NovelToon NovelToon
Jendela Sel Rumah Sakit Jiwa

Jendela Sel Rumah Sakit Jiwa

Status: sedang berlangsung
Genre:Tamat / Cintapertama / Horror Thriller-Horror / Cinta Terlarang / Cinta Murni / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Pihak Ketiga / Psikopat itu cintaku
Popularitas:9.5k
Nilai: 5
Nama Author: AppleRyu

Dokter Fikri adalah seorang psikiater dari kepolisian. Dokter Fikri adalah seorang profesional yang sering menangani kriminal yang mengalami gangguan kepribadian.

Namun kali ini, Dokter Fikri mendapatkan sebuah pasien yang unik, seorang gadis berusia 18 tahun yang mempunyai riwayat penyakit kepribadian ambang (borderline).

Gadis itu bernama Fanny dan diduga membunuh adik tiri perempuannya yang masih berumur 5 tahun.

Apakah Dokter Fikri biaa menguak rahasia dari Fanny?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AppleRyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23 : Penyesalan

Aku terjaga dari tidur dengan napas terengah-engah, tubuhku dingin dan keringat menetes di dahi. Seluruh tubuhku terasa lelah, seolah-olah baru saja berlari dari mimpi buruk. Lampu neon di langit-langit sel memantulkan bayangan panjang di dinding, menciptakan suasana yang mencekam dan kaku.

Aku ingat terakhir kali berada di ruangan Dr. Irma, dia mendesakku dengan pertanyaan yang tajam. Namun, aku tidak ingat apa yang terjadi setelahnya.

Aku memeriksa sekeliling sel, mencoba membedakan kenyataan dari mimpi yang baru saja menghantuiku. Mimpi itu terasa sangat nyata, hingga sulit untuk membedakan antara dunia mimpi dan dunia nyata. Rasa sakit dan penyesalan yang kurasakan dalam mimpi itu masih menghantui aku.

Di sel sempit ini, aku merasa terasing dan bingung. Suara tetesan air dari langit-langit menambah suasana suram. Aku berdiri dengan susah payah, mencoba mengingat detail mimpiku. Bayangan-bayangan itu mulai memudar, tetapi beberapa potongan masih jelas di pikiranku.

Dalam mimpiku, aku adalah Nazam, dan semua kejadian itu terasa sangat nyata—tangisan istriku, teriakan Yunita, serta keputusan mengerikan yang aku ambil. Aku merasakan beban kemarahan dan keputusasaan yang menghancurkan jiwaku. Sekarang, aku harus menghadapi kenyataan yang mengungkap betapa mengerikannya keputusan tersebut.

Aku berbicara pada diriku sendiri, berusaha menenangkan pikiran. "Ini semua hanya mimpi," kataku dengan nada penuh keputusasaan, meskipun aku tahu betapa nyatanya perasaan itu. "Tapi, kenapa rasanya begitu intens?"

Aku berdiri dan mulai berkeliling sel, merasakan ketidaknyamanan di tubuhku yang kaku. Setiap langkah terasa seperti langkah menuju kesadaran yang lebih dalam.

Jendela kecil antara selku dan sel Fanny masih ada. Aku mendekati jendela dan melihat Fanny yang duduk termenung di atas tempat tidurnya. Wajahnya tampak lelah, tetapi aku merasakan aura kemarahan dan keputusasaan yang sama.

Aku mulai berbicara meskipun tahu Fanny mungkin tidak mendengar atau peduli. "Fanny, aku baru saja mengalami mimpi buruk. Semuanya terasa sangat nyata. Aku merasa seperti aku benar-benar berada di tengah-tengah kekacauan itu."

Fanny mengangkat kepalanya dengan tatapan kosong. "Apa yang kau lihat dalam mimpi itu?" tanyanya dengan nada datar.

Aku terkejut, tetapi rasa penasaranku mendorongku untuk melanjutkan. "Aku melihat diriku sebagai Nazam. Aku berada di situasi yang sangat mengerikan. Aku membuat keputusan yang sangat buruk. Sekarang, aku tidak tahu apakah itu hanya mimpi atau ada yang lebih."

Fanny mulai memejamkan matanya, seolah mencoba mengingat sesuatu dari masa lalunya. "Aku ingat malam-malam penuh ketidakpastian dan ketakutan," katanya perlahan. "Ada saat-saat di mana aku merasa terjebak dan tidak bisa menghindarinya."

Suara Fanny semakin melemah. "Aku ingat ada seseorang yang sangat kucintai, berjuang melawan kemarahan dan keputusasaan. Dia merasa dikhianati dan bingung, dan dalam ketidakstabilan itu, keputusan buruk diambil."

Tiba-tiba, Fanny mengangkat kepalanya dengan tatapan tajam dan penuh penyesalan. "Dia melakukan sesuatu yang sangat buruk, sesuatu yang tidak bisa diperbaiki. Aku merasa semua ini berhubungan dengan mimpi burukmu."

Aku merasa tubuhku kaku, bingung dengan apa yang baru saja diungkapkan Fanny. "Apa yang dia lakukan? Apa yang sebenarnya terjadi?"

Fanny menarik napas dalam-dalam. "Seseorang itu merasa dunia runtuh di sekelilingnya. Ada kemarahan dan kesedihan yang mendalam, hingga dia mengambil tindakan yang tidak bisa diubah lagi."

Dingin menyelimuti tengkukku. "Fanny, siapa sebenarnya kamu? Apakah kamu membunuh Sasya?"

Fanny mengangguk. "Aku membunuh Sasya untuk melupakan Yunita. Sasya adalah istri dari Nazam. Sama seperti kamu membunuh Nazam, aku juga membunuh Sasya."

Aku merasa darahku berdesir dingin. “Jadi, kamu benar-benar membunuh Sasya untuk menghapus ingatan tentang Yunita?” tanyaku dengan suara bergetar. “Dan Sasya adalah istri dari Nazam, yang ternyata adalah aku?”

Fanny menatapku dengan rasa bersalah dan kesadaran. “Ya. Aku membunuh Sasya karena rasa sakit yang tak tertahankan setelah kehilangan Yunita. Sasya adalah bagian dari masa lalu yang sulit, dan aku merasa terpaksa mengakhirinya.”

Aku merasa beban berat menghimpit dadaku. Penyesalan dan rasa bersalah menyelimuti diriku. Aku mulai menyadari keterhubunganku dengan semua ini lebih dari yang kuinginkan. “Jadi, aku adalah Nazam, suami dari Sasya dan ayah dari Yunita? Dan Fanny, kamu adalah istriku?”

Fanny mengangguk perlahan, airmata menggenang di matanya. “Ya, kamu adalah Nazam. Aku adalah Sasya Fanny Laurensia, istrimu. Semua ini adalah hasil dari kebingungan dan kesedihan yang mendalam. Aku merasa terperangkap dalam siklus kesalahan dan penyesalan.”

Aku terjatuh di sudut sel, menangis dengan keras, menyadari fakta yang tampak seperti teka-teki tak berujung. Aku telah membunuh anakku sendiri karena kecurigaanku terhadap Fanny, istriku sendiri. Air mata jatuh deras dari mataku, bukan hanya untuk Yunita, tetapi untuk semua kesalahan dan penyesalan yang menyelimuti kami.

Aku terisak dengan keras. “Aku membunuh Yunita,” kataku dengan penuh kepedihan. “Aku merasa dunia ini runtuh di sekelilingku. Aku melihat hasil tes DNA dan mengetahui Yunita bukan anakku. Dia adalah anak dari Reino! Itulah yang membuatku marah kepada Fanny.”

Aku menghampiri jendela kecil antara sel kami, berusaha melihat Fanny dengan jelas. “Fanny, beritahu aku apa sebenarnya yang terjadi! Kenapa Yunita, yang kulihat sebagai anakku, ternyata bukan anakku? Kenapa aku merasa begitu marah dan bingung?”

Fanny menatapku dengan tatapan kosong. “Aku tidak tahu apa yang kau katakan,” katanya dengan nada datar.

Aku terus mendesaknya. “Jangan berpura-pura tidak tahu! Aku sudah melihat hasil tes DNA. Yunita adalah anak dari Reino, bukan anak kita! Kamu harus memberitahuku kebenarannya!”

Pintu sel terbuka, dan Michelle muncul dengan wajah serius, membawa dokumen yang tampaknya penting. “Ini dia,” katanya, melemparkan dokumen di lantai dekat jendela. “Fanny, sudah saatnya kamu mengaku.”

Fanny terlihat tertekan, menatap dokumen itu, dan akhirnya mulai berbicara. “Baiklah... aku akan mengakui semuanya. Yunita memang anak dari Reino. Aku tidak bisa memberitahumu lebih awal karena takut dengan reaksi kamu.”

Fanny menarik napas dalam-dalam, tampak sangat menyesal. “Aku minta maaf. Aku tidak berniat menyakitimu. Semua ini adalah kecelakaan. Reino adalah adik kandungku sendiri. Semua ini terjadi begitu saja, saat kita masih pacaran.”

Aku terdiam, merasakan campuran penyesalan, kemarahan, dan kesedihan.

Fanny mulai bercerita dengan suara gemetar. “Saat kita bertemu, aku sudah terlibat dalam hubungan rahasia dengan Reino. Kami berdua mengalami konflik dan ketegangan yang tak tertahankan. Ketika aku hamil, aku tahu aku harus membuat keputusan yang sangat sulit. Aku takut kehilanganmu dan hancurnya hubungan kita.”

Dia melanjutkan dengan penuh kesedihan. “Yunita adalah anak dari Reino dan aku. Ketika dia meninggal, aku merasa tertekan dan putus asa. Aku mencoba menutupi semuanya, tetapi rasa sakitnya semakin dalam. Untuk mengatasi rasa sakit dan menghapus kenangan buruk itu, aku memutuskan untuk menghilangkan nama Sasya. Aku menganggap mengakhiri nama Sasya sebagai cara untuk memulai hidup baru.”

Aku merasa berat beban emosional yang tak tertahankan. “Jadi, kamu membunuh dirimu sendiri dalam arti kiasan, dengan menghilangkan nama Sasya. Semua ini adalah hasil dari kebohongan dan penyesalan. Aku membunuh Yunita karena kecurigaan yang salah, dan kamu membunuh identitas Sasya karena rasa sakit yang mendalam.”

Fanny mengangguk, air mata masih mengalir di pipinya. “Ya, aku sangat menyesal. Aku tidak bisa memperbaiki masa lalu, dan aku tahu aku telah menghancurkan hidup kita. Aku berharap bisa memperbaiki semuanya, tapi aku tahu itu tidak mungkin.”

Semua teka-teki ini akhirnya terpecahkan, tetapi harga yang harus dibayar terlalu tinggi. Dimana kewarasanku, adalah bayarannya.

Saat Fanny mengungkapkan penyesalannya, pintu sel terbuka perlahan, Dr. Irma masuk ke dalam ruangan. Wajahnya menunjukkan campuran kekhawatiran dan kepedihan saat dia memperhatikan percakapan kami. Michelle yang sedari tadi mendengarkan percakapan kami, hanya diam tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Dr. Irma melangkah maju dan berdiri di dekat jendela, menatapku dengan tatapan penuh empati. “Aku mendengar semuanya,” katanya dengan nada lembut. “Ini adalah saat yang sangat sulit bagi kita semua.”

Fanny menunduk, airmatanya mengalir. “Aku sangat menyesal. Aku tidak pernah berniat untuk menyakitimu atau siapa pun.”

Dr. Irma mengangguk dengan penuh pengertian. “Penyesalan adalah langkah pertama menuju pemulihan. Namun, ada proses hukum dan terapi yang harus kita jalani. Ini bukanlah akhir dari segalanya, tetapi awal dari perjalanan panjang menuju penyembuhan.”

Aku merasakan campuran emosi yang membingungkan saat mendengar kata-kata Dr. Irma. Sementara itu, Fanny tampak terpuruk, tetapi dia menerima kenyataan dengan penuh kesadaran.

Dr. Irma melanjutkan, “Sekarang, mari kita fokus pada langkah-langkah selanjutnya untuk menangani kasus ini dan memastikan bahwa semua orang mendapatkan keadilan dan bantuan yang mereka butuhkan.”

Dengan kata-kata itu, Dr. Irma berbalik dan berjalan menuju pintu, meninggalkan kami dengan kenyataan baru yang harus kami hadapi.

1
Livami
kak.. walaupun aku udah nikah tetep aja tersyphuu maluu pas baca last part episode ini/Awkward//Awkward//Awkward/
aarrrrgh~~~
Umi Asijah
masih bingung jalan ceritanya
ᴬᵖᵖˡᵉᴿʸᵘ
Novelku sendiri
Livami
orang kayak gitu baik fiksi ataupun nyata tuh bener2 bikin sebel dan ngerepotin banget
Livami
huh.. aku suka heran sama orang yang hobinya ngerebut punya orang... kayak gak ada objek lain buat jadi tujuannya...
Umi Asijah
bingung bacanya..😁
ᴬᵖᵖˡᵉᴿʸᵘ: Ada yang mau ditanyain kak?
total 1 replies
Livami
terkadang kita merasa kuat untuk menghadapi semua sendiri tapi ada kalanya kita juga butuh bantuan orang lain...
Livami
ending episode bikin ademmm
Livami
ok kok semangat thor
Livami
woo.. licik juga Tiara
semangat tulis ya Thor /Rose/
bagus ceritanya
Livami
bagus Lo Thor.. ditunggu up nya.. semangat/Determined//Determined//Determined/
LALA LISA
tidak tertebak...
Sutri Handayani
pffft
LALA LISA
ending yang menggantung tanpa ada penyelesaian,,lanjut thoor sampai happy ending
LALA LISA
benar2 tak terduga ..
LALA LISA
baru ini aku Nemu novel begini,istimewa thoorr/Rose/
ᴬᵖᵖˡᵉᴿʸᵘ: Terimakasiiih
total 1 replies
LALA LISA
cerita yg bagus dengan tema lain tidak melulu tentang CEO ..semangat thoorr/Rose/
Reynata
Ngeri ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!