NovelToon NovelToon
Generasi Gagal Paham

Generasi Gagal Paham

Status: sedang berlangsung
Genre:Sci-Fi / Anak Genius / Murid Genius / Teen School/College
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Irhamul Fikri

Generasi sekarang katanya terlalu baper. Terlalu sensitif. Terlalu online. Tapi mereka justru merasa... terlalu sering disalahpahami.

Raka, seorang siswa SMA yang dikenal nyeleneh tapi cerdas, mulai mempertanyakan semua hal, kenapa sekolah terasa kayak penjara? Kenapa orang tua sibuk menuntut, tapi nggak pernah benar-benar mendengarkan? Kenapa cinta zaman sekarang lebih sering bikin luka daripada bahagia?

Bersama tiga sahabatnya Nala si aktivis medsos, Juno si tukang tidur tapi puitis, dan Dita si cewek pintar yang ogah jadi kutu buku mereka berusaha memahami dunia orang dewasa yang katanya "lebih tahu segalanya". Tapi makin dicari jawabannya, makin bingung mereka dibuatnya.

Ini cerita tentang generasi yang dibilang gagal... padahal mereka cuma sedang belajar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 7 Sekolah Rasa Penjara

Hari Senin datang lebih cepat dari yang diharapkan. Setelah diskusi terbuka minggu lalu, suasana sekolah bukannya jadi tenang—justru semakin terasa aneh.

Beberapa guru bersikap lebih ramah, seolah berusaha menunjukkan bahwa mereka “tidak seburuk itu”. Tapi sebagian lain mulai memasang wajah curiga setiap kali melewati Dita, Juno, atau Nala. Seperti polisi rahasia yang mengawasi narapidana.

“Lo ngerasa gak sih sekolah jadi kayak… penjara?” tanya Juno sambil menyender di kursi kantin. Tatapannya kosong mengarah ke lapangan basket.

Dita mengangguk. “Ada tembok tinggi, aturan kaku, jam makan, jam keluar, jam masuk. Cuma bedanya, kita bayar buat masuk ke sini.”

Nala menghela napas panjang. “Dan yang lebih lucu, kita dianggap salah cuma karena bilang kita nggak bahagia.”

Sejak diskusi terbuka itu, mereka mulai sadar: bukan cuma mereka bertiga yang merasa ‘terkurung’. Banyak siswa datang diam-diam, berbisik di lorong atau menyelipkan catatan kecil ke dalam tas mereka. Semuanya berkata sama:

> “Gue juga ngerasa capek, tapi takut kalau ngomong.”

“Lo hebat berani ngomong gitu. Gue pengen juga, tapi takut dikeluarin.”

“Podcast kalian nyelamatin gue minggu lalu. Serius.”

Dan entah kenapa, setiap kali mendengar itu, mereka justru merasa lebih berat.

Karena semakin banyak yang menyuarakan, semakin besar tekanan yang mereka rasakan. Seakan tanggung jawab untuk bicara itu sekarang sepenuhnya ada di pundak mereka. Dan sekolah? Bukannya berubah, justru memperketat pengawasan.

Hari itu, mereka dipanggil ke ruang BK.

Ibu Sulastri menatap mereka lama, lalu membuka map berisi cetakan transkrip episode podcast mereka. Beberapa kalimat digaris merah, seolah itu kutipan dari pelaku kriminal.

> “Kami ingin sekolah bukan cuma tempat menghafal.”

“Kami ingin guru memahami proses, bukan cuma nilai.”

“Kami muak dibungkam.”

“Anak-anak,” kata Ibu Sulastri dengan suara lembut yang mencurigakan. “Saya harap kalian sadar bahwa apa yang kalian ucapkan di media publik punya konsekuensi.”

Nala menatap lurus. “Kami nggak nyebut nama siapa-siapa, Bu.”

“Betul. Tapi orang-orang mengaitkan itu dengan sekolah ini.”

“Kami hanya cerita kenyataan, Bu,” sambung Juno. “Bukan buat menyerang siapa pun.”

“Kalau kenyataan itu menyakitkan, bukan berarti harus disebarluaskan,” ucap Ibu Sulastri, kini dengan nada lebih tegas. “Ada etika. Dan kalian… sedang menginjaknya.”

Mereka keluar dari ruang BK dengan perasaan campur aduk. Di koridor, beberapa siswa yang melihat mereka hanya menunduk. Ada yang diam-diam memberi senyum kecil, ada juga yang pura-pura sibuk dengan ponselnya.

“Gue kayak tahanan yang habis diinterogasi,” gumam Dita.

“Dan sayangnya, kita bakal dipanggil lagi minggu depan,” balas Nala. “Kepala sekolah minta bicara.”

Di rumah, malam itu, suasana juga tak kalah pengap.

Ayah Nala mengetuk pintu kamarnya dengan ekspresi serius. Di tangannya, ponsel menampilkan grup WhatsApp wali murid.

“Ini… kamu yang ngomong kayak gini di podcast?”

Nala mengangguk.

“Kenapa kamu bilang sekolah kayak penjara?”

“Karena… aku ngerasa gitu, Yah.”

Ayahnya terdiam cukup lama. Lalu duduk di pinggir tempat tidur, menarik napas dalam-dalam. “Dulu waktu Ayah sekolah juga keras. Tapi Ayah jalanin aja. Namanya juga sistem.”

“Itu masalahnya, Yah. Karena semua orang ‘jalanin aja’... sistemnya gak pernah berubah.”

Kalimat itu menggantung di antara mereka. Mata ayahnya menatap tajam, tapi tak bisa menyangkal logika itu. Dan dalam diam, Nala tahu: sebagian dari ayahnya mengerti, tapi tidak tahu harus berkata apa.

Esok harinya di sekolah, tekanan semakin meningkat.

Salah satu guru matematika, Pak Rudi, tiba-tiba mengeluarkan sindiran saat pelajaran:

> “Sekarang banyak siswa merasa sekolah ini penjara. Mungkin karena mereka lebih suka main podcast daripada belajar fungsi linear.”

Semua mata mengarah ke Nala, Dita, dan Juno. Tapi mereka diam. Tidak ada yang menimpali. Mereka sadar, melawan hanya akan memancing lebih banyak peluru.

Tapi diam pun ternyata tak cukup.

Sore harinya, muncul kabar bahwa sekolah mempertimbangkan “langkah pembinaan khusus” untuk siswa yang “menyebarkan opini buruk”.

Juno melempar tas ke lantai saat sampai di rumah. “Pembinaan khusus? Ini sekolah atau lembaga pemasyarakatan?”

Dita, yang mendengarnya lewat telepon, berbisik, “Gue takut, Jun. Gue takut beneran dikeluarin.”

“Kalau lo mundur sekarang, Dit,” sahut Nala, “mereka bakal ngira kita lemah beneran.”

“Bukan masalah kuat atau lemah, Nal,” ucap Dita lirih. “Gue cuma… gak mau kehilangan masa depan karena berani ngomong.”

Lagi-lagi, percakapan mereka berakhir dalam hening. Kali ini, lebih pahit.

Di tengah tekanan itu, muncullah ide gila dari Juno.

“Gue mau bikin podcast diam.”

Dita mengerutkan dahi. “Podcast apaan itu?”

“Episode tanpa suara. Cuma ada bunyi jam berdetak, kursi kayu, angin di jendela. Tapi judulnya: ‘Kalau kami tidak boleh bicara, maka beginilah dunia kami terdengar.’”

Mereka bertiga tertawa kecil. Bukan karena lucu, tapi karena ide itu… terasa benar. Terasa pas.

Dan mereka melakukannya.

Episode baru itu dirilis dua hari kemudian. Hanya berdurasi 9 menit 45 detik. Tanpa suara manusia. Hanya bunyi-bunyi ruang kelas yang hening. Tapi di bagian deskripsi, mereka menulis:

> Kadang diam adalah satu-satunya bahasa yang tersisa. Kalau sekolah adalah tempat kami belajar jadi manusia, maka biarkan kami bersuara seperti manusia. Bukan seperti tahanan yang hanya boleh bicara saat disuruh.

Podcast itu meledak. Dalam dua hari, jumlah pendengar naik dua kali lipat. Beberapa media bahkan menulis artikel tentangnya.

Namun... yang datang lebih dulu justru surat panggilan dari kepala sekolah.

Hari itu jadi hari yang tak mereka lupakan.

Di ruang kepala sekolah, ketiganya duduk berjajar. Di hadapan mereka, ada Kepala Sekolah Pak Triyono, Wakil Kesiswaan, dan seorang perwakilan dari dinas pendidikan.

“Anak-anak,” kata Pak Triyono dengan suara yang biasa dipakai politisi saat mau pidato. “Kami mengapresiasi kreativitas kalian. Tapi kalian juga harus sadar bahwa kalian adalah representasi dari lembaga ini.”

“Kami tidak menyebut nama sekolah, Pak,” sahut Juno dengan nada sopan tapi tegas.

“Tapi orang-orang tahu kalian dari sekolah ini,” jawab Wakil Kesiswaan. “Itu cukup untuk membuat nama baik kami tercemar.”

Nala angkat bicara. “Apa yang kami sampaikan adalah keresahan kami sendiri. Kami tidak pernah berniat menjatuhkan siapa pun. Kami hanya ingin… ruang untuk bicara.”

“Dan kami ingin ketenangan dalam mengelola institusi ini,” balas Pak Triyono. “Jadi kami harap, kalian berhenti memproduksi podcast untuk sementara.”

Kalimat itu... seperti palu godam.

Dita nyaris menangis di tempat. Tapi Nala menggenggam tangannya di bawah meja.

“Kalau itu permintaan, kami bisa pertimbangkan. Tapi kalau itu perintah... kami harus pikirkan ulang,” ujar Juno.

Pak Triyono menatap tajam. “Kalian anak-anak. Kalian tidak tahu dunia luar seperti apa. Jangan sok jadi pahlawan.”

Nala tersenyum. “Justru karena kami anak-anak, kami belum belajar untuk diam seperti orang dewasa.”

Mereka keluar dari ruangan itu dengan degup jantung berpacu. Tapi juga dengan satu tekad: mereka tidak akan berhenti.

Episode baru pun disiapkan.

Judulnya: “Sekolah Rasa Penjara”.

Kali ini, mereka tidak hanya cerita tentang sekolah mereka. Tapi mengundang cerita dari siswa di luar kota, dari luar pulau, dari luar negeri.

Semua punya rasa yang sama. Terjebak. Terkekang. Tidak didengar.

Dan podcast itu... adalah pintu.

Bukan untuk keluar dari penjara, tapi untuk bicara dengan para tahanan lain yang juga sedang mencoba membuka kunci.

1
Ridhi Fadil
keren banget serasa dibawa kedunia suara pelajar beneran😖😖😖
Ridhi Fadil
keren pak lanjutkan😭😭😭
Irhamul Fikri: siap, udah di lanjutin tuh🙏😁
total 1 replies
ISTRINYA GANTARA
Ceritanya related banget sama generasi muda jaman now... Pak, Bapak author guru yaaa...?
Irhamul Fikri: siap, boleh kak
ISTRINYA GANTARA: Bahasanya rapi bgt.... terkesan mengalir dan mudah dipahami pun.... izin ngikutin gaya bahasanya saja.... soalnya cerita Pasha juga kebanyakan remaja....
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!