NovelToon NovelToon
Hanum: Istri Cacat Dari Desa

Hanum: Istri Cacat Dari Desa

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Konflik etika / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Romansa / Penyesalan Suami
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Tinta Hitam

Demi menghindari perjodohan, Cakra nekat kabur ke sebuah vila- milik keluarga sahabatnya yang terletak di daerah pelosok Bandung.

Namun, takdir malah mempertemukannya dengan seorang gadis dengan kondisi tubuh yang tidak sempurna bernama Hanum.

Terdesak karena keberadaannya yang sudah diketahui, Cakra pun meminta pada Hanum untuk menikah dengannya, supaya orang tuanya tak ada alasan lagi untuk terus memaksa menjodohkannya.

Hanum sendiri hanyalah seorang gadis yatim piatu yang sangat membutuhkan sosok seorang pelindung. Maka, Hanum tidak bisa menolak saat pria itu menawarkan sebuah pernikahan dan berjanji akan mencintainya.

Lalu, apa yang akan Cakra lakukan saat ia mengetahui bahwa perempuan yang akan di jodohkan dengannya itu adalah sosok yang ia cintai di masa lalu?

Lantas bagaimana nasib Hanum kedepannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tinta Hitam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Serangan Jantung

"Ara, ngapain disini?" tanya Cakra tidak suka.

Clara Aurelie Moeremans, atau yang biasa dipanggil Ara oleh Cakra. Gadis itu tersenyum sumringah, reflek berdiri dan menghampiri Cakra.

"Caka, akhirnya kamu datang." Clara hendak meraih lengan Cakra, tapi pria itu dengan cepat menghindarinya.

"Jangan sembarangan sentuh orang!" peringat Cakra tajam.

Clara sesaat merasa sedih atas penolakan itu, namun, tak urung ia tersenyum lagi. "Tadinya aku sedih karena kata tante, kamu jarang tinggal di rumah. Tapi gapapa, akhirnya sekarang kamu pulang juga. Kamu udah makan?" tanyanya seraya tersenyum manis.

Cakra memutar bola matanya, malas. Tanpa menjawab pertanyaan Clara, Cakra melewati perempuan itu dan menghampiri keluarganya yang setia memperhatikan.

Di posisinya yang masih membelakangi keluarga itu, Clara diam-diam mendengus sebal. Awas aja, Cakra. Suatu hari kamu pasti bakalan berlutut lagi sama aku. Batinnya tersenyum sinis. Lantas ia segera kembali ke tempat, duduk di samping sang nyonya rumah.

"Aku mau bicara." tegas Cakra.

"Ada apa, sayang? Duduk dulu, pasti pegal berdiri terus." respon Liliana lebih dulu.

"Gak perlu. Cakra cuma mau ngomong sebentar." ketusnya. Sudah kesal, ditambah makin kesal pula karena keberadaan perempuan itu.

Liliana menghela nafas. "Ya sudah, bicara saja."

"Tapi suruh dia pergi dulu. Cakra gak mau ada orang asing di obrolan ini." kata Cakra, yang seketika membuat kedua tuan rumah serta Clara terkejut.

Kecuali tiga orang lainnya. Yaitu si anak pertama Haristanto; namanya Cicilia Dwi Haristanto bersama suaminya Matthew Sayersz, juga anak bungsu Haristanto; namanya Chandrawinata Haristanto yang saat ini masih sekolah SMA.

"Cakra! Kamu bicara apa, sih!? Clara baru datang, loh. Masa disuruh pergi gitu aja!?" kesal Liliana. Niatnya kan ingin memperkenalkan putranya dengan gadis ini, tapi putranya malah menyuruhnya pergi.

"Ya, terserah. Kalo Mama gak usir dia, aku pergi lagi aja." ancamnya seraya hendak berbalik. Namun, ucapan papanya segera menghentikannya.

"Tunggu! Oke, Clara akan kami suruh pulang."

"Tapi, pa-" Liliana ingin menyela, tapi Arya sudah lebih dulu mengangkat tangan- menyuruhnya untuk jangan bicara.

Lantas Arya menatap Clara. "Sebaiknya kamu pulang dulu. Kapan-kapan, kamu bisa main lagi ke sini." katanya seraya tersenyum lembut.

"Tapi Om-" Clara tidak ingin pulang, ia ingin bicara banyak dengan Cakra. Bahkan kalau bisa, Clara ingin mengajak Cakra pergi ke tempat shopping, atau kemana saja, yang penting bisa menghabiskan waktu banyak bersama pria itu.

Tapi melihat anggukan Arya yang menyuruhnya untuk nurut, akhirnya dengan terpaksa membuat Clara manut.

"Kalo gitu, Clara pulang dulu, ya, tante, om." Clara menyalimi dua orang itu tak semangat.

"Iya hati-hati ya." respon Liliana. Sedangkan Arya hanya mengangguk kalem.

Kemudian Clara beralih pada satu pasangan muda yang sedari tadi hanya menyimak. "Kak Cicil, kak Matt, Clara pulang dulu ya." bergantian Clara menyalimi dua orang itu.

"Hati-hati." jawab Cicil tersenyum kecil. Sedangkan suaminya hanya mengangguk singkat.

Saat akan menghampiri Chandra, anak remaja itu langsung memalingkan muka. Yang satu ini memang tidak mudah akrab dengan orang baru dan orangnya sedikit pemilih. Kalau dia suka pasti langsung suka, kalau dari awal tidak suka berarti akan terus tidak menyukainya.

"Chandra," tegur mamanya.

Namun, anak itu tidak peduli. "Chandra mau keluar dulu." katanya malas, lalu pergi begitu saja.

Clara memilih bodoamat, lantas ia pun menghampiri Cakra untuk pamitan. Tapi sayangnya, Cakra sudah lebih dulu bergerak dari tempatnya, lalu duduk sofa kosong yang sedikit jauh.

Jelas sekali penolakan itu.

Clara tersenyum kecut. Terpaksa ia pun pamitan lagi, lalu pergi dari sana membawa kekesalan dan rasa kecewa.

Gapapa hari ini gagal, besok-besok aku pasti bisa luluhin kamu lagi, tunggu aja Cakra. gumamnya sinis.

Disisi lain, tanpa basa-basi Cakra langsung mengatakan apa yang ingin dia sampaikan.

"Aku gak bisa bawa Hanum tinggal disini!" tegasnya.

"Kenapa? Apa kamu takut kami akan macam-macam sama perempuan itu? Seburuk itukah pikiran kamu tentang kami?" semprot Liliana.

"Bukan gitu ma-"

"Jadi beneran, ya, kamu udah nikah?" ucapan Cakra terpotong oleh pertanyaan kakaknya.

Cicilia yang sedari tadi hanya bersikap santai, kini mulai memperlihatkan ekspresi penasaran sekaligus kecewa. Kecewa karena ia tidak bisa menyaksikan akad nikah adiknya ini.

Dengan rasa bersalah, Cakra pun mengangguk.

"Kenapa gak kasih tau kakak? Setidaknya, ada satu keluarga kamu yang menjadi saksi waktu itu, Cakra."

"Mau gimana lagi, semuanya udah terjadi. Maaf." jawab Cakra penuh sesal.

"Kakak kecewa. Tapi kalo kamu bahagia dengan pernikahan ini, kakak akan ikut bahagia."

"Makasih kak, kakak emang yang paling pengertian." Cakra tersenyum senang. Ternyata kakaknya tidak turut bereaksi sama dengan mama papanya.

Liliana dan Arya menatap tidak suka percakapan keduanya.

"Jadi kapan, kamu akan pulang lagi?" tanya Liliana. Arya lebih memilih menyimak karena sudah ada istrinya yang bertugas mewawancarai putranya ini.

"Aku gak bilang setuju mau pulang, ma." raut Cakra langsung berubah kesal mendengar pertanyaan itu.

"Setuju gak setuju, kamu harus tetap pulang." tegas sang nyonya. "Kamu masih ingat ucapan mama tadi, kan?"

"Ma!"

"Turuti saja apa kata mama kamu, Cakra!" sela Arya yang mulai terpancing. "Apa susahnya tinggal pulang? Kami tidak akan menyakiti perempuan itu, jika itu yang kamu takutkan?"

"Aku gak percaya. Melihat seberapa enggak sukanya kalian sama istri Cakra, Cakra jadi yakin, kalian pasti sedang merencanakan sesuatu kan?" tuduhnya. Membuat mereka seketika terkejut.

"Cakra!? Berani-beraninya kamu menuduh kami seperti itu!? Otak kamu pasti sudah di racuni kan oleh perempuan yang tidak jelas asal-usulnya itu!?" pekik Liliana marah.

"Kamu keterlaluan, Cakra!!! Menuduh kami seburuk itu hanya untuk membela perempuan itu!? Kamu-" Arya tak bisa melanjutkan ucapannya. Tiba-tiba saja dadanya terasa sakit.

"Pa! Papa kenapa!?" melihat suaminya yang tiba-tiba memegangi dadanya dengan raut kesakitan, reflek Liliana berteriak panik. Apalagi saat melihat suaminya terengah-engah seperti sudah berlari maraton.

Cicilia dan suaminya pun segera menghampiri papanya itu dengan raut sama paniknya.

"Pa! Papa kenapa!? Jangan bikin Cicil takut, Pa!" panik Cicil dengan perasaan khawatirnya.

"Sebaiknya Papa langsung dibawa ke rumah sakit saja! Sepertinya papa terkena serangan jantung." kata Matthew yang berusaha tidak ikut panik.

Deg! Semuanya terkejut mendengar asumsi itu. Termasuk Cakra yang hanya terdiam mematung.

"Cepat bawa papa kalian!? Cepat!!!" teriak Liliana. Rasa paniknya semakin menjadi-jadi, membuatnya tak bisa tenang.

Lantas Matthew langsung membopong papa mertuanya itu dan segera membawanya ke mobil, di ikuti oleh Cicil dan Liliana, melupakan keberadaan Cakra.

Sedangkan Cakra masih terdiam di tempatnya. Ia masih terkejut juga ... merasa bersalah. "Papa..."

Tersadar dari keterkejutannya, Cakra langsung menyusul. Namun, mobil keluarga yang membawa papanya itu sudah berjalan jauh. Cakra pun semakin merasa bersalah. "Maafin Cakra, Pa," sesalnya lalu menunduk dalam dengan kedua mata yang sudah memerah menahan tangis.

JANGAN LUPA LIKE DAN KOMEN

1
Marwan Hidayat
lanjut kak semakin seru ceritanya 🤩
Tinta Hitam: siap kak, maksih ya
total 1 replies
Marwan Hidayat
lanjutkan thor
Tinta Hitam: siap kak, terimakasih sudah membaca ceritaku ini
total 1 replies
Marwan Hidayat
lanjut kak
Tinta Hitam: siap kak
total 1 replies
Marwan Hidayat
ceritanya sangat bagus, rekomendasi deh buat yang suka baca novel
Tinta Hitam: terimakasih
total 1 replies
Lina Zascia Amandia
Tetap semangat.
Lina Zascia Amandia: Sama2.
Tinta Hitam: makasih kak sudah mampir 🙏
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!