Suka cerita tentang toko utama wanita yang tidak mudah ditindas? Di sinilah lapaknya!
Renata Carissa, seorang putri dari Panglima TNI yang berprofesi sebagai Psikiater. Memiliki kehidupan yang sempurna dengan memiliki suami yang begitu mencintainya dan anak laki-laki yang sangat tampan.
Sepeninggal suami tercintanya, Renata pun meninggal karena mengalami sakit keras.
"Aku berharap bisa bertanya kepadanya, mengapa aku tidak pernah tahu?"
"Apakah aku bisa bertemu dengan Jefra-ku lagi?"
Itulah harapan terakhir Renata.
Bukannya ke akhirat dan bertemu dengan suami tercintanya. Namun, Renata justru secara misterius berubah menjadi tokoh antagonis yang berperan menjadi pelakor. Nasib tokoh yang menyedihkan, hidup dalam penderitaan, dan berakhir bunuh diri.
Ya, dia masuk ke dalam novel!
Tidak ingin nasibnya berakhir tragis, Renata memutuskan untuk mengubah alur cerita yang sudah tertulis itu.
Dan takdir mempertemukannya kembali dengan Jefra, suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elwi Chloe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Kunci Emas
Renata mulai menghentikan pendarahan pada luka sayatan itu, memberikan tekanan lembut menggunakan sapu tangan miliknya untuk membersihkan jejak darah.
Sedangkan Tuan J memperhatikan semua apa yang dilakukan Renata. Hatinya menghangat ketika merasakan adanya sebuah perhatian dari gadis itu. Pria itu bertanya-tanya kenapa Renata memperdulikan dirinya. Selama ini dia tidak pernah mendapatkan tatapan kekhawatiran seperti yang terlihat pada bola mata cokelat gadis itu.
Tanpa disadari, perhatian memang dapat memberikan ketenangan dalam hati seseorang.
Kemudian Renata mengoleskan salep antibiotik, ditiupnya luka sayatan itu agar mengurangi rasa perih.
"Tidak perih, kan?" tanya Renata mendongakkan kepala untuk menatap Tuan J yang sedang terbengong menatapnya.
"Ya," jawab Tuan J setelah tersadar.
Hal terakhir, Renata menutup luka sayat dengan menggunakan perban, melilitkan perban dengan tidak terlalu ketat agar aliran darah tidak terganggu.
"Nah, sudah," ucap Renata seraya mengelus lembut pergelangan tangan Tuan J yang sudah diobatinya.
Tuan J menatap pergelangan tangan miliknya yang sudah diperban rapi, "Kenapa kamu perduli padaku?" tanyanya.
Karena aku mencintaimu.
Tentu saja tidak mungkin Renata menjawab seperti itu.
"Perduli terhadap sesama adalah hal yang mulia. Aku hanya ingin melakukannya selagi punya kesempatan," jawab Renata.
"Sungguh naif," Tuan J tersenyum miring, "Apa kamu sadar jika telah perduli pada seseorang yang membencimu?"
Sontak Renata menatap Tuan J, "Kamu membenciku?"
"Menurutmu?" Tuan J justru bertanya balik dengan tatapan sinis.
Renata terdiam sesaat, jujur hatinya terasa diremas karena mendapat tatapan kebencian dari pria yang dicintainya.
"Bukankah keperdulian adalah sebuah kunci emas untuk membuka hati seseorang?"
"Heh, jadi kamu berpikir bisa membuka hatiku?" ucap Tuan J meremehkan apa yang dikatakan Renata.
"Ya, aku yakin," jawab Renata tegas, "Lagi pula aku juga tidak tahu kenapa Tuan J bisa menaruh kebencian padaku, padahal aku tidak pernah berbuat jahat padamu."
Perasaan Tuan J seketika menjadi runyam. Memang tidak seharusnya dia membenci gadis itu. Namun, sepertinya pria itu terlalu arogan untuk mengikuti kata hatinya.
Seketika suasana menjadi hening. Renata masih mengelus lembut pergelangan tangan milik Tuan J, dan anehnya si empunya tangan tidak keberatan tentang hal itu.
"Masa lalu buruk yang mengharuskan kamu menciptakan sistem pertahanan yang melindungimu. Memang perlindungan ini sangat penting. Tapi tidak dengan menyayat pergelangan tanganmu."
"Karena menyakiti diri sendiri yang telah kamu lakukan sama menyakitkannya dengan trauma yang sebenarnya. Jadi bagaimana bisa itu semua ada di kepalamu?"
Renata memecah keheningan dengan mencoba menanyakan sesuatu yang selama ini membebani Jefra Tjong.
Sedangan Tuan J bungkam dengan tatapan keruh.
"Aku sadar jika hanya orang asing di hidupmu. Tapi, aku berharap Tuan J bisa menahan untuk tidak melukai diri sendiri lagi, atau sembuhkan dirimu kembali. Masa lalu yang buruk bukanlah salahmu, tetapi penyembuhan adalah tanggung jawab kamu."
Saat ini Renata memang hanyalah orang asing yang tidak mengetahui apapun tentang pria itu. Namun, tetap saja kenyataan itu sangat menyesakkan bagi Renata.
"Ada luka yang tidak pernah terlihat di tubuh yang lebih dalam dan lebih menyakitkan dari apa pun yang berdarah," pada akhirnya Tuan J membuka mulut, "Itu sangat sulit disembuhkan."
"Kalau begitu, bolehkah aku membantumu?"
Desiran aneh dirasakan Jefra Tjong. Perkataan Renata bagai kapak es yang memecahkan lautan yang membeku di dalam jiwanya.
"Memangnya apa yang bisa kamu lakukan?"
**
Jam makan siang.
Kafetaria dari perusahaan besar Tj Corp, memiliki desain terbaik serta segi pelayanan yang menyediakan menu beragam. Seperti halnya untuk makan siang, karyawan Tj Corp dapat memesan scramble, quinoa hash, bison cheeseburger, ramen burger, tri-tip, atau oysters. Harganya pun terjangkau, bahkan buah apelnya dapat dinikmati secara gratis.
Perusahan yang dinaungi keluarga Tjong turun-temurun ini memang sangat menghargai Karyawan, Tj Corp percaya bahwa keberhasilan perusahaan dipengaruhi oleh kinerja unggul dan kesejahteraan Karyawan.
Terlihat Renata yang sedang menyantap makan siangnya seorang diri. Gadis itu terkucilkan karena semua karyawan memang tidak menyukainya. Memang dalam kehidupan sehari-hari kita tidak bisa hidup tanpa orang lain. Namun, Renata tidak membutuhkan mereka yang berteman hanya mencari keuntungan dan saling memanfaatkan.
Tentu saja Renata tidak akan ambil pusing dengan hal itu, yang dia pusingnya saat ini justru penolakan dari Jefra Tjong.
Pria itu tidak percaya jika Renata dapat membantu untuk menyembuhkan penyakitnya. Tuan J tidak tahu saja, jika sejatinya Renata adalah seorang Psikiater yang telah berhasil menyembuhkan banyak orang yang mengalami penyakit kejiwaan.
Tuan J terlalu meremehkan Renata.
"Padahal aku ingin dia sembuh dan mengingatku kembali," gumam Renata tersenyum kecut.
Renata menghela napas berat.
"Renata, apa aku boleh duduk di sini?" tanya Anya yang tiba-tiba datang dengan membawa nampan yang berisikan makanan.
"Tidak."
Penolakan Renata dianggap angin lalu, dengan seenaknya Anya langsung meletakan makanannya di atas meja dan duduk di di hadapan Renata.
"Kenapa kamu jadi menjauh? Padahal kita kan sahabat, sejak sekolah kita selalu bersama," ujar Anya dengan raut wajah muram.
Renata memutar bola mata. Benar-benar munafik. Setelah apa yang dilakukannya, Anya masih saja mencoba berpura-pura.
"Aku senang karena kamu sudah menjadi Asisten CEO sekarang," sambung Anya.
"Bukankah kamu mengharapkan aku dipecat?" Renata tersenyum miring.
Anya tertawa kikuk.
"Kamu adalah yang paling cantik, dermawan, dan rendah hati. Aku tidak mungkin mengharapkan hal yang buruk pada sahabat terbaikku," kilah Anya menyanjung, berambisi membuat hati Renata luluh.
Jika dulu mungkin gadis itu akan dengan mudahnya luluh, bahan mungkin langsung memeluk Anya. Namun, lain dengan saat ini.
Renata hanya menatap Anya tanpa ekspresi.
Seketika Anya kehabisan kata-kata, dia tidak menyangka jika gadis yang dianggapnya bodoh dan gampang dimanfaatkan justru membuatnya ciut hanya dengan tatapan. Entah kenapa Anya merasakan aura yang berbeda.
Tetapi, Anya tidak akan menyerah untuk mendapatkan apa yang dia mau dari Renata. Tentu saja dia memiliki tujuan untuk mencoba bersikap akrab lagi dengan Renata.
"Renata, aku ingin pinjam uang sama kamu lima puluh juta," kata Anya kemudian.
"Oh, harusnya bilang dong dari tadi. Kenapa harus basa-basi?" Renata tersenyum.
Anya ikut tersenyum karena mendapatkan respon baik dari Renata, "Jadi kamu mau meminjamkan aku?"
"Kamu ingat kan kita sudah kenal berapa lama?" tanya Renata.
"Ingatlah, lima tahun, kan?" jawab Anya cepat.
"Berarti kamu ingat dong, dulu sewaktu awal-awal kita kenal kamu minjam uang aku empat juta, sampai sekarang kamu belum mengembalikannya."
"Duh, hanya empat juta, Renata. Lagi pula itu sudah lama sekali," ujar Anya sembari memegang lengan Renata.
Renata melepas tangan Anya yang memegang lengannya, "Bukan masalah nominalnya, Anya. Tapi kalau kamu berani pinjam harus berani bayar."
Anya menatap sebal Renata, "To the point saja. Kamu mau meminjamkan aku uang atau tidak?"
"Oke, aku akan meminjamkan kamu uang tapi kembalikan dulu uang empat juta yang dulu kamu pinjam."
"Kalau aku ada uang, aku juga tidak akan pinjam. Lagi pula hanya emat juta bukan empat milyar. Kamu kan selalu mendapatkan uang dari Kakakmu dan sekarang kamu sudah menjadi Asisten CEO yang memiliki gaji besar. Bukankah itu hal kecil buatmu?"
"Kalau memang empat juta itu kecil, lantas kenapa kamu meminjam aku? Uang tidak jatuh dari langit, Anya."
"Ck," Anya berdecak kesal, "Kenapa sekarang kamu jadi pelit sekali, sih? Sahabat seharusnya saling membantu!"
"Sabahat katamu?" Renata tersenyum sinis.
_To Be Continued_
tanggung ini ceritanya