Angelo, yang selalu menyangkal kehamilannya, melarikan diri setelah mengetahui bahwa ia mengandung anak Maximilliam, hasil hubungan semalam mereka. Ia mencari tempat persembunyian terpencil, berharap dapat menghilang dan menghindari konsekuensi dari tindakannya. Kehamilan yang tak diinginkan ini menjadi titik balik dalam hidupnya, memaksanya untuk menghadapi kenyataan pahit dan melarikan diri dari masa lalunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Novianti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Vacation, relieve stress ll.
Setelah Angelo sedikit tenang, Jacob membawanya masuk ke dalam rumah mewah itu. Di ruang keluarga yang luas, Kakek Xavier dan yang lainnya sudah menunggu dengan raut wajah cemas. Aroma teh chamomile dan kue kering buatan Bibi Emma memenuhi ruangan, mencoba menenangkan suasana tegang.
"Kau sudah merasa lebih baik, sayang?" tanya Bibi Emma dengan lembut, suaranya seperti beludru yang menenangkan. Mata hangatnya menatap Angelo penuh perhatian.
Angelo mengangguk pelan, sebuah senyum tipis—seperti matahari mengintip dari balik awan—muncul di bibirnya. "Aku sudah lebih baik, Bibi," jawabnya lirih. Jemarinya masih sedikit gemetar, namun matanya sudah tidak lagi berkaca-kacaca.
Tiba-tiba, Jacob bersuara, suaranya tegas namun dipenuhi kekhawatiran. "Aku akan membawa Angelo kembali ke Rusia."
Bukan hanya Kakek Xavier dan yang lainnya, Angelo pun tersentak kaget. Ekspresi terkejutnya terlihat jelas. "Kak Jacob..." suaranya bergetar, memanggil pamannya dengan penuh harap dan sedikit kecemasan.
Jacob menatap Angelo dengan tatapan penuh kasih sayang. "Kau akan selalu mengingat perkataan orang-orang itu jika tetap di sini. Mungkin kau butuh suasana baru. Aku sudah menyelesaikan pembangunan villa milikmu di tepi Danau Baikal, di kelilingi pepohonan pinus yang menjulang tinggi. Kau mungkin butuh suasana damai, dan di sanalah tempat yang cocok untukmu menenangkan diri. Udara segar dan pemandangan yang indah akan membantumu melupakan semuanya."
Angelo menggeleng, air matanya kembali mengancam. "Aku akan pergi sendiri, Kak Jacob. Persiapan pernikahanmu dengan Janet sudah dekat, aku tidak ingin merepotkanmu atau menunda hari bahagianya karenaku." Suaranya bergetar menahan isak tangis. Dia tidak ingin pernikahan pamannya terganggu karena dirinya.
"Aku..." Jacob memulai, namun suaranya terpotong oleh Maximillian yang tiba-tiba maju selangkah.
Maximillian, dengan tatapan yang penuh determinasi, merangkul pinggang Angelo dengan lembut namun tegas. "Aku yang akan menjaga Angelo. Aku yang akan pergi bersamanya." Suaranya tenang namun penuh keyakinan, menandakan tekadnya untuk melindungi Angelo. Sebuah pernyataan yang membuat semua orang di ruangan itu terdiam, menatap mereka berdua dengan berbagai macam ekspresi.
. . .
Setelah perbincangan alot tentang keputusan Angelo untuk kembali ke Rusia bersama Maximillian, keduanya kini duduk berdampingan dalam pesawat pribadi yang mewah. Cahaya matahari sore menerobos jendela, menyorot debu-debu halus yang berterbangan di dalam kabin yang luas. Maximillian benar-benar memperhatikan Angelo, memanjakannya dengan perhatian yang lembut, meskipun Angelo hanya diam, matanya menatap kosong ke luar jendela, memikirkan masa depan yang masih terasa samar. Suasana tenang namun terasa berat menyelimuti mereka.
Sementara itu, untuk para suster dari yayasan yang telah menghancurkan hidup Angelo dan calon anaknya, Maximillian telah memerintahkan anak buahnya untuk bertindak. Bukan pembunuhan, melainkan tindakan yang lebih kejam—menghilangkan hal yang paling berharga bagi mereka: reputasi dan sumber penghidupan mereka. Anak buahnya akan memastikan para suster itu kehilangan segalanya, tanpa meninggalkan jejak yang dapat dilacak.
"Kau mau makan sesuatu, Angelo?" tanya Maximillian dengan lembut, suaranya mengalun pelan di dalam kabin yang sunyi. Ia menyodorkan makan siang berisikan makanan ringan dan minuman hangat.
Angelo menggeleng pelan, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku tidak lapar."
Maximillian menghela napas pelan, lalu tersenyum lembut. Tangannya terulur, dengan hati-hati mengelus perut Angelo yang membuncit. Sentuhannya penuh kasih sayang. "Dia memilihmu menjadi ibunya karena dia tahu, kau adalah ibu yang kuat. Dia memilih dilahirkan olehmu, karena dia tahu, kau bisa menjaganya, merawatnya, dan mengasihinya dengan sepenuh hati," ucap Maximillian dengan suara yang begitu lembut, penuh kelembutan dan kekaguman. Matanya berkaca-kacaca.
"Aku salut padamu, Angelo. Di tengah ambisi untuk kembali memimpin, kau rela melepaskan semuanya demi membuat kehidupan yang aman dan bahagia untuk anak kita. Di luar sana, belum tentu ada ibu yang merelakan segalanya, mengorbankan karir dan mimpinya, hanya untuk membuat anaknya merasa nyaman dan terlindungi," lanjut Maximillian, suaranya bergetar menahan emosi. Ia mencium lembut kening Angelo, menunjukkan rasa hormat dan cintanya yang begitu dalam.
Air mata Angelo kembali mengalir deras di pelukan Maximillian. Wanita itu terisak, tubuhnya gemetar di antara rasa takut dan ketidakpastian. Bayangan masa depan anaknya, yang akan memiliki seorang ibu dengan masa lalu kelam seperti dirinya, menghantuinya. Namun, di sisi lain, ingatan akan dukungan dan kasih sayang dari orang-orang yang dicintainya—Kakek Xavier, Bibi Emma, dan kini Maximillian—memberinya sedikit kekuatan. Mereka telah meyakinkannya, berulang kali, bahwa ia adalah calon ibu yang baik, mampu memberikan cinta dan kasih sayang yang dibutuhkan anaknya. Pelukan Maximillian terasa hangat dan menenangkan, seperti benteng yang melindungi dari badai kehidupan.
Setelah puas menangis, melepaskan beban yang selama ini membebani hatinya, Angelo akhirnya mau makan. Namun, perutnya yang masih mual dan menolak makanan membuat sebagian besar makanan dimuntahkan kembali. Maximillian dengan sabar membantunya, membersihkan muntahannya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Ia juga membuatkan susu hamil hangat untuk Angelo, berharap sedikit nutrisi dapat masuk ke tubuhnya yang lemah. Sentuhan lembut Maximillian bagaikan obat penenang bagi jiwa Angelo yang terluka.
Setelah penerbangan panjang yang terasa singkat karena dipenuhi dengan curahan kasih sayang, Angelo dan Maximillian tiba di villa yang telah disiapkan Jacob di tepi Danau Baikal. Villa itu benar-benar sudah siap huni. Furnitur-furnitur elegan dan modern mengisi setiap ruangan, menciptakan suasana hangat dan nyaman. Kulkas pun sudah terisi penuh dengan bahan makanan segar. Ternyata, Jacob telah meminta anak buahnya untuk menyiapkan semuanya dengan detail, karena ia tahu Angelo akan tinggal di sana untuk waktu yang cukup lama. Villa itu terasa seperti pelukan hangat yang menyambut kedatangannya.
Mereka tiba di villa tepat tengah malam, namun Angelo sama sekali tak merasa lelah. Ia telah terlelap sepanjang penerbangan, terhanyut dalam mimpi-mimpi yang entah berisi apa. Begitu sampai, ia memilih untuk bersantai di teras villa yang luas, menikmati kesejukan malam di tepi Danau Baikal. Udara malam menusuk tulang, namun Angelo tetap betah, mengenakan pakaian tebal berbahan bulu domba yang lembut dan hangat. Bulan purnama bersinar terang, menerangi hamparan danau yang tenang dan pepohonan pinus yang menjulang tinggi di sekeliling villa. Suasana sunyi dan damai menyelimuti mereka.
Tak lama, Maximillian datang membawakan segelas minuman hangat dalam cangkir porselen bermotif bunga. Aroma cokelat hangat dan rempah-rempah memenuhi udara.
"Minumlah, agar tubuhmu terasa lebih hangat," ucap Maximillian dengan lembut, suaranya mengalun pelan di tengah kesunyian malam.
Angelo menerimanya dengan senyum tipis. "Terima kasih."
Maximillian duduk di kursi anyaman rotan di samping Angelo, ikut menikmati pemandangan malam yang memukau. Udara dingin menusuk kulit, namun keindahan pemandangan di depan mata membuat mereka tak merasa risih. Embun pagi mulai menempel di rerumputan.
"Kau memilih tempat yang sangat indah," ucap Maximillian, suaranya bercampur kekaguman.
Angelo menyesap cokelat hangatnya, matanya menatap langit malam yang dipenuhi bintang-bintang yang berkelap-kelip. "Tempat ini... dulu adalah cita-cita Ibu. Ia selalu bermimpi memiliki sebuah villa di tepi danau, tempat untuk berlibur bersama keluarga," jawab Angelo, suaranya sedikit bergetar. Meski tatapan matanya sendu, namun sebuah senyum lembut terukir di bibirnya. Kenangan akan ibunya menghangatkan hatinya.
Maximillian menatap Angelo dengan penuh kasih sayang. Senyum kecil terpatri di bibirnya. Ia menyadari bahwa ia adalah orang pertama yang dibawa Angelo ke villa ini, mewujudkan impian sang ibu. Dan ia merasa sangat bahagia dan bersyukur menjadi orang pertama yang menikmati keindahan tempat ini bersama Angelo, setelah villa impian itu berdiri megah di tepi danau yang tenang.
tmbh lg trauma msa lalu,pst bkin dia mkin down....mga aja max bsa bkin dia lbh smngt.....
lgian,udh ada ank sndri knp mlah adopsi????sukur2 kl ga iri pas udh dwsa,kl iri kn mlah bhya....
jgn blng kl goerge d jbak skretarisnya pke ssuatu,trs dia tau dn nyri istrinya????
tp mmdingn gt sih,drpd jd skandal....
kl angelo nkah sm max,brrti janet jd adik ipar....tp kn janet bkln nkah sm jacob,pdhl jacob pmannya angelo....
🤔🤔🤔
ppet trs smp angelo brsdia buat nkah sm max.....
janet bbo bareng sm jacob...enth bgaimna smp mreka bs brsma,mngkn krna trbwa suasana....
jgn2 janet bno bareng sm jacob?????