NovelToon NovelToon
Dunia Raka

Dunia Raka

Status: sedang berlangsung
Genre:Perperangan / Penyelamat / Action / Spiritual / Epik Petualangan / Fantasi
Popularitas:272
Nilai: 5
Nama Author: Lukman Mubarok

Kisah perjalanan Raka melakukan ujian Prahya sebelum resmi menjadi Rasi seorang guru Spiritual.

Perjalanan terkadang tidaklah mudah tapi bisa melewatinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.

Kisah ini ada di zaman neolitikum atau zaman batu muda dimana orang orang berpindah tempat nomaden kini menetap peralatan dan berburu masih sederhana menggunakan batu di poles halus menjadi pisau batu, tombak batu dan panah batu.

Tapi ada satu Kerajaan besar zaman neolitikum yang sangat maju peradabannya bahkan sangat di takuti suku suku lain dan bahkan di negeri lain.

Kerajaan itu adalah Lakantara berdiri di atas tanah dengan tembok melingkar konsentris lapis ada 5 tembok dgn status yang berbeda.

Sudah mengenal sistem irigasi, pertanian, sosial, ekonomi dan senjata yang terbuat dari perunggu yang lebih keras dari senjata batu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukman Mubarok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5 - Ujian Prahya

‎Kabut pagi menipis di lereng timur Gunung Salak.

‎Embun menetes dari ujung daun, berkilau tertimpa cahaya lembut yg menembus celah awan kanopi.

‎Raka berdiri di tepi jurang, menatap lembah luas yang belum pernah ia jelajahi.

‎Udara lembap terasa berat, seolah setiap hembusnya membawa suara-suara purba dari dalam bumi.

‎Inilah hari pertamanya menapaki Prahya ujian suci yang akan menentukan apakah layak mengikuti jejak sang Ranu Lahu.

‎Raka berjongkok di bawah naungan pohon besar, mengumpulkan serbuk halus dari batang mati yang terbelah dua

‎Serbuk itu kering di dalam, terlindung dari embun dan waktu. Ia menaruhnya di atas daun sukun kering, untuk di gunakan saat Rawaning tiba.

‎Raka menuruni jalan setapak yang berliku, melewati pepohonan raksasa dan bebatuan yang tergores pola aneh seperti guratan tangan manusia zaman lampau.

‎Burung-burung kecil terbang menjauh seolah menghindari sesuatu.

‎Hening, hanya terdengar langkahnya sendiri di antara dedaunan basah.

‎Menjelang tengah hari, ia tiba di sebuah dataran lembah dan sunyi.

‎Angin berhenti sejenak, daun-daun menggantung diam.

‎Dari dalam dadanya sendiri, terdengar suara yang bergema bukan dari langit, bukan dari bumi:

‎"Wahyu tidak menampakkan diri pada yang mencari kekuatan,

‎tapi pada yang rela kehilangan segalanya.”

‎Raka menatap sekeliling, tapi tak ada siapa-siapa.

‎Dadanya bergetar.

‎Ia tahu, ujian Prahya telah dimulai.

‎Rawaning turun perlahan, menandai datangnya malam dan hutan berubah menjadi samudra hitam.

‎Kabut menggantung di antara batang-batang pohon, membuat jarak pandang tak lebih dari beberapa langkah. Tak ada cahaya, hanya dengus angin dan nyanyian serangga yang mengisi kegelapan.

‎Raka menemukan getah pohon pohilon batangnya berbentuk spiral seperti lilitan tali dan daunnya lebar seperti daun sukun, mengambil getah yang awalny putih jadi coklat keemasan.

‎Ia menaruhnya di atas daun sukun kering, lalu memutar dua batang kecil di antara telapak tangannya.

‎Asap tipis muncul, kemudian bara kecil menyala di tengah serbuk.

‎Raka meneteskan sedikit getah Pohilon ke atasnya getah yang pekat dan beraroma tajam. Bara itu tiba-tiba hidup, merayap perlahan, lalu menyala jadi api kecil yang hangat.

‎“Api hanya mau lahir dari kayu yang pernah mengenal cahaya,” bisik Raka, mengulang ajaran para Rasi.

‎Dan di tengah lembab yang nyaris abadi itu, nyala kecil dari getah Pohilon menolak padam seperti hati manusia yang tak ingin menyerah pada gelap.

‎Ia menunduk. Api kecil di depannya padam, meninggalkan asap tipis yang melingkar seperti kabut di kaki lembah. Dalam gelap yang hening itu, Raka mengerti satu hal: jalan Prahya bukan untuk mencari kuasa, melainkan untuk menguji seberapa dalam seseorang mampu kehilangan tanpa binasa.

‎ “Wahyu tidak menampakkan diri pada yang mencari kekuatan,

‎tapi pada yang rela kehilangan segalanya.

‎Hanya mereka yang menyucikan diri dapat menapaki jejak Sang Penerima Wahyu.”

‎Raka tersentak, membuka mata, menatap sekeliling.

‎Tak ada siapa-siapa.

‎Namun kata-kata itu terasa nyata, seperti pernah ia dengar lama sekali, dari suara Rasi Laka ketika masih di puncak Gunung Salak.

‎Ia tahu, itu bukan wahyu baru, melainkan gema dari ajaran lama suara masa lalu yang datang bukan untuk memberi jawaban, tapi mengingatkan agar ia tidak tersesat oleh hasratnya sendiri.

‎Kabut pagi masih menggantung di antara pepohonan. Cahaya matahari menembus celah dedaunan dalam garis-garis tipis. Udara dingin menusuk kulit, tapi wangi tanah basah membuat dada terasa lapang. Di kejauhan, suara burung bersahutan menandai awal hari di dunia yang belum tersentuh waktu.

‎Raka duduk bersila, mencoba mengingat setiap ajaran yang pernah diucapkan Rasi Laka tentang keseimbangan, tentang jiwa, tentang jalan sunyi menuju Prahya. Namun semakin keras ia mengingat, semakin jauh rasanya ia dari ketenangan.

‎Ia menatap tangannya sendiri.

‎Luka gores di tapak tangan masih belum kering, tanda latihan hari sebelumnya.

‎“Apakah ini yang disebut ujian?” gumamnya pelan.

‎“Atau hanya rasa sepi yang terlalu panjang?”

‎Hening menjawabnya.

‎Lalu, di antara desau angin yang menembus sela pepohonan, sesuatu bergema dari dalam dirinya sendiri.

‎Raka melangkah pelan di antara pepohonan tinggi, udara lembab menempel di kulitnya.

‎Ia berbicara sendiri, suaranya nyaris tenggelam di antara desau angin:

‎“Meteor hijau… jatuh di malam aku lahir. Api hijau turun ke bumi… tapi kenapa Rasi Laka tak pernah menjelaskan akhirnya?”

‎Matanya menatap ranting-ranting yang mulai menumbuhkan tunas baru musim pertama musim saat ia terlahir. Setiap daun, setiap embun yang jatuh seolah menjadi tanda alam, mengingatkannya pada wahyu yang samar itu.

‎Raka menutup mata sejenak, mengulang-ingat ucapan Rasi Laka:

‎ “Tanda itu sudah terjadi… tapi akhir wahyu… terlahir seorang anak… itu bukan untukmu untuk kau ketahui sekarang.”

‎Ia menghela napas, merasa terkekang antara rasa ingin tahu dan perintah sang guru.

‎Rasi Laka memilih menghindar, meninggalkan misteri yang harus Raka pahami sendiri di perjalanan Prahya.

‎Langkahnya kembali mantap.

‎Meskipun rasa penasaran membakar dada, ia tahu satu hal: jalan Prahya bukan hanya tentang mengetahui wahyu, tapi belajar menapaki jejak tanda-tanda alam dan menguji keteguhan hati sendiri.

‎Daun-daun basah bergeser pelan oleh angin, dan di kejauhan, lembah tampak sunyi, seperti menunggu Raka menemukan jawaban yang tak diucapkan oleh sang guru.

‎Raka berhenti di tepi sungai kecil, air jernih beriak perlahan.

‎Ia mengumpulkan beberapa umbi talas, membersihkan tanah yang menempel, lalu menaruhnya sehelai kain pembungkus sebagai perbekalan.

‎Beberapa ranting kayu kering ia ambil untuk dijadikan api semalam dan sebagai barang tukar jika diperlukan.

‎Setelah itu, Raka berhenti sejenak, menatap pakaiannya yang krem pucat. Ia mengingat pesan Rasi Laka: “Jangan membuka diri siapa gurumu atau siapa muridnya. Selalu menyatu dengan alam, tapi tetap tersembunyi.”

‎Dengan hati-hati, ia mengoleskan getah pohilon ke kainnya, menatap warnanya yang perlahan menjadi coklat tua.

‎Seolah olah ia sedang menghapus masa lalunya sendiri.

‎Kini, ia bisa berjalan tanpa mudah dikenali, menyatu dengan hutan purba yang masih sunyi dan lembab.

‎Raka menarik napas panjang, lalu melanjutkan perjalanan.

‎Setiap langkahnya terdengar lembut di antara daun basah dan ranting kering.

‎Ia tahu, setiap tindakan kecil memilih umbi, menyiapkan api, menyamarkan diri adalah bagian dari ujian Prahya, bagian dari pembelajaran untuk menjadi murid yang mampu menapaki jejak Ranu Lahu.

‎Sudah hampir setengah musim sejak Raka memulai ujian Prahya.

‎Ia berjalan perlahan, sambil mengingat ucapan Pohon Sajar:

‎“Di timur, suku Yaka menebang pohon dengan kasar, tanpa izin Sang Pencipta. Kau harus waspada, Raka.” ucap dalam hati Raka.

‎Raka mengerutkan dahi. Gelang akar Sajar yang melingkar di pergelangan tangannya belum menampakkan tanda-tanda bersuara seperti yang dijanjikan. Selama ini, tidak ada bisikan, tidak ada getaran, meski ia selalu memakainya.

‎Raka berhenti di bawah pohon raksasa, batangnya tebal dan kulitnya bertekstur kasar. Dengan ragu, ia menempelkan tangannya ke kulit pohon, menelusuri tapak-tapak yang tampak seperti guratan alami. Seketika, gelang akar Sajar bergetar halus, dan suara lembut namun tegas memenuhi pikirannya:

‎“Raka… kau mendengar aku sekarang. Pohon Sajar bicara padamu karena hatimu terbuka. Dengarkan baik-baik. Apa yang kau lihat dan rasakan akan menjadi pelajaran, bukan hanya untukmu, tapi untuk semua yang hidup.”

‎Raka tertegun, menatap batang pohon. Getaran dari gelang mengalir ke tangannya, seolah akar-akar halus menyambung langsung ke kesadaran pohon Sajar. Suara itu tidak keluar dari mulut, tapi langsung masuk ke pikirannya.

‎“Timur… Suku Yaka… mereka mengabaikan aturan Sang Pencipta. Kau harus peka terhadap tanda-tanda alam. Setiap pohon, setiap daun yang patah… adalah pesan yang harus kau baca.”

‎Raka menelan ludah, perlahan menyadari kekuatan gelang akar Sajar: bukan untuk memaksa, bukan untuk memberi jawaban instan, tapi untuk menghubungkan hati dan pikiran dengan alam.

‎ _____

‎Raka melangkah perlahan ke arah timur, mengikuti petunjuk kecil yang hanya bisa dirasakannya melalui tanda-tanda alam. Ia tak tahu berapa musim perjalanan ini akan memakan waktu, hanya berjalan dengan kesabaran dan hati-hati.

‎Dari arah sungai terdengar suara tawa dan obrolan anak-anak.

‎Tiga anak kecil melintas sambil membawa ikan hasil tangkapan, wajah mereka basah oleh percikan air.

‎Raka bersembunyi di balik semak, memperhatikan dan menguping.

‎“Kakekku pernah melihat bulan… bundar sempurna!” kata anak pertama sambil meragakan dengan jarinya membentuk lingkaran.

‎“Nggak! Kakek buyutku bilang bulan itu seperti daun setengah, selalu berubah-ubah!” bantah anak kedua.

‎Anak ketiga menggeleng, “Kakekku tidak pernah lihat bulan. Tapi matahari di siang hari… rasanya hangat di kulit, tapi kalau lama-lama… panasnya seperti dekat api unggun.”

‎Mereka tertawa kecil, lalu berlari di tepian sungai sambil menenteng ikan.

‎Namun bagi Raka, kata-kata mereka terasa seperti gema dari masa lampau seperti bisikan dunia sebelum awan menutup langit.

‎Raka tersenyum tipis di balik daun. Suaranya sederhana, tapi sarat makna. Anehnya, beberapa kata-kata yang mereka ucapkan mengingatkannya pada wahyu yang pernah dihafalkan, petunjuk yang tersembunyi dalam bentuk cerita biasa, dituturkan secara alami oleh generasi muda.

‎Ia berjalan perlahan sambil mendengarkan, menyadari satu hal: bahwa tanda dan wahyu bisa muncul dari hal-hal paling sederhana, bahkan dari cerita anak-anak yang bermain di sungai.

‎Raka menarik napas, melangkah pelan sambil menatap anak-anak itu menjauh. Setiap kata yang ia dengar menjadi petunjuk bagi hatinya dan indera yang tajam bahwa memahami dunia tidak selalu dari perkataan resmi atau ajaran guru, tapi dari apa yang bisa dirasakan, dilihat, dan diingat dari pengalaman sehari-hari.

‎Raka menatap arus sungai yang perlahan membawa pantulan cahaya samar dari celah kanopi.

‎Kata-kata anak-anak tadi masih terngiang di kepalanya: bulan, matahari, cahaya.

‎Lalu, di dalam pikirannya, suara Rasi Laka bergema lembut tapi dalam, seolah datang dari masa yang sudah tenggelam:

‎“Kami jadikan bulan dan bintang sebagai tanda datangnya musim dan petunjuk, dan begitu juga matahari.”

‎Raka memejamkan mata.

‎Kini ia mengerti, bukan cahaya yang hilang dari langit tetapi manusia yang telah lama kehilangan ingatan tentang arah dan waktu.

‎Awan kanopi hanya tirai, menutupi langit agar manusia belajar membaca tanda dari bumi, dari daun, dari air, dari batu.

‎Ia menarik napas panjang.

‎Setiap langkahnya di bawah kanopi kini terasa bukan sekadar perjalanan ujian, tapi juga ziarah menuju kebenaran lama yang tertutup kabut.

‎Raka menatap ke atas. Langit tertutup kanopi awan tebal, membuat dunia seolah berada di bawah atap raksasa. Warna langit tampak abu-abu dengan semburat hijau samar, persis seperti yang pernah didengarnya dari Rasi Laka.

‎Selama hidupnya, Raka belum pernah melihat langit secara langsung, belum pernah merasakan cahaya matahari atau sinar bulan.

‎Semua yang ia ketahui tentang langit hanyalah melalui cerita dan pelajaran guru, melalui gema ajaran yang menuntun hati dan inderanya.

1
Adrian Koto
gaya penulisannya asik jg. mengalir 👍
Lukman Mubarok: 🙏Terimakasih kak
total 1 replies
Nixney.ie
Mesti dibaca ulang!
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
Tít láo
Gak bisa move on! 😍
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!