"Mulai sekarang kamu harus putus sekolah."
"Apa, Yah?"Rachel langsung berdiri dari tempat duduk nya setelah mendapat keputusan sepihak dari ayahnya.
"Keluarga kita tiba-tiba terjerat hutang Dan ayah sama sekali nggak bisa membayarnya. Jadi ayah dan ibu kamu sudah sepakat kalau kita berdua akan menjodohkan kamu dengan anak Presdir keluarga Reynard agar kami mendapatkan uang. Ayah dengar kalau keluarga Reynard akan bayar wanita yang mau menikahi anaknya karena anaknya cacat"
Rachel menggertakkan giginya marah.
"Ayah gak bisa main sepihak gitu dong! Masalahnya Rachel tinggal 2 bulan lagi bakalan lulus sekolah! 2 bulan lagi lho, yah! 2 bulan! Terus tega-teganya ayah mau jadiin Rachel istri orang gitu? Mana yang cacat lagi!" Protes Rachel.
"Dengerin ayah dulu. Ini semua demi keluarga kita. Kamu mau kalau rumah kita tiba-tiba disita?" Sahut Ridwan, Ayah Rachel.
"Tapi kenapa harus Rachel, pa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab
Rachel masih menyimpan rasa penasaran dan curiga di dalam hatinya, tetapi dia memutuskan untuk tidak memikirkan terlalu banyak.
Untuk saat ini, dia hanya perlu fokus pada perannya dan memastikan tidak ada yang mencurigai pernikahan kontrak mereka.
☘️☘️☘️
Tak terasa malam pun pada akhirnya tiba.
Meskipun melelahkan mereka berdua tetap berakting hingga pada akhirnya mereka masuk ke dalam kamar.
"Akhirnya aman." Rachel menghela napas lega.
"Masih belum," sahut Reagan datar.
"Kenapa?"
"Mama mantau kita di luar," kata Reagan.
Rachel merasa terkejut. Bagaimana dia bisa tahu? Padahal mereka berdua sudah di dalam kamar sekarang.
Dan benar saja sebenarnya Eliza sedari tadi mengikuti mereka sampai ke kamar dan hingga saat ini mereka masih menguping di depan pintu.
"Dia ingin tau apa yang biasa kita lakukan setiap malamnya."
Rachel menatap Reagan dengan terkejut. "Gimana bisa kamu tahu?" bisiknya.
Reagan menghela napas. "Saya bisa dengar langkah kaki mama sejak tadi."
Rachel mengangguk mencoba menenangkan dirinya.
"Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanyanya pelan.
Reagan berpikir sejenak sebelum menjawab. "Kita harus membuatnya percaya kalau kita benar-benar pasangan yang harmonis. Lakukan apa yang biasa pasangan lakukan."
Rachel menelan ludahnya, merasa canggung. "Oke, aku akan coba."
Reagan mendekat dan berbicara dengan nada lebih lembut.
"Coba lebih santai, kita harus ngelakuin kayak gini setiap malam sampai mereka pergi."
"Maksudnya?" Rachel menutup badan dengan selimutnya.
Reagan menatap Rachel dengan dingin. "Siapa yang mau beneran menyentuh kamu? Maksudnya, kita harus berakting
Sebagai pasangan yang bener-bener harmonis setiap malam. Itu termasuk bersikap mesra dan menunjukkan kedekatan kita."
Rachel menelan ludah, merasa sedikit canggung. "Aku ngerti, mas. Tapi kadang ini semua terasa aneh buat aku."
Reagan tersenyum kecil, mencoba menghilangkan ketegangan.
"Saya ngerti. Kita cuma perlu lakukan yang terbaik agar mereka percaya."
Rachel menghela napas lalu menatap Reagan. "Baiklah, aku akan coba."
Meskipun sedekat tertekan, Rachel tetap mengikuti apa yang Reagan katakan.
"Jadi apa yang harus kita berdua lakuin?"
Reagan berdeham sebentar. "Olahraga malam."
"Hah?" Rachel terkejut mendengarnya.
"Kita harus buat suara-suara yang serupa."
Reagan kemudian memberikan sebuah bantal pada Rachel membuat gadis itu langsung terdiam kebingungan.
"Tepuk bantal ini agar suaranya sama," kata Reagan.
Meskipun Rachel tidak mengerti, dia akhirnya memegang bantal itu lalu menepuk-nepuknya ke kasur sehingga membuat suara kegaduhan.
Sementara itu di luar pintu, Eliza mendengar suara itu dengan seksama.
"Reagan getol banget. Belum pembukaan udah di mulai aja," gumam Eliza manggut-manggut.
"Jadi gimana?" tanya Rachel sambil berbisik.
"Kayaknya mama masih belum percaya," gumam Reagan.
Rachel menghela napas, merasa kelelahan dengan kepura-puraan ini.
"Lalu, apa lagi yang harus kita lakukan?"
Reagan berpikir sejenak. "Kita harus bicara dengan lebih mesra. Mungkin berbisik-bisik dan tertawa kecil, seperti pasangan yang sedang menikmati waktu bersama."
Rachel mengangguk meskipun merasa sedikit canggung. "Oke, aku akan coba."
Reagan mendekat dan mulai berbicara dengan nada lembut.
"Sayang, kamu tahu nggak, aku selalu bersyukur punya kamu di hidupku."
Rachel mencoba tersenyum dan menjawab dengan nada yang serupa.
"Aku juga, mas. Kamu selalu membuat hari-hariku jadi lebih baik."
Reagan tertawa kecil. "Kamu benar-benar istimewa, tahu nggak?"
Rachel mengangguk meskipun hatinya masih berdebar. "Iya, aku tahu, mas. Kamu juga."
Di luar pintu, Eliza mendengarkan dengan seksama, tersenyum puas mendengar percakapan hangat antara Rachel dan Reagan.
Dia merasa yakin bahwa pernikahan mereka benar-benar bahagia.
"Ish romantis banget sih mereka. Lucu banget, ada omongan romantis segala pas lagi mulai," gumam Eliza sambil cekikikan.
"Udah?" tanya Rachel sambil berbisik.
"Belum."
Reagan terdiam sesaat, ia tiba-tiba merasa kehabisan ide disaat situasi-situasi seperti ini.
Terlebih mamanya itu selalu saja penasaran dengan dirinya dan selalu memastikan dirinya bahagia sehingga membuat Reagan tertekan.
"Mas..." Rachel menggoyang-goyangkan bahunya.
"Masih saya pikirkan..." sahut Reagan.
"Loh kok sekarang diem lagi," gumam Eliza lalu mendekatkan telinganya didepan pintu.
"Apa udah pada udahan ya?"
Rachel juga ikut berpikir bagaimana bisa Eliza percaya dan langsung meninggalkan depan kamar mereka.
Hingga sampai terpikirkan satu ide dikepalanya.
"Aha, aku punya ide!" Rachel menjentikkan jarinya.
Reagan menatapnya tajam. "Apa?"
"Kamu sekarang tiduran," kata Rachel membuat Reagan merasa was-was.
"Jangan mikir aneh-aneh. Mau nggak kalau mama percaya?" sahut Rachel melotot.
"Awas kalau kamu aneh-aneh."
Meskipun bingung, Reagan pada akhirnya merebahkan badannya di atas kasur.