Leora Alinje, istri sah dari seorang CEO tampan dan konglomerat terkenal. Pernikahan yang lahir bukan dari cinta, melainkan dari perjanjian orang tua. Di awal, Leora dianggap tidak penting dan tidak diinginkan. Namun dengan ketenangannya, kecerdasannya, dan martabat yang ia jaga, Leora perlahan membuktikan bahwa ia memang pantas berdiri di samping pria itu, bukan karena perjanjian keluarga, tetapi karena dirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon salza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Leonard pulang dari kantor saat jarum jam hampir menyentuh pukul setengah dua belas malam. Mobil hitamnya melambat ketika memasuki kawasan Plot C Alastair, hanya dua satpam yang masih berjaga. Keduanya menunduk hormat saat kendaraan itu berhenti.
Leonard turun tanpa banyak ekspresi. Udara malam terasa lebih sunyi dari biasanya.
Rumah itu gelap dan sepi.
Tidak ada lampu besar menyala seperti di rumah utama. Tidak ada suara langkah kaki para pelayan. Untuk sesaat, Leonard berdiri di ambang pintu, menyadari satu hal yang sejak pagi ia coba abaikan
ia tidak lagi tinggal di rumah utama Alastair.
Sekarang ia memiliki rumah sendiri.
Dan seorang istri.
Meski bukan pilihan yang pernah ia inginkan.
Langkahnya terdengar pelan saat memasuki kamar. Lampu tidur menyala redup. Di atas ranjang, Leora terlelap, mengenakan baju tidur sederhana. Rambut panjangnya terurai di atas bantal, napasnya teratur, wajahnya tampak begitu damai.
Ia melangkah lebih dalam ke kamar, melepaskan jas lalu meletakkannya di sandaran kursi. Dasi dilonggarkan, kancing kemeja dibuka satu per satu, hingga akhirnya kain itu terlepas dari tubuhnya. Otot perutnya yang terlatih terlihat jelas di bawah cahaya lampu redup.
Tanpa menoleh lagi ke arah ranjang, Leonard masuk ke kamar mandi. Suara air mengalir pelan saat ia mencuci wajahnya, membiarkan dinginnya air menghapus sisa penat hari itu.
Keluar dari kamar mandi, Leonard berjalan ke sisi televisi. Sebuah perangkat tipis mirip tablet kecil terpasang rapi di dinding. Layar menyala begitu ia menyentuhnya.
Ia menekan beberapa tombol dengan cepat.
Permintaan makan malam.
Tak sampai sepuluh menit, ketukan halus terdengar dari pintu.
Leonard membuka pintu. Seorang pembantu pria berdiri dengan troli kecil berisi makanan.
“Selamat malam, Tuan Leonard.”
“Masuk.”
Pembantu itu melangkah hati-hati, pandangannya sekilas jatuh ke arah ranjang sebelum kembali menunduk.
“Apakah Nyonya juga perlu disiapkan makan malam, Tuan?”
Leonard melirik sekilas ke arah Leora. Tidurnya masih sama, tenang dan tidak terusik.
“Tidak,” jawabnya datar. “Dia sudah tidur.”
“Baik, Tuan.”
Pembantu itu meletakkan makanan di meja kecil dekat jendela.
“Jika ada keperluan lain...”
“Cukup,” potong Leonard singkat.
Pembantu itu kembali menunduk dan keluar, menutup pintu dengan sangat pelan.
Leonard makan dalam diam. Tidak ada yang menemani selain suara sendok dan detik jam di dinding. Sesekali pandangannya terangkat ke arah ranjang, memastikan perempuan itu tetap terlelap.
Sunyi.
Sendoknya berhenti di udara.
Tanpa alasan jelas, bayangan sore tadi menyelip masuk ke pikirannya,wajah Leora yang basah oleh air mata saat berpisah dengan ayahnya.
Tangannya mengepal pelan.
Ia ingat bagaimana bahu Leora bergetar, bagaimana gadis itu berusaha menahan tangis namun gagal. Tangisan yang tidak dibuat-buat. Tangisan seseorang yang tahu, setelah hari itu, ia benar-benar sendirian.
Leonard menghembuskan napas pelan.
Ia hanya berpisah dengan ayahnya… dan sudah seperti itu.
Pikirannya melayang lebih jauh.
Bagaimana perasaan Leora saat ibunya meninggalkannya untuk selamanya?
Bukan sekadar perpisahan.
Bukan sekadar jarak.
Kehilangan.
Leonard menatap kosong ke depan. Ia tidak pernah bertanya. Tidak pernah ingin tahu. Baginya, masa lalu orang lain bukan urusannya. Namun entah mengapa, malam ini pikirannya justru berhenti di sana pada seorang gadis yang harus tumbuh tanpa seorang ibu, lalu kini dipaksa masuk ke pernikahan yang bahkan bukan keinginannya sendiri.
Apa dia pernah punya pilihan?
Sendok itu akhirnya diletakkan kembali ke piring.
Leonard melirik ke arah ranjang.
Leora masih tertidur. Wajahnya tampak jauh lebih tenang dibandingkan sore tadi. Tidak ada air mata. Tidak ada ketakutan. Hanya ekspresi lelah seseorang yang akhirnya menyerah pada kantuk setelah hari yang terlalu panjang.
"Cih, Leora.. bahkan namamu dibuat hampir sama persis dengan namaku.. Entah apa dosa orang tua kita"
Ia meraih ponselnya dari atas meja kecil. Layar menyala, menerangi wajahnya yang masih tampak lelah namun terkendali.
Nama Adriel muncul di layar.
Sekretaris pribadinya itu telah bekerja bersamanya hampir tujuh tahun. Tidak banyak bicara. Tidak banyak bertanya. Dan selalu mengerti tanpa perlu penjelasan panjang.
Leonard mulai mengetik.
Leonard:
"Atur jadwal. Besok aku ke kantor jam 10"
Tidak butuh waktu lama hingga balasan masuk.
Adriel:
"Baik, Tuan. Rapat direksi pukul 08.30 akan saya geser ke 10.30."
Leonard membaca sekilas.
Leonard:
"Pastikan tidak ada agenda mendadak pagi."
Adriel:
"Siap. Agenda pagi saya kosongkan. Ada hal lain yang perlu disiapkan?"
Leonard terdiam sejenak. Jarum jam berdetak pelan. Pandangannya tanpa sadar kembali mengarah ke ranjang.
Leonard:
"Tidak."
Beberapa detik kemudian, balasan terakhir muncul.
Adriel:
"Baik, Tuan. Saya tunggu besok."
......................
Pagi itu, Leora terbangun lebih dahulu. Udara kamar masih terasa dingin, tirai belum sepenuhnya terbuka. Ia duduk perlahan di tepi ranjang, lalu tanpa sengaja pandangannya tertuju ke sudut kamar.
Di sana, Leonard tertidur di sofa dalam kamar.
Tubuhnya menghadap ke samping, jas sudah dilepas sejak semalam, namun ia tidur tanpa selimut. Rambutnya sedikit acak-acakan—jauh dari kesan Leonard Alastair yang selalu rapi dan dingin.
Leora berdiri beberapa saat, menatapnya dalam diam.
Dia tidur di situ semalaman…
Tanpa selimut.
Haruskah aku membangunkannya? Dia harus ke kantor, kan…
Tangannya sempat terangkat, namun rasa canggung menahannya. Akhirnya, Leora memilih membiarkannya. Ia melangkah keluar kamar pelan-pelan.
Di lorong, Bu Neni sedang merapikan meja kecil.
“Selamat pagi, Bu,” sapa Leora lembut.
“Selamat pagi, Nyonya,” jawab Bu Neni dengan senyum ramah.
Leora ragu sejenak sebelum berkata,
“Bu, tolong nanti bangunkan Tuan Muda, ya. Saya takut dia terlambat ke kantor.”
Bu Neni menggeleng pelan.
“Tuan Muda akan berangkat sekitar jam sepuluh kurang sedikit, Nyonya.”
Leora terkejut. “Jam segitu?”
“Iya,” lanjut Bu Neni. “Tadi dini hari, sekitar pukul dua, Tuan Muda sempat menemui saya. Beliau bilang akan ke kantor jam sepuluh dan minta agar jangan diganggu dulu. Katanya beliau masih ingin istirahat.”
Leora terdiam sejenak.
Pukul dua dini hari…
“Baik, Bu,” ucap Leora akhirnya. “Terima kasih.”
Bu Neni mengangguk hormat.
Leora lalu menuju dapur. Di sana, Bu Sari sudah mulai menyiapkan bahan makanan.
“Nyonya, jangan bantu-bantu,” kata Bu Sari cepat. “Biarkan kami saja.”
Leora tersenyum kecil. “Tidak apa-apa, Bu. Saya ingin membantu.”
“Jangan, Nyonya,” ulang Bu Sari agak cemas.
Namun Leora tetap mengambil apron dan mulai membantu. Ia membersihkan cumi-cumi, menyiapkan bumbu, memasukkan ayam panggang ke oven, lalu mencuci sayuran untuk salad.
Aroma masakan mulai memenuhi dapur.
Sementara itu, di dalam kamar, Leonard sudah terbangun.
Ia masih mengenakan pakaian tidur, rambutnya berantakan, wajahnya menunjukkan sisa lelah. Ia duduk di sofa, menatap kosong ke arah pintu kamar yang kini tertutup.
Beberapa saat kemudian, aroma masakan samar-samar tercium hingga ke dalam kamar.
Leonard menghela napas pelan.
Belum mandi.
Belum berdandan.
Namun untuk pertama kalinya sejak pagi, apartemen itu terasa hidup.
Leonard melangkah masuk ke dapur. Ia masih mengenakan pakaian tidurnya, rambut sedikit acak-acakan, wajahnya datar.
Leora yang sedang mengiris wortel langsung menoleh.
“Oh… kau sudah bangun.”
Leonard mengangguk singkat. “Ya.”
Leora ragu sejenak, lalu bertanya,
“Kau hari ini kerja jam berapa?”
“Jam sepuluh,” jawab Leonard singkat.
Leora mengangguk kecil. “Kalau begitu… aku pukul sembilan akan pergi ke Damian Group.”
Leonard berhenti melangkah. Ia menoleh ke arah Leora.
“Ke sana?”
“Ya.”
“Kau ke sana buat apa?” tanyanya dingin.
Leora menatapnya tanpa menghindar.
“Kerja. Ngapain lagi?”
Rahang Leonard mengeras.
“Kau sekarang tidak perlu kerja.”
Leora menghentikan tangannya. Pisau ia letakkan pelan di atas talenan. Ia menatap Leonard dengan tenang, tapi tegas.
“Bukan urusanmu mencampuri urusanku.”
Dapur langsung sunyi.
Leonard terdiam beberapa detik. Ia merapikan rambutnya dengan satu tangan, lalu berkata datar,
“Baiklah.”
Ia berbalik dan naik ke lantai dua, meninggalkan Leora sendirian di dapur.
Setelah masakan selesai, Leora naik ke lantai dua. Ia berniat memanggil Leonard untuk makan.
Namun saat memasuki kamar, ia melihat Leonard sudah berpakaian rapi, berdiri di depan cermin, sedang merapikan manset kemejanya.
Di dekat kasur, sebuah laci terbuka.
Pandangan Leora tertuju ke dalamnya.
Sebuah ponsel dengan layar hancur, retak parah.
Dadanya mengencang.
Leora melangkah mendekat, lalu mengambil ponsel itu. Tanpa ragu, ia menghampiri Leonard dan mengulurkannya.
“HP bagus dibanting,” ucapnya datar.
“Kan jadi sayang.”
Leonard yang sedang bercermin langsung menoleh. Tatapannya tajam, menusuk.
“Kau mendengarnya?” suaranya rendah, penuh tekanan.
“Cuih. Lancang.”
Leora tak mundur. Ia menatap balik, suaranya tenang tapi mengandung sindiran,
“Apa yang terlempar ke balkon memang tidak selalu hilang. Kadang..cuma dipungut lagi.”
Leonard mendengus kecil.
“Kau terlalu banyak tahu untuk seseorang yang baru ada di hidupku.”
Leora tersenyum tipis, pahit.
“Dan kau terlalu ceroboh untuk seseorang yang bahkan bermain dibelakang mu.”
Hening menggantung di antara mereka.
Leonard meraih ponsel itu dari tangan Leora dengan satu gerakan cepat.
“Itu bukan urusanmu.”
Leora menatapnya lurus.
“Ya, kau benar”
Tatapan mereka bertemu dingin, keras, dan sama-sama tak mau kalah.