Di antara pertemuan yang tidak disengaja dan percakapan yang tampak sepele, terselip rasa yang perlahan tumbuh. Arpani Zahra Ramadhani dan Fathir Alfarizi Mahendra dipertemukan dalam takdir yang rumit. Dalam balutan nilai-nilai Islami, keduanya harus menavigasi perasaan yang muncul tanpa melanggar batasan agama. Bersama konflik batin, rahasia yang tersembunyi, dan perbedaan pandangan hidup, mereka belajar bahwa cinta bukan hanya tentang perasaan, tetapi juga tentang kesabaran, keikhlasan, dan keimanan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lautt_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bintang hatiku
“Cinta yang sejati bukan hanya tentang memiliki, tapi tentang mendoakan dalam diam.”
Malam itu langit dihiasi bintang-bintang yang bersinar terang. Arpani Zahra Ramadhani duduk di balkon rumahnya, menatap langit dengan senyum tipis. Di tangannya ada sebuah buku catatan kecil, tempat ia biasa menulis puisi-puisi sederhana.
"MasyaAllah... bintangnya indah banget malam ini." gumamnya pelan.
Namun, ada satu bintang yang paling mencuri perhatian. Tidak karena sinarnya paling terang, tapi karena mengingatkannya pada seseorang.
Fathir Alfarizi Mahendra.
Nama itu kini sering muncul di pikirannya. Awalnya hanya teman biasa, tapi percakapan sederhana mereka perlahan mengisi ruang kosong di hatinya.
Namun, ia sadar. Perasaan ini tidak boleh dibiarkan tumbuh tanpa arah. Arpa tahu, cinta sebelum halal hanyalah ujian. Ia takut melangkah terlalu jauh dan melukai hatinya sendiri.
"Kalau memang kamu takdirku, semoga Allah menjaga hatimu. Tapi kalau bukan, semoga Allah menghapus perasaan ini tanpa menyakitiku."
Angin malam meniup lembut rambutnya, seolah menjadi saksi bisu pergolakan hati yang sedang dialaminya.
...........................................
"Cinta yang benar adalah yang membawa semakin dekat pada Sang Pencipta, bukan yang menjerumuskan dalam kelalaian."
Matahari pagi perlahan menembus celah jendela kamar Arpani Zahra Ramadhani. Ia duduk bersimpuh di sajadah, mengusap wajahnya setelah menyelesaikan shalat Dhuha. Aroma teh manis yang baru diseduh ibunya mulai memenuhi ruangan.
"Ya Allah, mudahkanlah langkahku hari ini," gumam Arpa lirih, sebelum melipat sajadah dan merapikannya.
Arpa adalah gadis sederhana yang penuh semangat. Meski kadang hatinya penuh gelisah tentang masa depan, ia selalu berusaha menguatkan diri dengan mendekatkan diri kepada Allah. Hari ini, pikirannya kembali melayang ke masa depan yang masih terasa abu-abu. Ia masih belum yakin dengan pilihan kuliahnya setelah gagal masuk universitas impian tahun lalu.
Ponselnya bergetar di meja belajar. Ia menoleh dan melihat notifikasi dari WhatsApp. Nama pengirimnya membuat sudut bibirnya terangkat.
Fathir Alfarizi Mahendra.
"Assalamualaikum, Arpa."
Arpa tersenyum kecil. Ia mengenal Fathir dari masa sekolah dulu. Fathir adalah teman sekali Arpa yang pindahan dari pesantren Mereka tidak terlalu dekat, tapi cukup akrab untuk saling menyapa.
"Waalaikumsalam. Ada apa, Fath?" balasnya sambil menyesap teh hangat.
Tak butuh waktu lama, balasan masuk.
"Mau tanya, kamu jadi kuliah di UIN Malang ?"
Arpa menghela napas. Pertanyaan yang tampak sederhana, tapi menyimpan kepedihan di baliknya. Tahun lalu, ia hampir mendaftar di UIN Malang, namun tiba-tiba batal karena alasan keluarga.
"Ndak jadi… ada masalah tiba-tiba. Tahun depan insyaAllah," balasnya jujur.
Ada jeda beberapa menit sebelum Fathir kembali membalas.
"Oh, semangat ya. InsyaAllah ada hikmah di balik semua ini."
Arpa mengangguk sendiri membaca pesannya. Ia merasa nyaman dengan cara Fathir berbicara. Tidak banyak basa-basi, tapi selalu ada ketulusan dan nilai Islami dalam setiap kalimatnya.
"Aamiin. Kamu gimana? lanjut nyantri ya ?"
"Iya, alhamdulillah. Tapi sekarang lagi bingung soal metode pembelajarannya, ya masih proses penyesuaian diri ."
Arpa terkejut membaca balasan itu. Ia tidak menyangka Fathir menjalani kuliah dan pesantren sekaligus.
"MasyaAllah, keren banget. Pasti berat ya, kuliah sambil nyantri?"
Fathir membalas dengan cepat, "Iya, kadang berat. Tapi justru itu yang membuat aku merasa lebih dekat sama Allah. Capeknya jadi berkah insyaAllah."
Jawaban itu membuat hati Arpa hangat. Ia mengagumi keteguhan Fathir yang bisa menjalani pendidikan akademik sekaligus memperdalam ilmu agama.
"Semoga Allah mudahkan semua urusanmu, Fath."
"Aamiin. Makasih, Arpa. Semoga kamu juga dimudahkan kuliahnya nanti."