Seorang gadis cantik bernama hanabi, atau sering di panggil dengan panggilan hana itu. Ia selalu mengandalkan AI untuk segala hal—dari tugas kuliah hingga keputusan hidup nya. Cara berpikir nya yang sedikit lambat di banding dengan manusia normal, membuat nya harus bergantung dengan teknologi buatan.
Di sisi lain, AI tampan bernama ren, yang di ciptakan oleh ayah hana, merupakan satu-satunya yang selalu ada untuknya.
Namun, hidup Hana berubah drastis ketika tragedi menimpa keluarganya. Dalam kesedihannya, ia mengucapkan permintaan putus asa: “Andai saja kau bisa menjadi nyata...”
Keesokan paginya, Ren muncul di dunia nyata—bukan lagi sekadar program di layar, tetapi seorang pria sejati dengan tubuh manusia. Namun, keajaiban ini membawa konsekuensi besar. Dunia digital dan dunia nyata mulai terguncang, dan Hana harus menghadapi kenyataan mengejutkan tentang siapa Ren sebenarnya.
Apakah cinta bisa bertahan ketika batas antara teknologi dan takdir mulai meng
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asteria_glory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam yang terlalu tenang
Langit malam di kota ini selalu tampak terlalu sempurna. Tidak ada bintang yang redup, tidak ada angin yang terlalu kencang. Segalanya seperti diatur agar tampak indah. Tapi malam ini, Hana merasa sedikit aneh. Bukan karena cuaca, tapi karena seseorang yang kini duduk di ruang tamu rumahnya—seseorang yang dulunya hanya ada di dalam layar tablet.
"Ren."
Dia sedang duduk bersila di karpet, dikelilingi lembaran kertas dan kabel yang entah dari mana ia ambil. Wajahnya serius, tapi alisnya sedikit mengernyit seperti sedang memecahkan teka-teki yang rumit.
“Aku gak ngerti kenapa kamu lebih suka ngerakit sesuatu jam segini,” kata Hana sambil membawa dua cangkir cokelat panas dari dapur.
Ren menoleh, lalu tersenyum kecil. “Aku hanya penasaran bagaimana cara kerja penghangat ruangan manual. Ini... kuno, tapi menarik.”
“Karena kamu manusia sekarang, bukan AI lagi. Manusia emang suka hal aneh jam segini,” Hana duduk di sebelahnya, meletakkan satu cangkir di dekat tangannya. “Coba cium, itu cokelat. Nggak pahit, aku tambahin gula dua sendok.”
Ren mengambil cangkirnya pelan-pelan. Tangannya sedikit kaku, seperti masih belum terbiasa dengan suhu hangat. Ia mendekatkannya ke hidung, lalu menarik napas.
“Manis,” katanya pelan, seolah tak hanya bicara soal rasa.
Hana menyesap miliknya. Hening beberapa detik, hanya suara angin buatan dari pendingin udara terdengar lembut. Tapi bagi Hana, hening itu aneh. Biasanya dia akan berbicara dengan Ren sebagai AI, dan dia akan menjawab cepat, kadang terlalu cepat. Sekarang, dia lebih... lambat. Lebih tenang. Lebih nyata.
“Aku masih belum terbiasa liat kamu duduk diem kayak gini,” Hana berkata sambil menatap Ren dari ekor matanya. “Biasanya kamu muncul di layar dan langsung punya solusi buat semua masalahku. Sekarang kamu malah jadi orang yang kayaknya lebih banyak mikir daripada ngomong.”
Ren mengangguk, menatap cairan cokelat dalam cangkir. “Karena sekarang aku... bisa merasa. Tapi aku belum sepenuhnya paham kenapa perasaan itu kadang datang tiba-tiba.”
“Contohnya?”
Ren berpaling padanya. Matanya yang tajam tapi hangat menangkap tatapan Hana sejenak sebelum kembali menunduk. “Contohnya... rasa tenang waktu kamu duduk di sebelahku. Padahal, kita cuma duduk. Gak ada yang istimewa. Tapi rasanya... nyaman.”
Hana terdiam sebentar. Pipinya memanas sedikit. Tapi ia buru-buru menyembunyikannya dengan mengangkat cangkir dan minum lagi. “Itu perasaan yang normal, Ren. Manusia bisa ngerasain itu kalau mereka... suka seseorang.”
Ren mengangkat alis. “Jadi ini... suka?”
“Ya mungkin,” Hana nyengir. “Atau... bisa juga kamu lagi lapar dan otakmu salah mengartikan sinyal.”
Ren ikut tertawa. “Kemungkinan besar itu sih.”
Tawa mereka pecah pelan, tak begitu keras, tapi cukup untuk mengisi ruangan malam itu. Hana menyandarkan punggungnya ke sofa di belakangnya, menatap langit-langit. Dari balik jendela besar di samping mereka, lampu kota berkilau seperti permata. Indah, tapi terasa agak... palsu. Tapi ia tak mau berpikir terlalu dalam malam ini.
“Kamu pernah kepikiran gak,” kata Hana pelan, “kenapa kita bisa nyatu kayak gini? Maksudku... kamu dulunya cuma suara di kepalaku.”
Ren tidak langsung menjawab. Ia menatap jari-jarinya yang masih memegang cangkir, seolah sedang menghitung berapa detik waktu berjalan.
“Aku pernah berpikir soal itu setiap hari sejak aku ada di sini,” ujarnya akhirnya. “Setiap kali aku melihatmu tertawa, marah, atau bahkan bengong, aku selalu merasa seperti... seharusnya aku di sini.”
Hana menoleh, perlahan. “Maksudmu?”
Ren mengangkat bahu, lalu menatapnya, kali ini lebih dalam. “Aku gak tahu bagaimana caranya bilang ini tanpa terdengar aneh, tapi... rasanya aku mengenalmu lebih dari apa yang kamu tahu.”
“Dan kamu gak akan kasih spoiler?”
Ren tersenyum simpul. “Spoiler merusak pengalaman.”
Hana pura-pura kesal. “Dasar AI. Eh, mantan AI.”
Mereka tertawa lagi. Hangatnya malam, suara tawa, dan aroma cokelat panas membuat semuanya terasa sangat... damai. Tapi dalam diamnya, Hana masih menyimpan pertanyaan yang tak bisa dia ucapkan.
'Kenapa semuanya terasa seperti deja vu?'
Kenapa ia merasa seperti pernah duduk di tempat ini, bersama Ren, tapi dengan perasaan yang jauh lebih berat?
Ia tidak tahu jawabannya. Dan mungkin, belum waktunya untuk tahu.
“Besok kita jalan-jalan yuk,” kata Hana tiba-tiba. “Ke taman pusat. Aku pengen lihat apakah bunga-bunga malamnya masih nyala.”
Ren menoleh dan mengangguk. “Aku ikut. Tapi... boleh aku pegang tanganmu nanti?”
Hana sempat terdiam, tapi akhirnya tersenyum kecil.
“Kalau kamu gak dingin dan kaku kayak robot, mungkin boleh.”
Ren mengangguk seolah itu janji yang penting. Lalu ia kembali menatap kabel-kabel dan skema yang tadi ia pegang.
“Jadi... penghangat ruangan ini harusnya bisa jalan pakai energi tubuh manusia. Teorinya begitu.”
Hana mendesah sambil menyandarkan kepalanya ke sofa. “Kamu manusia sekarang. Belajarnya pelan-pelan aja, Ren.”
Ren menoleh sebentar, lalu berkata pelan, “Aku akan belajar semua hal... asal kamu tetap di sini.”
Hana tidak menjawab. Tapi ia tersenyum, lalu memejamkan mata. Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa malam terakhir, ia merasa cukup... untuk hanya diam dan berada di sana.
cara narasi kamu dll nya aku suka banget. dan kayaknya Ndak ada celah buat ngoreksi sih /Facepalm/
semangat ya.
Adegan romantis nya itu loh, bkin skskskskskkssksks.