah cukup untuk mengikatmu padaku... selamanya.”
Bagaimana hubungan Serena dengan kekasihnya? Lantas apakah Serena benar-benar akan terjerat dalam pusaran terlarang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Neon Light, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15
Sementara itu, di ruang VVIP sebuah restoran bergaya modern, Nicholas sudah lebih dahulu tiba untuk menghadiri pertemuan bisnis penting sesuai dengan perintah Julian.
Pakaian formal dengan sentuhan kasual—kemeja hitam dan jas abu-abu membuat sosoknya terlihat berwibawa namun tetap tenang. Di tangannya, sebuah tas kerja berwarna hitam tampak terjaga rapi.
Dua pria yang telah menunggunya berdiri menyambut ketika Nicholas melangkah masuk. Ruangan itu beraroma wangi tembakau mahal, dengan lampu gantung berwarna keemasan yang menyoroti meja marmer di tengah.
“Maaf membuat Anda menunggu,” ucap Nicholas tenang sembari mengambil tempat duduk.
“Tidak masalah, Tuan Nicholas,” jawab pria berkumis tebal yang mengenakan jas abu-abu. “Kami sudah menyiapkan dokumen kerja sama seperti yang disepakati.”
Nicholas membuka tasnya dan mengeluarkan map berisi berkas hasil rancangan timnya. Ia mendorong map tersebut ke arah mereka. “Semua laporan sudah disusun dengan rapi. Termasuk revisi perjanjian lisensi dan pembagian hasil proyek.”
Pria berkumis itu tersenyum tipis. “Kami sudah meninjau. Namun, ada sedikit perubahan yang mungkin lebih menguntungkan pihak Anda—tentu saja, bila Anda bersedia menyesuaikan beberapa data produksi.”
Alis Nicholas menegang. “Menyesuaikan data? Maksud Anda memanipulasi hasil audit?”
“Kami hanya ingin efisiensi administrasi. Lagipula, tidak ada yang akan tahu. Keuntungan bersih bisa meningkat dua kali lipat,” sahut pria satunya lagi yang mengenakan jas biru tua.
Nicholas menatap keduanya dengan pandangan dingin. “Perusahaan saya tidak berdiri untuk menipu angka. Kami tumbuh dari reputasi dan kejujuran, bukan permainan kotor seperti itu.”
Kedua pria itu saling pandang. “Tuan Nicholas, Anda terlalu kaku. Dunia bisnis tidak hanya tentang idealisme. Kadang, sedikit kelonggaran dibutuhkan.”
Nicholas menyilangkan tangan, nada suaranya mulai tegas. “Kelonggaran tidak berarti mengorbankan integritas. Jika Anda berniat mengajukan kerja sama dengan dasar kecurangan, sebaiknya kita akhiri pembicaraan ini.”
Pria berkumis itu tersenyum miring. “Sayang sekali, padahal kami sudah menyiapkan nominal cukup besar untuk biaya proyek ini.” Ia meletakkan amplop tebal di atas meja.
Nicholas hanya menatap benda itu tanpa menyentuhnya. “Anda pikir saya bisa dibeli dengan uang? Saya rasa pertemuan ini sudah selesai.”
Ketika Nicholas hendak berdiri, pria berjas biru mencoba menahan. “Tunggu dulu, Tuan Nicholas. Setidaknya lihat dulu apa yang kami tawarkan.”
Nicholas menatap tajam. “Tidak perlu. Tapi sebelum saya pergi, izinkan saya mengingatkan—jangan sekali pun mencoba menipu saya.”
Sebelum langkahnya meninggalkan ruangan, matanya menangkap sekilas isi amplop yang terbuka karena tersenggol. Uang di dalamnya tampak mencurigakan, sebagian bahkan tidak memiliki watermark resmi.
Dia berbalik perlahan. “Bahkan sogokan Anda pun palsu. Hebat sekali, kalian berani menipu di depan saya.”
Nada suaranya rendah, tapi penuh tekanan. Kedua pria itu kehilangan kata-kata. Nicholas mendekat, menatap mereka tanpa amarah yang meledak—justru dengan dingin yang menusuk.
“Sampaikan pada atasan Anda,” ucapnya tenang, “jangan pernah mencatut nama perusahaan saya untuk proyek murahan seperti ini.”
Setelah itu, Nicholas melangkah keluar dengan langkah mantap, meninggalkan kedua pria yang kini terdiam dengan wajah pucat. Amplop berisi uang palsu tertinggal di atas meja, menjadi bukti kebodohan mereka yang mencoba mempermainkan orang yang salah.
*
*
Keesokan harinya, meskipun kepalanya terasa berat akibat sisa alkohol malam sebelumnya, Serena tetap memaksakan diri berangkat ke kampus. Wajahnya tampak pucat.
Namun, Serena berusaha menyembunyikannya dengan senyum seadanya. Setelah menyelesaikan satu sesi bimbingan, dia berjalan beriringan dengan Gaby menuju kantin.
Di tengah langkah, ponselnya berdering. Nama yang muncul di layar membuatnya mengerutkan dahi.
“Miss? Tumben sekali menelepon,” ucap Serena setengah malas.
“Coba diangkat saja,” kata Gaby sambil mengangkat alis. “Siapa tahu penting.”
Serena menarik napas pendek dan menggeser layar. Dari seberang, suara lembut Miss Celestine terdengar serius, meminta Serena segera datang ke ruang dosen. Tanpa penjelasan panjang.
“Aku ke ruangan Miss dulu ya, Gab. Katanya penting,” ucap Serena sebelum berbalik arah.
“Ditemani?” tawar Gaby.
“Tidak perlu, bye!” Serena terus semakin menjauh.
Ruangan dosen di lantai dua terasa tenang dan dingin. Aroma kopi memenuhi udara. Di dalam, Celestine sedang berbicara melalui telepon, suaranya terdengar tegas namun tetap sopan.
“Pastikan hari ini anak itu mendapatkan pendamping belajar,” suara berat dari seberang terdengar jelas—suara Antonio.
“Baik, akan saya carikan yang terbaik,” jawab Celestine sebelum menutup panggilan itu.
Tak lama kemudian, Serena mengetuk pintu. “Miss, ada apa memanggil saya?”
“Duduklah, Se,” ucap Celestine. “Paman kamu sudah bercerita. Dan Miss juga sudah memberitahukan tetang beberapa nilaimu yang menurun dan beliau meminta Miss untuk mencarikan guru pembimbing agar kamu bisa memperbaikinya.”
“Miss, kenapa Paman selalu ikut campur urusan saya? Bahkan saya tidak pernah diberi kesempatan menentukan pilihan saya sendiri.”
“Serena,” nada Celestine berubah lembut namun tegas. “Pamanmu hanya ingin yang terbaik. Dia tidak ingin kamu menyia-nyiakan kesempatan yang orang lain perjuangkan. Kamu harusnya bersyukur, bukan mengeluh. Hidup ini bukan tentang kebebasan tanpa tanggung jawab.”
Serena menunduk. Dalam diam, dia tahu ucapan itu ada benarnya. Namun perasaannya tetap berontak. Dia lelah dijadikan proyek kesempurnaan keluarga.
“Miss juga sudah mendapatkan teguran dari pemilik kampus, kemungkinan dia sendiri yang tersedia menjadi pendamping kamu untuk memperbaiki nilai, sebentar lagi orangnya datang, pastikan kamu menjaga tutur kata kamu terhadapnya! Miss tidak mau kamu berbuat ulah padanya dan berimbas pada Miss! Paham?” Celestine pun memberikan sebotol minum untuk keponakannya.
Serena belum sempat menjawab ketika pintu ruangan terbuka. Suara langkah berat terdengar, disusul sosok lelaki berjas hitam yang berjalan dengan wibawa tegas.
Serena menoleh—dan seluruh napasnya tertahan. Nicholas berdiri di ambang pintu, ekspresinya dingin, tatapannya menusuk seperti bilah kaca.
“Kamu?” suara Serena nyaris bergetar. “Miss… jangan bilang, orang ini?”
“Silakan duduk Tuan Nicholas!” ujar Celestine dengan ramah mengabaikan ucapan Serena. Lantas memperkenalkan dengan Serena pada Nicholas. “Ini mahasiswinya, bernama Serena Salvatierra, tidak ada kasus selama dia menjadi mahasiswa kampus, hanya saja pihak adminitrasi mengkonfirmasi untuk membatasi akses, karena beberapa nilai mulai menurun hingga wakilnya meminta saya mengurusnya.”
Nicholas dengan ciri khasnya, dingin dan berkharisma. Dia menatap Serena sambil mendengarkan setiap kata Celestine—salah satu pengajar di universitasnya.
Celestine pun menatap Serena dan memberikan kode agar wanita itu berlaku sopan menyapa pada Nicholas. “Hmm, Serena! Ini Tuan Nicholas, beliau pemilik kampus ini dan Beliau juga yang akan turun tangan langsung.”
“What?”
Serena mematung keheranan, dia tidak habis pikir bagaimana bisa Nicholas seorang CEO yang tekenal ambisius dan memiliki seorang istri, ternyata juga sebagai pemilik kampus tempat dia belajar?
Bahkan Nicholas sendiri yang akan mengurusnya sedangkan mereka pernah terlibat satu malam.
“Miss, Maaf, Se nggak mau. Bisa ti—”
Celestine yang melihat sikap perilaku keponakan yang begitu berterus terang, langsung menegurnya. “Serena, Jaga sopan santun kamu!”
“Tapi Miss, saya—”
To be continued