Alina harus menerima kenyataan kalau dirinya kini sudah bercerai dengan suaminya di usia yang masih sama-sama muda, Revan. Selama menikah pria itu tidak pernah bersikap hangat ataupun mencintai Alina, karena di hatinya hanya ada Devi, sang kekasih.
Revan sangat muak dengan perjodohan yang dijalaninya sampai akhirnya memutuskan untuk menceraikan Alina.
Ternyata tak lama setelah bercerai. Alina hamil, saat dia dan ibunya ingin memberitahu Revan, Alina melihat pemandangan yang menyakitkan yang akhirnya memutuskan dia untuk pergi sejauh-jauhnya dari hidup pria itu.
Dan mereka akan bertemu nanti di perusahaan tempat Alina bekerja yang ternyata adalah direktur barunya itu mantan suaminya.
Alina bertemu dengan mantan suaminya dengan mereka yang sudah menjalin hubungan dengan pasangan mereka.
Tapi apakah Alina akan kembali dengan Revan demi putra tercinta? atau mereka tetap akan berpisah sampai akhir cerita?
Ikuti Kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Sakitnya Alina
Revan pasti dapat balasan atas apa yang dia lakukan...tunggu aja yaa
•
•
Cika dan Afkar langsung berlari menghampiri saat melihat Kamelia sedang menggendong Aeris.
"Bibi!!"
"Kami cari ke mana-mana, Bibi dari mana saja sama Aeris?" tanya Cika dengan nada panik.
"Kita pulang sekarang," jawab Kamelia singkat dan dingin.
"Tapi pestanya baru—"
"Cika!!" bentaknya dengan tajam.
Cika tersentak kaget, lalu hanya bisa mengangguk pelan. Sepanjang jalan pulang pun, Kamelia lebih banyak terdiam. Wajahnya tampak kaku, menyimpan kekesalan yang mendalam.
Aeris pun tidak bersuara lagi. Bocah kecil itu tampak mulai mengantuk.
"Pak... terima kasih sudah mengantar dan menunggu kami," ucap Kamelia kepada sopir setelah membayar ongkos.
Sementara itu, di dalam kamar rumah, Alina sedang fokus mengetik di laptopnya. Ia mengernyitkan dahi saat mendengar suara ketukan di pintu.
"Siapa ya?" gumamnya sambil beranjak berdiri.
Ia melangkah keluar dan membuka pintu rumah.
"Lah? Sudah pulang? Cepat sekali," kata Alina merasa heran saat melihat tiga orang di depannya. "Memangnya pestanya sudah selesai?"
Afkar dan Cika hanya saling lirik dengan tatapan canggung, tak berani menjawab.
"Mama... tadi nenek marah-marah," ucap Aeris dengan suara pelan.
"Marah-marah kenapa, Ma?" tanya Alina pada ibunya, merasa bingung.
"Masuk dulu," jawab Kamelia. Ia menurunkan Aeris dari gendongannya. "Sana, Aeris masuk ke kamar dulu."
"Good night semuanya," kata Aeris sebelum melangkah masuk ke kamarnya.
Setelah Aeris tidak ada, Kamelia menatap Afkar dan Cika dengan serius.
"Afkar, kamu tidur sekarang. Cika, kamu masuk ke kamar Alina," perintahnya tegas.
"Baik, Bi," jawab mereka berdua yang langsung menurut tanpa protes.
Setelah mereka masuk, Kamelia menarik tangan Alina dan mengajaknya duduk di sofa.
"Kenapa, Ma?"
Kamelia menatap putrinya dengan tatapan dalam. "Kamu tahu, ternyata tadi Mama datang ke pesta pernikahan mantan mertua kamu."
"Apa!?" Alina langsung berdiri tegak, matanya membelalak tak percaya.
"Di sana ada Revan bersama kekasihnya. Dan yang lebih parah... tadi Aeris malah bilang ke mereka kalau kamu itu Mamanya."
Alina menggelengkan kepalanya dengan cepat, rasa panik mulai menguasainya.
"Mama langsung bawa Aeris pergi, tapi Mama yakin... keluarga seperti mereka tidak akan tinggal diam," lanjut Kamelia serius.
"T-Terus gimana ini?"
"Kamu harus waspada," tegas Kamelia.
"Tapi aku belum cari TK baru buat Aeris... bagaimana dengan sekolahnya?"
"Nanti saja itu dipikirkan. Yang paling penting sekarang, jangan sampai mereka tahu kebenaran yang sebenarnya."
"Ma... aku takut," suara Alina mulai bergetar menahan tangis.
Kamelia segera menggenggam erat tangan putrinya. "Selama ada Mama, tidak akan ada yang bisa mengambil atau memisahkan kita dari Aeris. Karena hanya kita keluarganya... bukan mereka."
Tanpa mereka sadari, Aeris sedang menguping dari balik pintu, bocah itu tentu saja tidak langsung tidur meskipun mengantuk. Dia tidak terlalu paham apa yang sedang dibicarakan, raut wajahnya tampak bingung.
"Bingung deh..." gumam bocah itu lirih sambil mengernyitkan dahi.
Sementara di gedung pesta...
"Ma... nanti kita cari tahu. Sabar dulu, ya."
"Bagaimana kalau ternyata Aeris itu cucu kita, Pa? Mama pasti merasa bersalah sekali... kita sudah menelantarkan cucu sendiri," kata Jesika sambil terus mengusap air matanya.
"Bisa saja itu anaknya Alina dan Leon."
Rania yang berada di gendongan Felix pun tampak kebingungan. Gadis kecil itu berusaha mencerna pembicaraan orang tuanya, meskipun tadi ia tidak melihat wajah Aeris dengan jelas karena terhalang oleh tubuh Kamelia.
Jesika menggeleng mantap. "Tapi Pa, meskipun wajahnya tidak seratus persen mirip, ada garis wajahnya yang... persis sekali dengan Revan waktu kecil."
Felix menghela napas panjang dan mengusap wajahnya dengan kasar.
"Ma... sekarang kita sambut tamu dulu. Jangan dipikirkan sekarang. Seharusnya Mama bahagia hari ini," ujarnya mencoba menenangkan istrinya.
"Mama, Papa, memangnya ada apa? Siapa Aeris?" tanya Rania pelan.
"Tidak apa-apa sayang, hanya cucu teman Mama," jawab Jesika cepat.
Setelah mencoba menenangkan diri, Jesika menarik napas panjang untuk mengontrol emosinya.
"Yuk, masuk ke dalam," ajak Felix sembari merangkul pundak Jesika.
Sementara itu, Revan tampak bersikap santai. Ia sedang berdansa dengan Devi di tengah kerumunan tamu. Lampu yang remang-remang di ballroom memberikan suasana yang romantis.
Mata Devi dan Revan saling berpandangan dengan penuh kasih sayang. Namun, Revan bisa menangkap ada gurat kekhawatiran di balik tatapan lembut kekasihnya itu.
"Kenapa?" tanya Revan lembut di sela irama musik.
"Re... aku..." Devi tampak ragu, kalimatnya tidak selesai.
Revan menghentikan langkah dansanya. Ia tersenyum tipis dan menangkup pipi Devi.
"Kamu takut Aeris itu anakku. Kamu pasti berpikir kalau aku akan merasa punya tanggung jawab padanya. Kamu takut aku akan menikahi Alina lagi karena hal itu, kan?"
Devi terdiam, namun kebisuan itu sudah menjadi jawaban yang jelas bagi Revan.
"Dengar, sayang... kita belum tahu kebenarannya. Bisa saja Aeris itu anaknya Leon dengan Alina. Kamu lihat sendiri waktu di mal, Leon mengaku kalau Aeris itu anaknya."
"Tapi... bisa saja dia berbohong," bisik Devi lirih.
Revan menarik Devi ke dalam pelukannya.
"Devi, dengarkan aku baik-baik. Kalau memang Aeris itu anakku, aku akan bertanggung jawab sebagai ayahnya. Tapi itu bukan berarti aku akan kembali ke masa lalu. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan meninggalkanmu."
Devi membalas pelukan itu dengan sangat erat. Dalam hatinya, ia sangat takut kehilangan pria yang sangat dicintainya.
"Secepatnya kita akan menikah. Setelah mendapatkan restu Mama," ucap Revan dengan mantap.
Devi mengangguk di dada Revan. Seandainya Aeris memang anak Revan, ia merasa siap untuk merawat bocah itu, karena cintanya pada Revan jauh lebih besar daripada bayang-bayang masa lalu.
•
•
Alina masuk ke kamar Aeris. Bocah itu sudah terlelap dengan nyenyak di bawah selimut tipis. Wajah damainya membuat hati Alina terasa hangat sekaligus tersayat.
Ia menghela napas panjang, lalu duduk di pinggir tempat tidur sambil menatap wajah putranya. Tangannya terulur mengusap lembut pipi tembam Aeris.
"I'm so sorry..." bisik Alina sangat lirih.
Ia tidak akan pernah sanggup jika harus berpisah dengan putranya. Aeris adalah segalanya bagi Alina, alasan tunggal mengapa ia masih bisa bertahan sejauh ini.
Ia menunduk dan mengecup kening Aeris dengan penuh kasih.
Wajah Aeris memang perpaduan antara dirinya dan Revan. Mungkin sekitar 60 persen wajah Revan dan 40 persen wajahnya sendiri. Namun Alina sadar, jika pun Revan tahu, Alina mungkin tidak akan menuntut tanggung jawab.
Tanggung jawab? Alina tersenyum pahit.
Semuanya sudah terlambat.
Ia sama sekali tidak ingin berhubungan lagi dengan Revan maupun keluarganya. Semuanya sudah tamat. Kisah mereka sudah terkubur sejak lama.
Pikiran Alina kembali melayang ke masa lalu. Saat ia memberanikan diri mendatangi villa Revan bersama Kamelia untuk memberitahu tentang kehamilannya. Namun, yang ia dapati justru pemandangan yang menghancurkan hatinya.
Revan sedang bersama wanita lain. Ya... Devi.
Alina mengusap sisa air matanya. Ia tidak ingin terjebak lagi dalam ingatan yang menyakitkan itu.
"Dia tidak mencintaimu, Alina. Tidak akan pernah."
Seharusnya Alina bisa merelakan segalanya. Seharusnya ia bisa melupakan pria itu. Revan sudah bahagia dengan kekasihnya—bahkan akan segera menikah. Sementara Alina, ia merasa masih terjebak dalam lingkaran masa lalu yang terus memberikan luka.
"Semoga kamu tidak merasakan rasa sakitku..."