Kayanara tidak tahu kalau kesediaannya menemui Janu ternyata akan menghasilkan misi baru: menaklukkan Narendra si bocah kematian yang doyan tantrum dan banyak tingkahnya.
Berbekal dukungan dari Michelle, sahabat baiknya, Kayanara maju tak gentar mengatur siasat untuk membuat Narendra bertekuk lutut.
Tetapi masalahnya, level ketantruman Narendra ternyata jauh sekali dari bayangan Kayanara. Selain itu, semakin jauh dia mengenal anak itu, Kayanara semakin merasa jalannya untuk bisa masuk ke dalam hidupnya justru semakin jauh.
Lantas, apakah Kayanara akan menyerah di tengah jalan, atau maju terus pantang mundur sampai Narendra berhasil takluk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 33
PRANK!!!
Puluhan pasang mata memandang. Tatapan berkumpul di satu titik, menjadikannya pusat perhatian. Seorang pelayan perempuan tergagap membereskan kekacauan. Berjongkok, terburu-buru memunguti pecahan gelas yang berserak memenuhi lantai.
“Aduh,” Ia meringis. Serpihan kecil menusuk ujung jari telunjuknya. Darah merembes, perih mulai terasa. Namun, dia tetap harus melanjutkan pekerjaannya. Dipungutnya lagi pecahan-pecahan lain dengan lebih hati-hati, diletakkan di atas nampan.
Dekat sana, Janu berdiri dengan celana yang basah. Cairan kecokelatan dari gelas yang pecah menyiram celana bahan abu-abu yang ia kenakan. Segalanya terjadi begitu cepat. Di tengah-tengah meeting bersama klien dari negeri seberang.
“Mas!” teriaknya setelah beberapa saat celingukan. Tangan kanannya terangkat di depan dada, memanggil pelayan laki-laki yang melintas membawa sapu dan pengki di tangannya.
Yang dipanggil mempercepat langkah. Cepat tanggap membaca suasana dan membantu pelayan perempuan tadi membereskan kekacauan.
“Obatin dulu aja lukanya,” kata Janu pada si pelayan perempuan yang kini berdiri menunduk di depannya.
“Maaf, Pak.” Pelayan perempuan itu bersuara pelan. Tak berani mengangkat kepala.
“Nggak masalah, celana saya cuma basah.” Lalu Janu mengisyaratkan kepada asisten pribadinya untuk menghandle situasi. Jadwalnya cukup padat hari ini, masih ada dua pertemuan lagi yang harus dimulai dalam 30 menit ke depan. Jadi dia tidak bisa berlama-lama dengan masalah minuman tumpah ini.
Meeting akhirnya dilanjutkan meski kliennya sempat bertanya apakah tidak apa-apa membiarkan celananya basah untuk waktu yang cukup lama. Obrolan mereka kembali mengalir seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Orang-orang pun kembali sibuk dengan urusan masing-masing.
“We will send you the detail before 8 PM today.” Tangannya terulur pada pria 50-an asal Australia di depannya, berbadan gempal, berambut putih, mata abu-abu dan hidung tinggi.
Uluran tangannya disambut, pertanda kesepakatan telah dicapai dan meeting resmi selesai. Janu berdiri lebih dulu, kemudian mengantarkan sang klien menuju pintu keluar restoran. Di luar, sopirnya sudah menunggu dengan taat.
“See you soon in Jakarta, Mr. Sukmajaya.” Pria Australia itu berkata sebelum masuk ke dalam mobilnya.
Janu mengangguk dan balas tersenyum sopan. Tangannya melambai, mengantar kepergian sang klien.
Dari belakang, Miguel, asisten pribadinya, datang tergopoh-gopoh membawakan tas kerja yang dia tinggalkan di meja. Lelaki akhir 20-an itu lalu menurunkan pandangan pada celananya yang basah dari bagian lutut hingga betis bawah.
“Balik ke penginapan dulu, Om?” tanya lelaki itu. Miguel Dirgantara adalah putra bungsu dari salah seorang sepupunya. Dia angkat menjadi asisten pribadi sejak lulus kuliah.
“Nggak ada cadangan celana di mobil?” tanya Janu balik.
Miguel menepuk dahinya. “Oh, ya, ada. Aku ambil dulu, Om tunggu di sini.” Lelaki itu kemudian berlarian menuju tempat parkir.
Selagi menunggu Miguel kembali, Janu menarik ponsel dari saku kemejanya. Layar diketuk dua kali hingga menyala, menampilkan wallpaper dengan foto dirinya dan kedua putranya.
Ada banyak notifikasi yang muncul di sana. Janu membacanya satu persatu dan memilah mana yang perlu dia periksa. Beberapa pesan dia balas seketika, beberapa yang lain hanya dia baca karena tidak penting, beberapa lagi langsung dia laporkan sebagai spam.
“Tumben?” gumamnya. Pasalnya, dari sekian banyak pesan masuk, tak ada satu pun datang dari Narendra. Live location yang dia kirimkan tiga jam lalu tak diberi reaksi apa pun oleh anak bungsunya itu. Pesannya hanya dibaca, tanpa ada pertanyaan heboh tentang ini itu seperti biasanya.
Janu menggerakkan jemarinya lagi, mengetikkan, Lagi ngapain? Udah pulang kampus, kan? Jangan keluyuran, main game aja di rumah sama Eric. Dan segera dikirimkan kepada Narendra. Namun, pesannya itu malah berakhir ceklis satu. Sebuah kejadian langkah karena Narendra hampir tidak pernah membiarkan data selulernya mati.
“Ke mana ni bocah?” monolognya. Jari-jarinya bergerak lagi, beralih mencari kontak Eric. Ketika sudah ketemu dan hendak ditekan, Miguel sudah lebih dulu datang. Tampak ngos-ngosan karena berlarian.
“Ayo ganti, Om. Habis itu langsung jalan.”
Janu mengangguk. Ponselnya dimasukkan kembali ke dalam saku. Dia terima celana ganti yang dibawa Miguel dan bergegas menuju toilet.
Ke-hectic-an yang terjadi berhasil mengalihkan perhatiannya. Membuat firasatnya sebagai orang tua sedikit melemah. Membuatnya tak menyadari ada yang salah.
...🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼
...
“Acaranya weekend depan, ya?” Kayanara mengonfirmasi sekali lagi.
Ternyata, Tejas mengajak bertemu untuk mengundangnya ke festival KPop yang kebetulan perusahaan lelaki itu menjadi salah satu sponsornya. Katanya, orang pertama yang diingat ketika mendapat jatah tiket event gratis adalah dirinya.
Tejas mengangguk. Senyumnya tak kunjung luntur sejak mereka duduk di bagian luar coffee shop langganan Kayanara 10 menit lalu.
“Tiketnya bisa dibeli di mana?” tanya Kayanara lagi.
Senyum Tejas perlahan pudar, dahinya berkerut samar. “Gratis dari gue, nggak perlu beli.” Dia menjelaskan sekali lagi. Kalau-kalau Kayanara salah memahami maksudnya.
“Aku mau ajak satu orang lagi, Kak.”
“Oh....” Hanya itu yang keluar dari mulut Tejas. Mulutnya membulat, nampak seperti bulatan donat mini.
“Masih available kan? Bisa dibeli di mana?” ulang Kayanara.
“Nggak usah beli.” Tejas menyambar lemon tea miliknya yang sisa setengah, menyedotnya hingga tandas, lalu mengembalikan gelas berisi enam bongkah kecil es batu ke atas meja. “Gue dapat jatah 5 tiket. Nanti 2 buat lo.”
“Serius nggak apa-apa? Aku bayarin aja deh.”
Tejas menggeleng ribut, kedua tangannya ikut-ikutan bergerak-gerak di depan dada. “Nggak usah, aman. Lagian gue juga bingung mau dikasih ke siapa.”
Kayanara terdiam. Menatap Tejas lekat-lekat dengan bibir terkatup rapat.
“Serius, Kay. Aman.” Tejas berusaha meyakinkan.
Menghela napas pendek, kepala Kanara naik turun kemudian. “Makasih, Kak.”
“By the way, mau ajakin siapa? Pacar ya?” selidik Tejas. Senyum jahil terbit menghias wajah tampannya.
Kayanara tidak menjawab. Dia hanya tersenyum kecil, lalu menyedot Cafe Latte miliknya perlahan-lahan.
Di depannya, Tejas mulai asyik meledek. Mengedipkan mata genit, tersenyum-senyum sendiri seperti orang yang mendadak jadi gila karena sedang jatuh cinta.
"Kenalin ke gue, biar gue bantu seleksi.” Lelaki itu berkata sungguh-sungguh. Kayanara lagi-lagi hanya membalasnya dengan tersenyum.
Sewaktu gelas Cafe Latte menyentuh meja, di waktu itu juga ponsel di sebelahnya bergetar. Kayanara dan Tejas melirik ke arah layar.
Subrata Eric is Calling...
Tejas tersenyum penuh arti, sementara Kayanara hanya memasang wajah datar ketika mengambil ponsel dan memencet tombol hijau.
“Aku masih ada urusan. Sebentar lagi ya.”
“Macan...” Suara Eric terdengar pelan dan sedikit bergetar.
“Kenapa? Suara kamu kok begitu? Kamu nangis?”
“Macan ... ini ... ini gimana?”
“Gimana apanya? Ngomong yang bener, Eric, jangan bikin aku panik.” Perasaan Kayanara mulai tidak enak.
“Naren, Macan ... Naren...”
“Naren kenapa?” Dia melirik Tejas ikut menguping. Sama sepertinya, lelaki itu pun tampak kebingungan.
“Naren ... Naren masuk rumah sakit...”
Bersambung....