NovelToon NovelToon
Jodoh Pilihan Ibu.

Jodoh Pilihan Ibu.

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Tukar Pasangan
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Rinnaya

Dijodohkan dengan pria kaya raya? Kedengarannya seperti mimpi semua perempuan. Tapi tidak bagi Cloe.

Pria itu—Elad Gahanim—tampan, sombong, kekanak-kanakan, dan memperlakukannya seperti mainan mahal.

“Terima kasih, Ibu. Pilihanmu sungguh sempurna.”

Cloe tak pernah menginginkan pernikahan ini. Tapi siapa peduli? Dia hanya anak yang disuruh menikah, bukan diminta pendapat. Dan sekarang, hidupnya bukan cuma jadi istri orang asing, tapi tahanan dalam rumah mewah.

Namun yang tak Cloe duga, di balik perjodohan ini ada permainan yang jauh lebih gelap: pengkhianatan, perebutan warisan, bahkan rencana pembunuhan.

Lalu, harus bagaimana?
Membunuh atau dibunuh? Menjadi istri atau ... jadi pion terakhir yang tersisa?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rinnaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

14. Penyesalan anak tiri.

Bunyi pintu dibanting mengejutkannya. Bukan suara keras, tapi cukup mencolok di rumah yang biasanya sunyi menjelang sore.

Elad melirik jam di pergelangan tangan. Sudah hampir pukul lima. Ia baru saja selesai menelepon Jasmin—pembicaraan yang membuatnya semakin pusing, bukan karena cemburu, tapi karena bosan. Jasmin makin menuntut, makin dramatis, dan sayangnya ... tak lagi semenarik dulu.

Dia sedang menuang minuman saat pintu ruang tamu dibuka dengan kasar. Dhara masuk, wajahnya seperti langit sebelum badai.

“Mana istrimu?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi.

Elad menaikkan alis. “Kalau aku tahu, Bu, pasti aku sedang main Uno dengannya sekarang.”

“Berhenti bercanda, Elad.” Suara ibunya tajam. “Motor Matic menghilang. Dan penjaga bilang dia pergi sekitar tiga jam lalu.”

Ceklek.

Sesuatu dalam dada Elad seperti bergeser. Tidak besar, tapi cukup untuk membuat minuman di tangannya terasa hambar.

“Dia kabur lagi?”

Dhara mengangguk singkat. “Seperti malam pengantin kalian. Dan kau ... bahkan tidak sadar dia menghilang.”

Elad menghela napas panjang, meletakkan gelasnya, lalu berjalan menuju jendela. Matanya menatap kosong ke arah taman yang mulai gelap. Daun-daun bergerak pelan tertiup angin. Tapi Cloe tak ada di sana. Tak akan ada lagi suara langkah cepat dan marah yang menghentak-hentak ubin.

Ia menggigit bibir, mencoba menepis rasa tak nyaman di dadanya.

“Dia bilang ‘jangan’,” gumam Elad pelan. Dia sempat mendengar itu diam-diam kala kembali sebentar lantas pergi lagi seolah dia tidak mendengar apapun usai Cloe berlari naik ke atas.

“Apa?”

“Dia berteriak ... waktu kau bicara soal menyuruhku menyentuhnya.” Elad menoleh, tatapannya serius. “Dia bukan takut padaku, Bu. Dia muak. Sama segalanya. Sama aku. Sama hidup yang kalian bentuk seperti jebakan.”

Dhara menatap anaknya, ekspresinya berubah. Tidak lagi sekadar marah, tapi ... kecewa.

“Kalau kau tidak bisa menahan satu perempuan, bagaimana kau akan memimpin perusahaan? Keluarga? Warisan ini?”

Elad tertawa pendek, sinis.

“Kau kira aku peduli pada warisan? Perusahaan? Semua ini bukan hidup yang kupilih. Sama seperti Cloe tak memilih menikah denganku.”

“Lalu kau ingin menuntut pada kami untuk melepaskan dia?” suara Dhara meninggi.

Elad terdiam.

Itu pertanyaan sederhana. Tapi kenapa rasanya ... seperti paku yang menancap dalam?

Ia menutup mata sejenak, dan yang terbayang adalah sosok Cloe di tepi kolam, dengan gaun basah menempel di kulit, tatapannya dingin namun penuh api. Senyum tipisnya—bukan manis, tapi menantang.

Dia bukan wanita biasa. Dan Elad benci mengakuinya: Cloe membuatnya merasa kalah. Dan anehnya, itu yang membuatnya ... mulai tertarik?

Tanpa sadar, ia menghela napas keras dan berkata, “Terserah kalian saja, kalau ingin mencarinya silahkan. Aku lelah, mau tidur.” Elad berdiri, melangkah cepat menaiki tangga. Mungkin dia bisa menghilangkan lelah karena Cloe tidak ada di kamar.

Jujur kepala Elad cenat-cenut. Tidak seperti itu sebelum tahu Cloe pergi. Namun ia berusaha acuh tak acuh, tidak ingin terlihat peduli.

***

Langit sore di desa itu tetap sama: merah, lengang, dan menenangkan. Tapi jantung Cloe berdetak seperti tamu tak diundang.

Ia berdiri di depan pagar bambu rumah yang dulu ia tinggali lebih dari separuh hidupnya. Tak banyak yang berubah. Tanaman kumis kucing masih tumbuh rapi di pot pecah yang disusun berjejer. Tirai tipis di jendela masih berkibar pelan tertiup angin. Dan dari dalam, terdengar suara sendok beradu dengan piring. Suara yang dulu mengisi pagi dan malamnya.

Cloe menggenggam tali tasnya erat. Debu menempel di tumitnya, dan gaun yang ia kenakan sudah mulai kusut karena perjalanan. Tapi bukan itu yang membuatnya ragu untuk melangkah masuk—melainkan rasa bersalah yang belum ia jamah sejak malam itu.

Malam di mana ia lari dari rumah, dari Mala, dari Juna. Dari satu-satunya tempat yang pernah ia sebut rumah.

Satu langkah, dua langkah ... lalu pintu terbuka.

Mala berdiri di sana, tubuhnya sedikit lebih kurus, rambutnya digelung seadanya, tapi wajahnya masih seperti dulu: teduh dan keras dalam waktu yang bersamaan.

Mata mereka bertemu. Lama.

Cloe nyaris membuka mulut, tapi suara yang keluar bukan miliknya.

“Cloe...”

Hanya satu nama. Tapi cukup untuk mengguncang semua pertahanan.

Mala melangkah maju. Bukan dengan pelukan, bukan juga dengan bentakan. Ia hanya berdiri di depan Cloe, menatapnya lekat-lekat. Lalu, pelan, seperti takut pecah, tangannya menyentuh pipi Cloe.

“Kau kurusan,” katanya.

Cloe menahan air mata. Tapi suara yang keluar serak dan bergetar.

“Aku ... minta maaf, Bu.”

Mala menarik napas panjang. Lalu, dengan satu gerakan pelan, ia memeluk Cloe.

Tak ada omelan. Tak ada kata "kenapa kamu pergi?" atau "kenapa baru sekarang?". Hanya keheningan, dan pelukan yang terasa seperti rumah.

Dari balik pelukan itu, langkah kaki terdengar tergesa-gesa.

“KAK CLOE!” Juna muncul dari dalam rumah, suaranya pecah, ekspresinya campur aduk. Ia langsung memeluk kakaknya dari samping, menjatuhkan kantong plastik yang entah tadi berisi apa.

“Aku pikir Kakak udah ... Kakak nggak akan balik,” katanya sambil nyaris menangis.

Cloe mengusap kepala adiknya, tertawa kecil di antara air mata. “Kakak pikir juga begitu.”

Mala melepas pelukan lebih dulu. Wajahnya tetap tenang, tapi matanya penuh pertanyaan yang tertahan. Ia menatap wajah Cloe, lalu mengelus pelan rambut putri tirinya itu.

“Kau ... sudah makan?” tanyanya pelan, suara yang biasa ia pakai saat Cloe kecil jatuh dari sepeda dan pura-pura tidak sakit.

Cloe hanya menggeleng pelan. Juna bergegas ke dapur, seperti biasa jadi penengah yang diam-diam tahu kapan harus memberi ruang. Cloe masih berdiri di ambang pintu, tangannya kaku menggenggam tali tas, sementara Mala perlahan berjalan menuju kursi kayu di ruang depan.

“Duduklah,” katanya singkat.

Cloe menuruti, meski tubuhnya terasa berat seperti ditumpuki kenangan lama.

Beberapa detik berlalu dalam diam. Lalu Mala berbicara, tanpa menoleh.

“Kau lari waktu itu ... sebelum aku bisa menjelaskan siapa sebenarnya pria yang datang.”

Cloe diam. Dadanya terasa nyeri seketika.

Mala melanjutkan, nada suaranya tak berubah: lembut tapi dalam, seperti sedang mengaduk luka.

“Yang ingin kujodohkan denganmu bukan ayahnya... tapi anaknya. Anak itu hanya sedang pamit ke kamar mandi ketika kau masuk dan langsung kabur.” Ia menoleh, matanya menatap Cloe lurus-lurus. “Pria yang sebenarnya bahkan tidak sempat melihat wajahmu.”

Cloe membeku.

Matanya perlahan membesar. Napasnya tercekat, seperti ditampar kenyataan yang datang tanpa peringatan.

“Aku ... salah?” bisiknya nyaris tak terdengar.

Mala mengangguk pelan. “Kau terlalu cepat lari. Dan sejak malam itu, aku tak pernah tahu kabarmu. Tak bisa tidur ... menangisi anak yang aku rawat sejak kecil, yang mengira aku menjualnya seperti barang.”

Tangis Cloe pecah tiba-tiba.

Ia menunduk, tubuhnya gemetar hebat, suara sesegukan mencabik-cabik udara yang semula tenang. Ia menutupi wajah dengan kedua tangan, malu, hancur, dan merasa begitu bodoh.

“Aku... aku pikir... Ibu mengkhianatiku. Aku pikir semua orang di hidupku menjualku.”

Mala bangkit, duduk di sebelahnya, memeluk bahunya seperti dulu waktu Cloe gagal ujian atau jatuh dari pohon jambu. “Kau terluka... aku tahu. Tapi aku tak pernah menjualmu, Nak. Tak pernah sekalipun.”

Cloe menggeleng keras, air matanya membanjir. “Aku jahat ... aku lari ... aku bahkan—” ia berhenti, tercekik di tenggorokannya sendiri.

Mala menatapnya penuh tanya. “Cloe, apa yang terjadi setelah kau pergi malam itu?”

Cloe menarik napas panjang, mencoba bicara meski suaranya bergetar tak karuan.

“Ada seorang wanita, Aida. Dia menemukanku. Dia ... dia bilang aku anaknya. Aku tak percaya awalnya, tapi cukup masuk akal mengingat Zeline sangat mirip denganku. Aku ... aku dijadikan pengganti Zeline—kembaran yang bahkan aku tak tahu bahwa aku memilikinya—untuk menikah dengan pria kaya. Tanpa cinta. Tanpa pilihan.”

Wajah Mala menegang. “Aida?”

Cloe mengangguk. “Ibuku ... yang sebenarnya. Tapi ... bukan ibuku. Dia tak pernah jadi apa-apa kecuali orang yang menyerahkan aku ke kandang singa.”

Cloe menunduk lagi, bahunya bergetar.

“Aku menyesal ... lebih dari apa pun ... karena aku meninggalkanmu Ibu.”

Mala menarik napas, memeluk Cloe lebih erat. “Kau sudah kembali, itu cukup.”

Tapi Cloe menggeleng keras, memeluk ibunya seperti anak kecil lagi. “Tidak, belum cukup. Aku harus membayar semuanya. Untuk setiap malam Ibu menangis karena aku.”

Mala menatap langit-langit rumah, menahan air mata yang hampir tumpah juga.

Dalam diam mereka saling berpelukan, di antara luka dan pengakuan, di rumah kecil yang lebih kaya dari segala istana: karena rumah ini punya cinta.

Bersambung....

1
Rittu Rollin
yuk up nya dtunggu ya thor
Rittu Rollin
/Smile/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!