Surga Dunia Jenna Dan Jagat

“Jangan gila!" sergah Jenna, meskipun dengan nada pelan. “Sakha memang daging Om Tio, tetapi dia adalah putraku. Aku yang mengandung dan melahirkannya. Tidak ada siapa pun yang lebih berhak atas seorang anak selain ibunya!” tegas Jenna.

“Apa yang kamu inginkan dengan mempertahankan bayi itu? Anak hasil di luar pernikahan sah, tidak akan mendapat apa pun. Jadi, lebih baik serahkan dia padaku. Setidaknya, bayimu pasti mendapatkan sedikit dari harta kekayaan Mas Haris,” ujar Viviana enteng.

“Maaf. Aku tidak tertarik. Aku sudah menemukan ketenangan batin saat ini. Itulah kenapa kuputuskan pergi dari suami Anda.” Jenna kembali menolak tegas iming-iming Viviana.

Namun, bukannya menghargai keputusan Jenna, Viviana justru menanggapi dengan senyum penuh cibiran. “Ketenangan batin? Omong kosong macam apa itu?”

"Satu yang pasti, aku tidak akan pernah menyerahkan Sakha pada siapa pun. Lagi pula, dia sudah didaftarkan sebagai anak dari Jagat Hartadi. Suamiku telah mengesahkannya secara hukum. Dengan begitu, tidak ada yang dapat mengusik atau ____”

“Begitu rupanya.” Viviana menatap dengan sorot tak dapat diartikan. Seulas senyuman terlukis di bibir berpoles lipstik warna beige. “Pak Jagat terlalu berani mengambil risiko. Aku tidak yakin, dia masih akan berpikir positif bila mengetahui masa lalumu yang sangat menjijikan.”

“Jangan mengusik hidupku!” Jenna berbicara dengan penuh penekanan.

“Kamu yang lebih dulu mengusik hidupku!” balas Viviana dengan nada yang sama.

“Suami Anda yang mendekatiku. Aku tidak menggodanya ____”

“Wanita murahan mana yang tidak menggoda suami orang,” cibir Viviana.

“Kenapa suami Anda lebih memilih wanita murahan, dibandingkan wanita terhormat dan berpendidikan tinggi? Dia hanya mencari kenyamanan, yang tidak didapatkan dari istri sahnya.”

“Tutup mulutmu, Ja•lang!” Viviana yang awalnya terlihat tenang, kali ini mulai terpancing.

Sementara itu, Jenna hanya tersenyum sinis melihat Viviana yang kesal atas ucapannya.

“Aku yakin, pernikahanmu dengan Jagat tidak akan berlangsung lama. Wanita sepertimu tidak akan betah berlama-lama berada dalam pelukan satu pria karena sudah terbiasa melayani banyak pria _____”

Jenna langsung berdiri, kemudian meraih gelas berisi minuman yang sudah dipesankan Viviana sebelum dirinya datang. Tanpa ragu, dia menyiramkan air itu ke wajah istri Haris tersebut. “Pantas saja suamimu berselingkuh,” ucap Jenna, sebelum pergi meninggalkan Viviana yang terdiam menahan amarah disertai rasa malu.

Jenna melangkah cepat keluar dari cafe. Tak dipedulikannya tatapan para pengunjung lain, yang menyaksikan insiden tadi. Dia langsung masuk ke mobil, tanpa menunggu sopir membukakan pintu.

Embusan napas berat dan dalam meluncur dari bibir Jenna. Entah harus puas dan bahagia, atau justru menyesali tindakannya tadi. Jenna tak ingin memikirkannya lagi.

“Langsung pulang,” titah Jenna pada sopir pribadi Jagat.

“Baik, Bu.”

Selama dalam perjalanan pulang, Jenna lebih memilih tidur. Meskipun hanya beberapa menit, itu membuat pikiran serta hatinya cukup tenang.

Sesaat kemudian, Jenna sudah tiba di rumah. Dia mengembuskan napas dalam-dalam terlebih dulu, sebelum turun dari kendaraan.

Dengan langkah tenang penuh percaya diri, Jenna masuk ke rumah dan langsung menuju kamar. Ketika masuk, hatinya begitu terenyuh melihat Jagat tertidur sambil menemani Sakha, yang juga terlelap di kasur.

“Maafkan aku,” ucap Jenna dalam hati. Seribu sesal menyeruak, atas segala kebohongan yang dilakukan kepada Jagat. Padahal, pria itu sudah sangat baik terhadapnya.

Jenna melepas sepatu, lalu berjalan pelan mendekat ke tempat tidur. Setelah meletakkan tas di meja, dia naik ke kasur, kemudian berbaring di belakang Jagat. Dipeluknya pria itu dari belakang.

Jagat yang tengah tertidur, segera terbangun. “Kamu sudah pulang?”

Jenna tersenyum, lalu mengecup pundak sang suami. “Aku tidak jadi ke salon. Aku ingat terus pada kalian berdua.”

“Ya, ampun.” Jagat tersenyum, seraya membalikkan badan jadi menghadap Jenna. “Aku tidak sengaja ikut tidur. Padahal, masih ada beberapa berkas yang harus diperiksa.”

“Apakah menjaga Sakha membuatmu lelah?” Jenna membelai lembut rambut sang suami, yang membenamkan wajah di dadanya.

“Astaga. Aku sangat bahagia. Seperti inikah rasanya menikah?” gumam Jagat, yang begitu nyaman membenamkan wajah di dada Jenna. “Aku bersyukur memiliki kalian berdua. Kamu dan Sakha adalah hadiah luar biasa yang Tuhan kirimkan, di saat aku berniat menjalani hidup seorang diri hingga mati.”

“Kamu juga adalah segalanya. Aku tidak bisa mengungkapkan dengan kata paling indah sekalipun.” Jenna mengecup kening, lalu kembali membelai rambut sang suami penuh kasih.

......................

“Jam berapa kamu pulang, Sayang?” tanya Jenna, setelah merapikan kerah serta topi yang Jagat kenakan. Hari itu, sang suami akan pergi bermain golf.

“Aku tidak lama. Lagi pula, kita harus membeli sesuatu untuk cinderamata.”

Jenna langsung menautkan alis.

“Pak Haris dan istrinya akan kembali ke Belanda. Aku mengundang mereka makan malam di sini, sebagai salam perpisahan,” jelas Jagat, saat melihat ekspresi yang ditunjukkan Jenna.

Lega. Itulah yang Jenna rasakan mendengar ucapan Jagat. “Baiklah.”

“Ya, sudah. Aku berangkat dulu,” pamit Jagat, kemudian mencium lembut sang istri.

Jarak antara rumah dan tempat golf langganan Jagat tidak terlalu jauh. Hanya dalam 15 menit, dia sudah tiba di sana.

“Hai, Kawan,” sapa Harvey, rekan Jagat.

“Apa kabar?” balas Jagat.

“Sangat baik. Kamu sendiri?”

“Seperti yang kamu lihat.”

“Kemarin, aku melihat istrimu ada di Rosaline Cafe. Kupikir, kalian datang bersama,” ucap Harvey. Membuat Jagat mengernyitkan kening.