Berawal dari pertemuan singkat di sebuah mal dan memperebutkan tas berwarna pink membuat Aldo dan Tania akhirnya saling mengenal. Tania yang agresif dan Aldo yang cenderung pendiam membuat sifat yang bertolak belakang. Bagaikan langit dan bumi, mereka saling melengkapi.
Aldo yang tidak suka didekati Tania, dan Tania yang terpaksa harus mendekati Aldo akhirnya timbul perasaan masing-masing. Tapi, apa jadinya dengan Jean yang menyukai Aldo dan Kevin yang menyukai Tania?
Akhirnya, Aldo dan Tania memilih untuk berpisah. Dan hal itu diikuti dengan masalah yang membuat mereka malah semakin merenggang. Tapi bukan Aldo namanya jika kekanak-kanakan, dia memperbaiki semua hubungan yang retak hingga akhirnya pulih kembali.
Tapi sayangnya Aldo dan Tania tidak bisa bersatu, lantaran trauma masing-masing. Jadi nyatanya kisah mereka hanya sekadar cerita, sekadar angin lalu yang menyejukkan hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Janji Kehidupan
Kevin memberikan setengah potong kue pada Tania. Dan setengahnya lagi untuknya. Tania menerimanya sembari tersenyum manis.
"Makasih."
Semilir angin menerbangkan helaian rambut Tania dan juga Kevin. Mereka duduk di bantaran sungai tepat di belakang perkampungan itu. Di depan juga masih ada kampung, dan di sana jauh lebih baik daripada di sini. Mungkin, sungai ini adalah pembatasnya.
"Gue mau tanya satu hal," ujar Tania.
"Satu hal atau banyak hal?"
"Banyak hal, deh."
"Apa?"
Diam sebentar, Tania menelan kuenya.
"Kenapa Kakak ajak gue ke sini?"
Kevin menepuk-nepuk tangannya usai suapan terakhir. "Nggak ada maksud apa-apa. Gue ada janji sama mereka."
"Mereka siapa?"
"Anak-anak itu. Yesi, Juna, Abi, Wildan, Anung, dan lainnya."
Tania mengangguk. "Oh."
"Gue janji ke mereka bakal ke sini lagi bawa kue. Sebetulnya waktu gue kelompokan sama Tari, dia ajak gue ke sini. Dan gue baru tahu, kalau Tari suka ngunjungin tempat ini sama pacarnya dan kasih hadiah ke mereka. Tari juga tahu tempat ini dari pacarnya."
Tania menunduk.
Kevin menoleh. "Kenapa?"
Tania kembali mendongak. Dia teringat akan apa yang dilakukan Yesi pada ayahnya. Hal itu terus Tania ingat, sama sekali tidak bisa dilupakan. "Gue ... kangen papa."
Hening. Tidak ada yang berani angkat suara. Kevin diam melihat Tania. Dan, Tania diam dengan perasaan rindunya.
"Udahlah, lupain soal papa," kata Tania. "Gue harus bersyukur masih dikasih hidup yang berkecukupan. Kadang manusia cuma lihat ke depan, jarang lihat ke bawah dan ke atas. Kalau sebenarnya ada yang lebih susah dari kita, dan ada yang lebih bahagia dari kita. Gue kalau lagi down suka lihat ke bawah. Ternyata ada yang lebih down dari gue dan dia tetap semangat lanjutin hidup. Mereka yang merasa paling tersakiti seolah-olah paling benar. Aneh ya manusia."
Kevin menarik seulas senyum. Ini adalah kali pertama dia mendengar kata-kata bijak dan penuh arti dari Tania. Ini seolah menjadi keajaiban dunia kesekian kalinya yang diciptakan Tania.
Merasakan Kevin tersenyum menatapnya membuat Tania menoleh. "Kenapa, sih? Aneh ya gue ngomong gitu? Emang sih, apa yang gue lakukan tuh selalu aneh, pasti aja dicap sebagai keajaiban dunia." Tania terkekeh.
Ulasan senyum Kevin semakin tercetak. "Makasih, ya."
"Untuk?"
"Jadi sahabat gue."
Tania tersenyum mengangguk.
"Gue janji akan jaga lo, walaupun gue udah punya yang lain, lo tetap prioritas gue, Tan."
Tania menoleh ke arah Kevin. Mata pria itu menyipit bersamaan dengan punggungnya yang membungkuk. Ada siratan dari matanya yang tidak bisa Tania baca. Apa maksud dari semua itu? Menjadikannya prioritas tetapi tidak ditempatkan di sisinya? Entahlah, Tania tidak tahu takdir menuliskannya seperti apa.
...******...
Aldo mendengar suara gaduh dari samping kamarnya. Dia berjalan menuju kamar Ryan dan urung membuka pintu kamarnya. Aldo yakin, ada kedua temannya dan juga Ryan yang sedang bermain PS. Aldo hendak membuka kenop pintu dan memergoki mereka, tetapi sayangnya urung dilakukan karena dia lebih tertarik mendekatkan telinganya ke pintu.
"Gimana tadi rapat privat sama kak Tari?" tanya Bima.
"Lancar," jawab Nico.
"Kalau pas istirahat, lancar?"
"Mulus dong. Tapi sayangnya ada sedikit kendala."
"Apaan tuh?"
"Ya, gitu."
"Namanya juga perjuangan, ada aja hambatannya," celetuk Ryan.
"Lo dulu pernah gitu, Kak?" tanya Bima.
"Yaelah, sebelum lo berdua rasain gue udah lebih dulu."
"Gue berhenti dulu, deh." Nico meletakkan stick game. "Mau hubungin dia dulu."
Mendengar hal itu membuat Aldo yang ada di balik pintu segera berlari menuju balik pilar. Nico keluar dari kamar Ryan dan tidak melihat keberadaannya. Aldo bernapas lega. Perlahan dia berjalan mengikuti langkah Nico.
...******...
Nico berada di pinggir kolam renang. Dia menoleh ke kanan kiri untuk memastikan tidak ada yang melihatnya. Dan, hal itu membuat Aldo kian curiga.
Nico menelepon seseorang. Aldo menajamkan indra pendengarannya.
"Halo, sayang."
Sapaan pertama Nico yang mampu membuat tangan Aldo terkepal kuat. "Dasar brengsek," lirih Aldo.
"Gimana hadiahnya? Suka nggak?"
"Nico, kenapa lo titipin hadiahnya ke Tania? Dia jadi tahu hubungan kita."
Nico menyengir lebar. "Maaf, dia buat heboh, ya?"
"Enggak sih, cuma gue enggak suka aja kalau banyak yang tahu."
"Setelah ini enggak akan ada lagi, kok."
"Hem, makasih ya cokelatnya."
"Sama-sama."
"Cokelatnya manis."
"Manisan juga kamu."
Mendengar hal itu membuat Aldo menggeram kesal. Dia mengepalkan tangannya. "Dasar Nico, berani-beraninya dia godain Tania."
Dari belakang seseorang mengernyit bingung. Dia memperhatikan Aldo yang sedang berdiri di balik tembok. Dia juga bingung apa yang dilakukan Aldo, terlebih saat mengucapkan nama Tania.
Apa jangan-jangan Aldo berpikir pacar Nico adalah Tania? Kalau iya, maka Bima akan membuat drama.
...******...
Sesampainya di dalam kamar, dia segera membanting tubuhnya duduk di atas kasur. Aldo melepas kancing seragamnya membuat kaus putih dalamnya terlihat menampakkan guratan dada bidang Aldo.
"Gue pikir Nico nggak akan nyembunyiin sesuatu. Dasar munafik."
Aldo meraih ponselnya yang ada di dalam tas. Sejak siang dia tidak membuka ponselnya. Saat dilihat ada pesan dari Jean, Aldo membukanya.
Mama nggak izinin gue keluar malam, kesel. :(
Aldo terkekeh membacanya. Dia balas mengirim pesan.
Gue ke sana, ya.
...******...
Kevin tidak segera membawa Tania pulang setelah berpamitan dengan anak-anak. Dia membawa Tania makan di restoran tempat dia dan Tari makan waktu itu. Tania sempat panik karena dia belum mengabari Mila dan masih memakai seragam sekolah. Tetapi Kevin berhasil menenangkannya.
Tetapi tetap saja, kaki Tania terus saja digerakkan menahan rasa khawatir.
Kevin meraih pipi Tania. "Tenang aja, gue udah bilang sama tante Mila. Dan lo enggak usah khawatir karena masih pakai seragam."
"Tetap aja."
"Lo harus senang dong karena gue nepatin janji. Dan enggak makan di restoran nyokap lo."
"Masalahnya—"
"Silahkan dinikmati."
Ucapan Tania terpotong karena pramusaji datang menghidangkan menu pasta dan dua lemon tea.
"Makasih."
Pramusaji membungkuk hormat lalu kembali ke pantry.
Kevin menatap Tania. Gadis itu diam tidak berkutik. Ada hal yang dipikirkan Tania.
"Kenapa?"
"Ah, enggak apa-apa. Ayo makan."
Kevin dan Tania sama-sama menikmati makanan mereka. Tania melirik ke samping—melihat pemandangan yang sangat haru, seorang anak sedang disuapi ayahnya lalu sang ayah mengelus rambut sang anak.
Tania berpaling—menatap gedung tinggi dari balik kaca. Dia menghela napas. Melihat mobil berlalu dan orang yang berseliweran. Semuanya seolah sibuk sendiri.
Kevin tahu apa yang dipikirkan Tania. Pasta adalah makanan kesukaannya dan juga ayahnya. Dulu Tania juga sama seperti anak di seberang meja, disuapi ayah lalu dielus rambutnya. Tania memainkan pesta dengan garpunya. Perlahan tangan Kevin merembet menggenggam telunjuknya.
"Tania."
Tania mendongak.
"Sesibuk apa pun gue, janji nggak akan pernah ninggalin lo."
"Gue nggak butuh janji."
Kevin menghela napas. Dia melepas genggaman telunjuk Tania.
"Lo lihat deh ke sana." Kevin menunjuk gedung pencakar langit. "Di gedung itu banyak banget lampu-lampu yang nyala. Seolah-olah lampu itu adalah bintang." Dia menatap Tania yang sedang menatap gedung. "Dan lo pernah berpikir ke mana kunang-kunang pergi?"
Tania menoleh ke arah Kevin sambil mengernyit.
"Kesibukan. Semua orang akan hilang ditelan kesibukan. Mengabaikan dia yang membawa janji kehidupan." Tangannya merangkak meraih tangan Tania. "Lo janji kehidupan gue, Tania."
...******...
Kevin membawa Tania pulang pukul 19.00. Gadis itu turun dari motor Kevin. "Makasih ya, Kak, untuk hari ini."
Kevin tersenyum mengangguk. "Iya, sana masuk."
Tania membuka gerbang rumahnya. Bersama Kevin hari ini membawa warna baru, yang tidak bisa Tania tebak. Dia melambaikan tangan sebelum beranjak membuka pintu rumahnya. Kevin balas melambaikan tangannya. Dia memastikan Tania tidak akan balik badan seperti beberapa minggu yang lalu.
Saat Tania hendak membuka pintu, pintu itu lebih dulu dikuak oleh Maya. Tania refleks mundur dan nyaris memukul Maya karena terkejut. Kevin yang masih setia di posisinya mengernyit bingung.
"Tania," pekik Maya.
"Tante Maya ngapain?"
"Habis ngobrol sama mama kamu. Kamu sendiri baru pulang?" tanya Maya. Dia menunjuk Tania lalu beralih pada Kevin. "Sama Kevin?" lanjut Maya.
Tania mengangguk kuat.
"Malam-malam begini?"
"Ini belum malam Tante, ini masih sore. Baru juga jam tujuh malam."
"Iya udah deh terserah kamu ngertiinnya apa. Emang dari mana aja?"
Alih-alih langsung menjawab, Tania justru tersenyum manis membuat Maya bingung. Dia mencondongkan tubuhnya ke arah Maya. "Janji kehidupan," bisik Tania lalu beranjak masuk ke dalam rumah sembari menahan senyum bahagianya.
Maya yang tidak paham dengan ucapan Tania mengernyit bingung. "Janji kehidupan?" ulang Maya. Dia menatap Kevin yang ternyata sudah masuk ke dalam rumahnya.
Maya menggelengkan kepalanya sembari terkekeh geli. "Ngebet mau kawin kali, ya. Anak muda, anak muda, dasar." Maya tidak habis pikir dengan jalan pikir anak muda zaman sekarang, termasuk Kevin. Belum masuk usianya tetapi sudah berani membicarakan hal yang lebih serius.
...******...
Entah sejak kapan kebiasaan Mila berganti dengan seringnya mengaduk kopi dengan tatapan kosong. Wanita itu tidak memperhatikan Tania yang terus mengembangkan senyumnya. Dan Tania, tidak menyadari keberadaan ibunya di dapur.
Mata Mila melirik sejenak senyum Tania. Bagaimana jika dia menghancurkan senyum itu saat menghadapi kenyataan pahit yang akan datang. Ucapan Maya beberapa menit lalu terngiang di kepalanya.
"Beberapa waktu lalu aku ketemu mantan suami kamu, Mbak. Dia lihatin rumah kamu terus pergi."
Mila menghela napas panjang. Semoga takdir Tania tertulis dengan baik.
...******...
Aldo meraih jaketnya lalu beranjak turun. Tak disangka, ternyata kedua temannya akrab dengan Ryan dan Tika. Seolah mereka adalah sebuah keluarga. Aldo berdecih, mereka punya rumah sendiri tetapi selalu menumpang segala hal. Contohnya menonton televisi.
"Aldo mau ke mana, sayang?"
Mendengar suara Tika yang sangat lembut membuat semua mata tertuju pada Aldo. Apalagi Bima dan Nico yang sudah mengerjapkan matanya.
"Keluar sebentar."
"Pulang bawain martabak ya, sayang."
Aldo berdeham.
"Aldo, sayang."
Aldo mendengus kesal. Dia jamin seratus persen kedua temannya itu menahan tawa mendengar Tika memanggilnya dengan terselip kata "sayang", terlebih dengan nada yang dibuat-buat.
"Iya, Mama."
Tika tersenyum manis. "Anak pintar, sana pergi. Hati-hati, ya."
Aldo mendengus lalu beranjak keluar rumah.
Bima mendekatkan bibirnya ke telinga Ryan. "Kayaknya nyokap lo lebih sayang sama Aldo, deh."
"Emang, lo nggak tahu aja gimana sayangnya dia ke Aldo."
"Aldo, sayang," ujar Nico menirukan suara Tika disusul kekehan kecil dari mereka.
"Ekhem!"
Tika berdeham membuat kekehan itu berhenti seketika.
...******...
Dion pulang membawa satu bungkus kue. Rumi menghidangkannya di atas meja, memotongnya menjadi beberapa bagian. Dion sudah melepas jasnya dan menyisakan kemeja yang digulung ke atas lengan. Sedari tadi Jean terus menatap pintu apartemen—menunggu seseorang datang dari sana.
Ting! Tong!
Jean bergegas membuka pintu. Dia sudah yakin itu adalah Aldo yang datang. Dan benar saja, Jean berhambur memeluk Aldo—seperti kakak dan adik.
Rumi yang mendapati Aldo datang tersenyum senang. "Aldo, sini sayang. Makan kue."
Aldo beranjak masuk. Tanpa sengaja dia menatap Dion yang menoleh ke arahnya. Aldo berusaha abai, menganggap Dion adalah patung.
Aldo menarik kursi di samping Jean. Rumi meletakkan sepotong kue di piring Aldo. "Mama kamu sudah sampai rumah?"
"Dari tadi."
Rumi mengangguk. "Ayo, makan kuenya bareng-bareng. Ini Dion yang beli, lho," ujar Rumi sontak membuat gerakan tangan Aldo yang hendak memotong kue berhenti seketika. Dia menatap Dion yang sedang mengunyah kue.
"Ayo, makan," kata Jean.
"Ah, mama lupa, mama turun dulu ya ke minimarket," ujar Rumi.
"Biar saya—"
"Tidak usah, Dion, tante aja. Kalian makan ya, tante sebentar, kok." Rumi berlalu meninggalkan meja. Dia tergesa-gesa berjalan keluar apartemen, entah apa yang ingin dibelinya di minimarket apartemen ini.
"Persiapan pencoblosan lusa gimana? Lo udah siap?"
Aldo mengangguk. "Iya."
"Gue mau ikut nginep buat dekor. Tapi enggak tahu mama izinin atau enggak."
"Lo cukup bantuin siangnya aja, Jean."
"Hem, gue ke belakang dulu, ya."
Dan kini, yang tersisa di meja makan hanyalah Aldo dan Dion. Dion menyuap kuenya masuk ke dalam mulut, matanya menatap nyalang ke Aldo seolah memberikan kode. Sedangkan yang ditatap bersikap acuh, dia menganggap seolah Dion adalah patung. Tetapi, dirasa cukup lama Dion memperhatikannya membuat Aldo jadi risi. Dia balik menatap Aldo.
"Gue emang lebih ganteng dan lebih muda dari lo, jadi biasa aja lihatinnya," ujar Aldo berbangga diri.
Dion berdecih. "Anda terlalu kepedean."
Aldo tidak menanggapi, asyik menyantap satu potong kue lainnya.
"Boleh saya tanya sesuatu?"
"Enggak usah sok formal."
"Oke. Boleh gue tanya sesuatu?"
"Apa?"
"Rumahnya Tania di mana?"
Pertanyaan Dion membuat Aldo menatapnya tajam. Rahangnya mengeras. "Jangan macem-macem sama dia."
Dion menyunggingkan senyum. "Kenapa? Suka?"
Aldo tidak membalasnya. Entahlah, dia hanya ingin melindungi Tania dan tidak lebih dari itu.
Jean keluar dari dalam toilet bersamaan dengan Rumi yang datang. Dion dan Aldo menyirnakan suasana tegang itu.
"Tante beli minum. Ayo, lanjut makan."
Dion dan Aldo sama-sama tersenyum. Malam itu hanya Rumi yang angkat suara dengan antusias. Tidak dengan Jean yang tiba-tiba jadi pendiam dan Aldo juga Dion yang saling beradu tatap.
Kalau ada kompetisi adu tatap, mungkin Dion akan menjuarainya.
...******...
Pagi ini Bima akan melancarkan aksi dramanya. Dia akan membuat Aldo cemburu kepada Nico. Saat bel pulang berbunyi dan anak-anak OSIS berkumpul di ruangan untuk mempersiapkan dekorasi pemilihan OSIS sebagai bentuk demokrasi, Bima akan menyempatkan hal itu. Aldo sedang berkutat di layar laptop, dan Nico yang ada di sebelahnya sedang berkutat di layar ponsel. Tidak tahu saja jika Nico sedang chattingan dengan Amanda.
"Nic, nama lo benar Nicolas Agra Prayoga?" tanya Aldo. "Nic?" panggilnya sekali lagi.
"Eh, iya, ada apa? Benar kok, Nicolas Agra Prayoga," ujar Nico lalu kembali fokus ke ponselnya.
Aldo kesal. Perlahan dia mengubah lehernya menjadi sepanjang jerapah untuk melihat apa yang sedang dilakukan Nico. Dan, betapa terkejutnya dia saat mengetahui setengah nama kontak yang sedang chattingan dengan Nico.
Nia.
Aldo yakin itu adalah penggalan huruf Tania.