Dandelion—bunga kecil yang tampak rapuh, namun tak gentar menghadapi angin. Ia terbang mengikuti takdir, menari di langit sebelum berakar kembali, membawa harapan di tanah yang asing.
Begitu pula Herald, pemuda liar yang terombang-ambing oleh hidup, hingga angin nasib membawanya ke sisi seorang puteri Duke yang terkurung dalam batas-batas dunianya. Dua jiwa yang berbeda, namun disatukan oleh takdir yang berhembus lembut, seperti benih dandelion yang tak pernah tahu di mana ia akan tumbuh, namun selalu menemukan jalannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Kusuma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 Perpisahan Dengan Charlie
Herald berdiri tegap di depan Clara, menunggu jawaban. Matanya menatap lurus ke arah gadis itu, yang kini tertunduk diam.
"Aku butuh penjelasan," ujar Herald, suaranya tenang namun tegas. "Apa yang sebenarnya kau lakukan? Kenapa kau sengaja mengacaukan kamar ini?"
Clara masih tak bersuara. Ia tetap menunduk, jemarinya meremas gaun yang dikenakannya. Ketegangan terasa di antara mereka.
Melihat tidak ada jawaban, Herald menghela napas panjang. "Jangan-jangan... kau sengaja melakukan ini untuk mengerjaiku?"
Tubuh Clara sedikit bergetar. Ia semakin menunduk, seolah ingin menyembunyikan ekspresinya. Reaksinya membuat Herald semakin yakin dengan dugaannya.
"Huh..." Herald menghembuskan napas berat, mencoba meredam emosinya. "Aku tak bisa marah karena kau adalah tuanku, tapi aku mohon, jangan lakukan ini lagi."
Tanpa menunggu jawaban, ia mulai memunguti barang-barang yang berserakan di lantai, menatanya kembali ke tempat semula. Setiap gerakannya penuh dengan rasa frustrasi, namun ia tetap menjalankan tugasnya tanpa banyak bicara.
Di sisi lain, Clara hanya diam, memperhatikan suara langkah Herald yang bergerak di sekitar ruangan. Meski ia tak bisa melihat, ia tahu pasti bahwa Herald benar-benar sedang merapikan kamarnya. Tanpa sadar, tubuhnya berbalik mengikuti suara itu.
Beberapa menit kemudian, kamar Clara kembali rapi. Herald menyapu pandangan ke seluruh ruangan, memastikan tidak ada yang tertinggal. Setelah yakin segalanya telah kembali ke tempatnya, ia melangkah ke arah Clara.
"Tuan Putri, aku sudah menyelesaikan semuanya. Aku akan kembali ke kamar karena tugasku telah selesai," ucapnya singkat.
Ia berbalik untuk pergi, namun sebelum meninggalkan ruangan, ia kembali menoleh dan menambahkan, "Dan ingat, jangan bertindak ceroboh lagi. Jika butuh sesuatu, panggil aku atau para pelayan."
Tanpa menunggu reaksi, ia melangkah keluar, meninggalkan Clara seorang diri dalam keheningan.
Saat itu, langit di luar mulai menggelap. Clara melangkah perlahan menuju kasurnya, lalu merebahkan diri. Pandangannya mengarah ke langit-langit yang kosong.
[Kenapa tadi aku secanggung itu...?]
Ia menggigit bibirnya, mengingat kembali kejadian sebelumnya.
[Dan kenapa dia tiba-tiba masuk? Kurasa aku terlalu berlebihan...]
Ia tahu betul bahwa tindakannya selama ini disengaja—menyebarkan barang-barang ke segala penjuru hanya agar Herald harus membersihkannya. Itu adalah hiburan kecil baginya. Namun, kali ini berbeda. Herald datang begitu tiba-tiba, membuatnya tak punya waktu untuk menyembunyikan perbuatannya.
Dan yang lebih aneh lagi, ia tidak bisa membalas satu kata pun saat Herald memarahinya.
[Dia berbeda dari orang-orang yang pernah kutemui...]
Clara sudah sering melakukan hal ini pada pengawal lain sebelum Herald, namun tidak pernah ada yang bereaksi seperti dia. Biasanya, mereka hanya menuruti perintah tanpa protes. Tapi Herald? Dia langsung menghadapi dirinya tanpa ragu.
Clara menarik napas dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Lebih baik ia melupakan ini untuk sekarang. Ia menutup matanya dan membiarkan tubuhnya larut dalam kelelahan.
Di sisi lain, Herald telah kembali ke kamarnya. Begitu pintu tertutup, ia melepas rompinya dan melemparkan pedangnya ke kasur. Ia membuka dua kancing teratas bajunya, lalu menjatuhkan diri ke tempat tidur.
[Hari ini melelahkan, dan menyebalkan.]
[Dasar Putri sialan...!] pikirnya geram. [Kalau besok dia masih melakukan hal yang sama, aku tidak akan tinggal diam. Tidak peduli dia bangsawan atau bukan, aku akan memberinya pelajaran.]
Ia tahu betul bahwa tindakannya bisa menimbulkan masalah, tetapi kesabarannya sudah di ambang batas. Jika Clara tetap keras kepala, mungkin satu-satunya jalan adalah dengan bertindak lebih tegas.
Namun, tanpa ia sadari, dalam amarahnya yang membara, ia belum mempertimbangkan konsekuensi dari tindakannya sendiri...
Tok, tok, tok…!
“Tuan Herald, ini aku, Charlie. Bolehkah saya masuk?”
Suara ketukan pintu membuyarkan keheningan di kamar Herald. Ia masih berbaring di kasurnya, tubuhnya terasa lelah setelah hari yang panjang. Dengan malas, ia bangkit dan menoleh ke arah pintu.
"Iya, masuklah," sahutnya singkat.
Pintu terbuka perlahan, dan Charlie melangkah masuk. Herald tak lagi peduli untuk duduk tegak dan kembali merebahkan dirinya di kasur. Sementara itu, Charlie duduk di kursi dekatnya, memperhatikan ekspresi lelah kawannya.
"Tuan Herald, bagaimana tugas Anda selama seminggu ini? Semuanya berjalan lancar?" tanyanya dengan nada ramah.
"Heh... apanya yang lancar?" Herald mendengus kesal. "Seminggu ini aku dibuat repot oleh dia. Kukira dia gadis yang baik, tapi ternyata di balik wajah polosnya, dia adalah orang yang sangat jahat."
Charlie menaikkan alisnya. "Eh? Memangnya, apa yang sudah dilakukan Tuan Putri sampai Anda semarah ini?"
Herald menghela napas panjang sebelum akhirnya menggerutu, "Hampir setiap hari di sore hari, saat aku sudah selesai bertugas, dia memanggilku ke kamarnya. Dan setiap kali aku masuk… kamarnya berantakan total! Dan itu bukan karena kecerobohan—dia sengaja melakukannya! Aku merasa dikerjai olehnya setiap hari."
Charlie mengerutkan dahi. "Heh, tidak kusangka kalau Tuan Putri yang terlihat polos itu ternyata punya sisi lain..."
Herald mengepalkan tangannya erat-erat, rahangnya mengeras. "Kalau dia masih melakukannya besok, aku tidak peduli lagi soal statusnya! Aku akan memukulnya!"
Charlie terkejut dan buru-buru menenangkan Herald. "Tuan Herald, tenanglah! Anda tidak perlu sampai memukulnya. Coba saja Anda laporkan dulu kepada Tuan Astalfo tentang perilaku putrinya. Mungkin beliau bisa memberikan solusi yang lebih baik."
Herald terdiam sejenak, matanya menatap kosong ke langit-langit. Kemudian, ia mendengus pelan. "Hmm... Bertanya pada Tuan Astalfo, ya? Mungkin itu ide yang lebih masuk akal. Aku akan mencobanya."
Charlie menghela napas lega. Huff… syukurlah. Jika Herald benar-benar sampai memukul Clara, pasti mereka berdua akan mendapat masalah besar.
Setelah beberapa saat keheningan, Charlie kembali membuka suara. "Tuan Herald, sebenarnya saya datang untuk memberitahu sesuatu yang lain juga."
Herald meliriknya. "Sesuatu… apa itu?"
Charlie tersenyum tipis, namun ada sedikit raut ragu di wajahnya. "Besok saya akan kembali ke desa, ke rumah keluarga Anda. Hari ini adalah hari terakhir saya di sini."
Herald terdiam. Suasana di kamar pun ikut hening. Ia bangkit perlahan, kali ini duduk tegak dan benar-benar memperhatikan sahabatnya. "Jadi… kau akan pergi?"
Charlie mengangguk pelan. "Mm. Saya hanya ditugaskan untuk mengawasi dan menemani Anda selama seminggu, sampai Anda terbiasa dengan tempat ini. Sekarang saya rasa Anda sudah bisa menangani semuanya sendiri."
Herald menghela napas. Ia sudah menduga kalau Charlie tidak akan tinggal lama, tapi tetap saja, mendengar itu langsung dari sahabatnya membuat hatinya terasa sedikit kosong.
"Yah... Aku mengerti." Ia memaksakan senyum kecil. "Terima kasih sudah menemani dan membantuku selama seminggu ini."
Charlie tersenyum hangat. "Tentu saja. Itu sudah menjadi tugasku."
Mereka berdua saling bertatapan sejenak, sebelum akhirnya Charlie berdiri. Malam semakin larut, dan esok hari akan membawa perubahan kecil dalam kehidupan Herald di istana ini.
Udara pagi terasa sejuk, namun di hati Herald ada sedikit kehampaan yang sulit dijelaskan. Di depan mansion, sebuah kereta kuda telah siap untuk berangkat. Di atasnya, duduk seorang lelaki dengan postur tegap dan wajah yang masih terlihat tenang—Charlie.
Sementara itu, di belakang kereta, berdiri seorang pria lain yang hanya bisa menatap punggung sahabatnya yang akan pergi. Herald diam di tempatnya, matanya mengikuti setiap gerakan kecil dari kereta yang hendak membawa Charlie kembali ke desa.
Roda kereta mulai bergerak, perlahan menjauh dari halaman mansion. Charlie menoleh ke belakang dan mengangkat tangannya, melambaikan salam perpisahan. Herald membalasnya tanpa banyak kata, hanya mengangkat tangan dan menatap sahabatnya hingga sosoknya kian mengecil di kejauhan.
Hingga akhirnya, Charlie menghilang dari pandangan.
"Akhirnya… dia telah pergi."
Herald menghela napas panjang. Ada sesuatu yang terasa berat di dadanya. Ini memang bukan perpisahan selamanya, tapi tetap saja, Charlie adalah satu-satunya orang di tempat ini yang berasal dari desa yang sama dengannya. Satu-satunya yang memahami dirinya di lingkungan yang terasa asing ini.
Namun, begitulah kenyataan.
"Aku harus bertahan di sini… dan bekerja sebaik mungkin!"
Dengan tekad yang semakin kuat, Herald menggenggam erat kedua tangannya. Tidak ada gunanya meratapi kepergian Charlie. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah menjalankan tugasnya sebaik mungkin.
Dengan langkah tegas, ia berbalik dan berjalan kembali ke dalam mansion, siap menghadapi hari-hari berikutnya.